Tentang Naeva yang dijual di perlelangan oleh pacarnya: Reivan. Lalu dibeli Ghazven: kakaknya Reivan. Dan Naeva dijadikan pemvas. -- ig penulis @aqsayuwen
View MoreWell, I'm indeed quite happy because I never lacked financially. I have a business that is quite lucrative and has seen me through my difficult times, in terms of finance. That's just it! But, what about the other side of life? Life has been unfair to me, especially in my failed marriages. Thank God, I have a daughter, Stephanie. She is the only one that gives me hope whenever my heart becomes troubled.
Oh, lest I forget, I also have a wonderful friend, Melinda, she was my childhood friend and we remained great friends even though we have hit Mid-thirties respectively. Although Melinda's husband was no more, I believe she was better than me. Unlike me, she was never divorced instead, it was the cold hands of death that took her husband away from her but, luckily for Melinda, her union produced a son, Johnny. Johnny has always been handsome since his childhood. It was when he turned age 15, that I realised that his handsomeness was something that has come to stay in him forever.Back in those days before I left for the city to live with my ex-husband, I was fond of Johnny. Yes, that was 4 years ago. I can also testify to the fact that the lad must have had some kind of crush on me but, I never think much about that, since I consider that a premature thought and is not expected of me. Come on! Johnny was my best friend's son there was no way I could scoop so low to such an act. Despite my resistance, a part of me suddenly began developing feelings for him exactly when he turned 15. However, luckily for me, I moved in with my husband (who is my ex-husband now) in his rented apartment in the City. I handed over my restaurant in Kingston to a trusted individual who ran while I moved to Charlottesville, the City where my ex-husband lived.Although it was almost four years ago, I never stopped speaking with Melinda on the phone and neither did I terminate any communication with Johnny. I would ask of him anytime I speak with Melinda on the phone. Gracious Lord! Melinda would hand over her phone to Johnny and ask the lad to speak with me. We would talk about so many things. Most of the things we talked about were hilarious. Yes, such were they because I always hear Melinda laughing in the background. I would ask him about his girlfriend and he would tell me that he has none except my daughter, Steph. I never took him seriously because I thought he was trying to pay me back for messing with his head hilariously. We would just laugh it off and that's it!It was hard to believe that Steph would date Johnny because the two of them were not so close when they were kids. Back in their childhood days, I bring Steph along whenever I was going to see Melinda. I watch them as they seldom play. Despite all that happened during their childhood, Melinda believed that someday both Johnny and Steph would get along very well.When I left for Charlottesville, Steph stayed with my brother who lived in Kingston with his wife. I believed she will be safe under him while I move on with my newfound love, at least that was what I was hoping for.
One day, Melinda called and told me the new situation at hand. She told me that Johnny and Steph were dating. By then, both of them were twenty years each and were in college. I was surprised given their odd past. However, I was happy for Steph. I believed Johnny would be more handsome than five years ago when I saw him for the last time. My daughter must have been a lucky bitch. My marriage was already having irreparable cracks. I knew that it was a matter of time before we go our separate ways. Months later, we divorced.
The thought of heading back to Kingston town never left me alone. For me, I believed that staying in a place where I would be taken care of by my friends and families was a good idea. Melinda reacted excitedly when I told her that I was gonna touch now soon. She shouted so excitedely on her phone and told me, "girl, bring it o!" Melinda's cheering words gave me the confidence to leave Charlottesville and move on with my life. She was of the opinion that, the more I get to see my ex-husband who lived in the same street as me, the more I would be always forced to remember the pastt and that could have a negative effect on my mental health.Melinda was right, I was going through hell. I made a hasty packing and plan to return. No one knew the day I flew into Kingstown from Charlottesville. It was yesterday I touched down. Luckily for me, I met no one who had any acquaintance with me. I intended to surprise my daughter and most especially Melinda. Because I arrived in the morning, around 8 am, I had to hurry up with all I was doing lest I miss Melinda that morning. It was obvious she woke up on time every morning and goes to Kingston town highschool where she worked as a teacher.
It was almost an hour later when I arrived at Melinda's house. The cottage in the middle district of Kingstown has never changed. The ornamental trees that were used to beautify the environment never changed except for some new small trees growing alongside. The garden not too far from the front also remained in place. Generally, There were no visible changes. Slowly, I approached the door. I was about to knock at it when all of a sudden it opened by itself. Behold, my eyes caught something I never expected. It was what most people would call lust at first sight.Bibir Ghazven mengukir senyum tipis saat matanya jatuh pada leher Naeva yang memerah. Itu bekas bibirnya semalam, tanda milik yang sengaja ia tinggalkan.Menangkap arah pandangan Ghazven, Naeva langsung mengangkat tangan, menutupi sisi lehernya dengan gerakan cepat. Wajahnya berubah kesal, nyaris masam. Ia membuang pandang, memilih duduk kembali di kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada banyak yang ingin ia lontarkan. Umpatan, protes, atau sekadar ungkapan kesal, tapi semuanya tertahan di tenggorokan. Perkara status dirinya yang kini tak lebih dari 'barang yang dibeli', terlalu pelik untuk dibahas dengan orang yang bahkan tak pernah memberi ruang baginya untuk bersuara.Tak lama kemudian, Vilan muncul membawa nampan berisi sarapan pagi. Ia meletakkan segelas teh hangat dan sepiring roti isi di meja kecil sebelah kanan tempat duduk Naeva. Gerakannya tenang, seperti sudah biasa menghadapi pagi yang canggung seperti ini. Setelah memberi sedikit anggukan sopan, Vilan melangkah
Ruangan itu hanya diterangi lampu temaram dari sudut meja. Naeva terlihat terlelap, tubuhnya menggulung di balik selimut. Rambut pirang itu tergerai ke bantal, berantakan namun tetap terlihat manis di mata Ghazven. Wajahnya terlihat damai. Untuk sesaat tak terlihat jika Naeva memiliki masalah.Ghazven tak mengucap apa pun. Pelan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, salah satu sikunya bertumpu pada lutut, menunduk, memperhatikan Naeva dalam diam. Telunjuk Ghazven terangkat, menyingkirkan helaian rambut Naeva yang menutupi wajah.Gerakan kecil itu membuat Naeva terusik. Kelopak matanya bergerak dan ia terbangun. Kedua mata melebar saat melihat sosok Ghazven ada di sebelahnya. Dengan refleks ia bangkit sambil menarik selimut menutupi tubuhnya.Satu sudut bibir Ghazven tertarik ke atas melihat reaksi Naeva yang takut.Sementara Naeva hanya diam dengan wajah yang kebingungan.“Ayo kita lanjutkan hal yang tadi belum kita selesaikan,” ucap Ghazven dengan suara yang sedikit serak.Naeva mengg
Mobil melaju pelan meninggalkan mansion. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani suasana dalam kabin. Rega melirik tuannya dari kaca spion, dia tau seperti apa hubungan Ghazven dengan papanya dan istri-istri papanya itu. Tidak pernah baik semenjak nyonya Emila meninggal. Terlebih papanya yang menikah lagi dan lagi walau tau istri pertamanya sedang sakit dan butuh didampingi.“Tuan, apa memasukkan tuan Reiven perlu dipertimbangkan?” tanya Rega setelah beberapa menit berlalu dengan keheningan.Ghazven tak angsung menjawab. Dia terlihat sedang berfikir. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Kurasa untuk membunuh lalat akan lebih mudah jika dimasukkan ke dalam kandang.”Rega tersenyum. Dia sudah paham maksudnya. “Baik. Saya akan mengaturnya, tuan.”Ddrt... ddrtt....Ponsel milik Ghazven berdering. Ghazven merogoh saku jaket dan menatap layarnya yang ada panggilan masuk dari salah satu anak buahnya. Dia menggeser tombol sebelum menempelkan hp ke telinga.“Boss, yang menjual
Mobil hitam yang dikendarai Rega berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang menjulang kokoh, menghalangi pandangan dari luar. Logo AL yang artinya adalah Aldric karna mansion dan seluruh penghuninya adalah keluarga besar Aldric. Tak lama, gerbang itu bergeser perlahan ke samping, membuka akses menuju bagian dalam mansion.Begitu pintu gerbang terbuka sepenuhnya, Rega kembali menekan pedal gas dengan tenang, membawa mobil masuk ke area utama. Jalanan berpaving merah tua membentang lurus, diapit deretan pohon cemara yang tumbuh rapi di kedua sisi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan bayangan-bayangan panjang di sepanjang jalan. Suasana sepi dan terjaga, seperti mansion ini tak pernah sembarang menerima tamu.Mobil melambat saat mendekati area garasi, lalu berhenti tepat di tempat yang memang biasa digunakan untuk parkir kendaraan Ghazven.Rega segera keluar dari kursi kemudi, memutari mobil, dan membukakan pintu belakang. Ghazven keluar tanpa suara, langkahnya mantap se
Naeva mundur sampai punggungnya menyentuh dinding kaca kamar mandi. Uap hangat mulai memenuhi ruangan, membuat kulitnya terasa lembap. Napasnya memburu pelan, sementara matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di depannya.Ghazven mengangkat tangannya, menarik kasar kancing-kancing kemeja putihnya satu per satu, sebelum membiarkannya jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Suara kain yang menyentuh keramik terdengar begitu nyata, terlalu nyata.Otot-otot dada dan perutnya terpahat jelas, seolah dipahat dari batu. Lengannya kekar, dengan urat-urat yang menonjol setiap kali dia menggerakkan tangan. Tubuhnya tinggi, besar, dan terlalu intimidatif untuk diabaikan. Naeva menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan.Tatapan Ghazven menajam saat melihat ekspresi Naeva yang memucat.“Takut?” tanyanya rendah, suara bariton itu menggetarkan udara di antara mereka.Dia melangkah mendekat. Setiap langkahnya menggerus jarak. Naeva tak bisa mundur lebih jauh karena tepat di belakang
Suara denting gelas dan bisikan penuh hasrat memenuhi ruangan remang-remang itu. Semua mata menatap panggung kecil di ujung ruangan. Di sana, seorang wanita berdiri dengan gaun hitam tipis yang tak mampu menutupi ketakutannya. Sorot matanya penuh luka, tapi tubuhnya berusaha tetap tegak.“Nomor 23,” suara pria tua berjas hitam menggema. “Seorang penulis lagu muda. Cantik, berdarah campuran, dan... dijual dengan harga pembuka lima ratus ribu yuan.”Naeva Lioren menelan ludah. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia bahkan tidak tau siapa yang akan membelinya malam ini. Yang ia tau, keluarga yang seharusnya melindunginya justru menjualnya seperti barang tak bernyawa.“Satu juta!” teriak seseorang dari tengah ruangan. Disusul tawa dan bisik-bisik.“Dua juta!”“Empat juta.”“Sepuluh juta,” suara berat dan dingin itu memotong semua kegaduhan.Hening.Semua kepala menoleh. Termasuk Naeva. Sorot matanya bertemu dengan pria berpakaian serba hitam di kursi VIP. Tatapannya tajam, tak bersisa empati.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments