Share

Sesuatu yang Salah

Beberapa jam sebelumnya ...

Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.

“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.

Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.

“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.

Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.

“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.

“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.

Lagi-lagi Alya terdiam sejenak mendengarkan pihak di seberang sedang asyik berbicara.

“Kata siapa dia alergi kacang? Buktinya sekarang malah meminta saya untuk menelepon Anda,” tegas Alya.

“Ya, kerjakan saja sesuai pesanan. Tidak perlu terlalu besar kuenya yang penting rasanya, kan? Satu lagi kalau bisa kacangnya dihaluskan sehingga tidak terlihat di permukaan. Saya rasa Anda pasti ahli untuk urusan seperti itu.”

Alya terdiam sambil mengangguk-angguk, kemudian sudah tersenyum sambil menutup ponselnya.

“Rasain lu. Masuk rumah sakit, deh,” sungut Alya dengan sadis.

Tak berapa lama sebuah ketukan di pintu ruangannya terdengar. Asistennya sudah masuk dengan tergesa.

“Ada apa, Rin?” tanya Alya penasaran.

“Itu, Bu. Ada kiriman dari toko souvenir katanya untuk Ibu. Saya sudah periksa isinya tas rajut dalam jumlah banyak. Lalu saya taruh di mana barangnya, Bu?” ujar Rini, asisten Alya.

Alya tersenyum mendengarnya. Memang beberapa minggu yang lalu dia memesan tas rajut dalam jumlah banyak ke toko souvenir yang sudah dipesan oleh kakaknya juga. Ia sengaja melakukan itu agar kakaknya batal menikah. Bahkan Alya berani membayar dua kali lipat harga sebuah tas rajut tersebut.

“Langsung kirim ke apartemenku saja. Aku mau mendistribusikannya untuk anak yatim besok,” pungkas Alya.

Rini langsung mengangguk kemudian sudah undur diri meninggalkan ruangan Alya.

‘Jadi apa kau masih melanjutkan rencana pernikahanmu, Mas?’ gumam Alya dalam hati.

**

Gavin terdiam menatap Alya yang sudah duduk manis di depannya. Dari mana Alya tahu kalau Yeni sedang tidak baik-baik saja? Apa dia yang sengaja merencanakan ini? Berbagai tanya sudah berkumpul di benak Gavin.

“Apa maksud pertanyaanmu, Al? Apa kau tahu kalau Yeni sedang tidak baik-baik saja?” sergah Gavin bertanya.

Alya tertawa memperlihatkan lesung pipi menambah manis raut sawo matangnya.

“Aku hanya sekedar bertanya, Mas. Karena aku lihat Yeni sudah tidak ada di mejanya. Itu tandanya dia sudah pulang. Bukankah biasanya kalian selalu pulang bareng. Jadi apa salah kalau aku bertanya seperti itu?” urai Alya.

Gavin terdiam dan menunduk. Ia menghela napas berulang. Ia menyesal sudah menuduh adik angkatnya ini yang tidak-tidak.

“Yeni masuk rumah sakit tadi sepertinya pihak katering lupa kalau Yeni alergi kacang dan mereka tadi memberinya kue kacang,” jelas Gavin.

Alya diam tak bereaksi, tetapi matanya terus menatap Gavin dengan iba.

“Entahlah, ada apa dengan hari ini. Kenapa juga banyak masalah yang datang mendekati hari pernikahanku ini?” keluh Gavin.

Alya masih diam dan terus mendengarkan keluh kesah Gavin.

“Tadi pihak souvenir juga menelepon katanya tidak bisa mengirim tepat waktu dan mereka akan mengganti yang lain dengan harga sesuai. Kesal aku seharian ini.”

Alya tetap diam dan sudah melipat tangannya ke depan dada sambil terus menatap Gavin tanpa jeda.

“Kamu tahu, Mas. Mungkin itu pertanda,” ucap Alya akhirnya setelah lama terdiam.

Gavin terkejut dan menatap Alya dengan seksama.

“Apa maksudmu, Al?’ tanya Gavin penasaran.

“Mungkin itu pertanda agar kamu mau membatalkan pernikahanmu dengan Yeni. Sepertinya semesta sama sekali tidak berpihak kepadamu,” tandas Alya.

Gavin tampak kesal dan menatap Alya dengan pandangan tak suka.

“Cukup, Al! Jangan diteruskan! Aku tahu ucapanmu ini nantinya akan berujung ke mana dan rasanya kita sudah membahasnya kemarin,” tegas Gavin.

Alya melepas lipatan tangannya kemudian sudah mengulurkan tangan meraih tangan Gavin yang tergeletak bebas di atas meja.

“Aku cinta kamu, Mas. Sayang kamu dan aku ingin memilikimu seutuhnya. Bukan sebagai seorang kakak, tetapi seutuhnya sebagai seorang kekasih. Apa begitu sulit mengabulkan permintaanku ini?” lirih Alya bertutur.

Gavin sontak menarik tangannya dengan kasar. Ia langsung berdiri dan menatap kesal ke arah Alya. Rasanya kesulitannya hari ini semakin bertambah dengan kehadiran Alya.

“Cukup, Al!! Lebih baik kamu pulang saja. Aku tidak akan pulang malam ini, aku mau menemani Yeni di rumah sakit. Aku rasa untuk sementara kita gak usah bertemu dulu sampai keinginan dan perasaan anehmu itu benar-benar hilang dari ingatanmu,” pungkas Gavin.

Ia sudah beranjak akan pergi dari ruangan namun Alya menarik tangannya membuat Gavin menghentikan langkahnya.

“Aku sudah bilang, Mas. Kalau aku bersedia menjadi yang kedua asal kau mau menerima perasaanku ini.”

“Kamu gila!” sergah Gavin marah sambil mengibaskan tangannya.

Alya terdiam menerima perlakuan kasar Gavin lalu sudah berjalan mendekatinya.

“Oke, kalau kau terus menolakku. Asal kau tahu kalau aku bisa berbuat lebih untuk membatalkan pernikahanmu ini,” tandas Alya.

Gavin langsung terkejut dan menatap dengan marah ke arah Alya. Tangannya mengepal, giginya juga gemelatukan seakan sedang menahan amarah yang siap meledak.

“Jadi kamu yang melakukan semua kekacauan hari ini?” tuduh Gavin dengan marah.

Alya hanya diam tidak menjawab, tetapi sudah menyunggingkan sebuah senyuman yang artinya sulit sekali dijelaskan oleh Gavin.

“Al, benar kamu yang melakukannya? Kamu yang menyuruh pihak katering membuatkan kue kacang itu?” tebak Gavin lagi.

Ia makin penasaran dengan sikap Alya yang semakin aneh ini. Sementara Alya sudah kembali duduk di sofa sambil sibuk memainkan jemarinya dan tersenyum dengan seringai yang menyeramkan.

“Alya, aku mohon ... katakan sejujurnya!” pinta Gavin sambil duduk di sebelahnya.

Alya menghentikan aktivitasnya dan menengadahkan kepala menatap Gavin yang sudah berada di sampingnya.

“IYA. Aku yang melakukannya, Mas. Aku sengaja menyuruh pihak katering untuk membuatkan kue kacang itu. Aku juga yang melakukan pemesanan tas rajut souvenir pernikahanmu dalam jumlah banyak. Aku bahkan membayar dua kali lipat untuk setiap tas tersebut. Aku sengaja melakukannya untuk mendapatkanmu, Mas. Aku ingin kamu membatalkan pernikahanmu. Aku mencintaimu, Mas,” jelas Alya dengan uraian airmata.

Gavin terdiam, tertegun menatap gadis berwajah manis di depannya ini. Ia mengenal Alya saat berumur lima tahun. Sejak itu rasa sayangnya ke Alya begitu dalam. Ia tidak rela siapa pun menyakiti hati adiknya itu. Ia bahkan sudah berjanji dalam hati akan selalu menjaga Alya sampai kapan pun. Namun, bila seperti ini sepertinya ia tidak akan bisa menepati janjinya itu. Lebih-lebih dia yang membuat hati gadis manis ini tersakiti.

Gavin masih diam kemudian perlahan merengkuh tubuh Alya mendekat dan memeluknya dengan erat.

“Maafkan aku, Al. Maafkan aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu. Aku tidak bisa mengubah rasa sayang seorang kakak menjadi seorang kekasih. Aku tidak bisa, Al. Aku tidak bisa,” ujar Gavin di sela pelukannya.

Alya hanya diam dan masih sesenggukkan dalam pelukan Gavin.

“Tolong, berhentilah melakukan apa pun itu. Aku tidak mau semakin dalam melukaimu. Aku tidak mau melihatmu terus menangis.”

Alya terus diam kemudian perlahan Gavin mengurai pelukannya. Dirangkumnya wajah gadis manis di depannya ini sambil tersenyum.

“Kamu cantik dan pintar, pasti ada pria di luar sana yang bisa meluluhkan hatimu. Namun yang pasti pria itu bukan aku. Tolong, berhenti melakukan ini. Aku mohon.”

Alya masih diam. Ia sudah berhasil menenangkan diri, tangisnya juga sudah reda. Gavin yang masih duduk di sampingnya juga terdiam menatap tak berkedip.

“Baik. Aku akan menyudahi semuanya, tetapi aku punya syarat dan Mas Gavin harus menyanggupinya,” ucap Alya setelah lama terdiam.

Gavin mengangguk dan sudah memegang tangan Alya dengan lembut.

“Tentu, katakan syarat apa itu!” sahut Gavin.

Alya diam lagi, menghela napas panjang sambil menatap wajah tampan seperti aktor yang sering dilihat di drama China favoritnya.

“Mas boleh melanjutkan pernikahan ini, tetapi Yeni harus resign dari sini. Mas pasti tahu peraturan di kantor ini dan itu juga tanpa pengecualian.”

Gavin mengangguk sambil tersenyum. Ia sedikit lega dengan syarat Alya ini.

“Satu lagi, aku ingin sebuah ciuman dan aku ingin kali ini Mas membalasnya.”

Gavin sontak terdiam, bergeming di tempatnya. Tidak mengangguk juga tidak menggeleng.

“Baik, ayo kita lakukan!” ucap Gavin akhirnya setelah lama terdiam dan menghela napas panjang.

Alya tersenyum kemudian sudah menggeser duduknya ke arah Gavin. Gavin pun demikian. Tangannya sudah merengkuh tubuh Alya untuk mendekat dan mengikis jarak. Perlahan seakan janjian kepala mereka mendekat menempati posisi yang tepat kemudian dengan lembut bibir Gavin menyentuh bibir Alya. Mengecupnya dengan pelan kemudian mencecap dan melumatnya hingga mendalam.

Untuk sesaat Gavin lupa siapa yang sedang dikecupnya sekarang. Dia juga tidak menyadari kalau ada sesuatu di dalam dada yang lama terpendam mulai muncul perlahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Norliza Yusop
paling² bagilah lebih dr 5 bab utk bacaan percuma dan pengenalan kisah! ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status