Beranda / Pendekar / Jagat Kelana / 1. Pedepokan Pandan Alas

Share

Jagat Kelana
Jagat Kelana
Penulis: Shaveera

1. Pedepokan Pandan Alas

Penulis: Shaveera
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-07 19:12:27

"Kau memang pantas untuk melakukan pekerjaan itu, Dasar Pria Ayu!"

Sosok yang dipanggil Pria Ayu itu menghentikan langkahnya. Dia melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang tengah menertawakan ia yang tengah memanggul dua kuali besar berisi air untuk keperluan memasak.

"Sudah sana segera isi penuh gentong sebelum koki masak untuk makan malam kami!" tukas pangeran yang memiliki badan paling tinggi dengan mendorong tubuh Jagat.

Tubuh Jagat terdorong kebelakang hingga beberapa langkah membuat ketiga pangeran merasa bahagia. Tanpa dia sadari air dalam kuali semakin berkurang isinya.

"Kau harusnya tahu diri jangan sok kuat, pakai rayu gadis Pandan Alas. Lihat dirimu, berkacalah!" ujar Abimana.

"Gadis pandan alas, aku tidak kenal. Kalian saja yang tidak paham!"

Ketiga pangeran terlihat murka, tatapan nyalang Abimana menghujam Jagat. Dia pun berkata, "Jangan kira kami tidak tahu, Pria Ayu! Dia yang sering memberimu sebungkus nasi sisa dari dapur."

Jagat terdiam, dahinya berkerut mengingat sosok perempuan ayu yang selama ini sering membantunya. Lalu bibirnya mengulum senyum, "Ada apa dengan gadis itu?" tanya Jagat polos.

Ketiga pemuda itu pun melihat Jagat dengan pandangan meremehkan. "Ingat namaku, Pria Ayu. Aku Abimana, putra mahkota Bumi Seloka. Maka jika aku memberimu perintah jangan menolak. Kelak di masa depan hidupmu akan layak!"

Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh Abimana, dia justru berusaha memperbaiki kualinya yang bocor akibat lemparan kerikil antek Abimana. Jemari Jagat sibuk menggulung daun lontar yang kebetulan tumbuh di sekitar sungai. Namun, saat beberapa lubang sudah tertutup menyisakan satu lubang tiba-tiba, pyar!

Tawa terbahak terdengar dari kedua pemuda yang berdiri dibelakang Abimana. Jantaka berhasil melempar batu besar hingga dua kuali itu pecah tidak berbentuk.

Sedangkan Abimana melotot dengan kedua telapak tangan yang mengepal. Buku jarinya sampai memutih, dia menahan gemuruh emosi yang menyapa jiwa. Pria yang berkuasa merasa direndahkan oleh seorang kasta rendahan.

"Kurang ajar, berani sekali kau tidak memerhatikan ucapan seorang Abimana, Bocah Tengik!"

Jagat mengeram, dia berdiri menatap pada Jantaka yang sudah menendang dua kuali milik paman koki. Pria muda itu terbayang amarah paman itu padanya. Ketakutannya mulai menyapa, tubuh Jagat gemetaran. Hal ini semakin membuat Jantaka tertawa terbahak. "Lihat, tubuhnya bergetar. Dia pasti kena hukum paman koki. Kasian!"

Tidak hanya Jantaka yang tertawa, satu pemuda lagi juga ikut tertawa. Agak berbeda cara tawanya membuat Jagat meliriknya. Dia sedikit takut untuk mengeluarkan tawa alhasil suaranya mengambang.

"Aku tidak takut akan amarah paman koki, dia pasti tahu siapa yang salah mengenai hal ini." Jagat mulai bersuara lantang setelah berhasil menetralkan perasaannya.

"Haha, di sini aku yang berkuasa. Bahkan pemilik padepokan ini harus bersujud di kakiku hanya sekedar meminta maaf, apalagi kau seorang hina!"

Jagat menggeleng kepala melihat kesombongan Abimana. Lalu dia pun berjongkok mulai mengumpulkan pecahan kuali untuk dimasukkan ke dasarnya yang masih utuh. Tatapan nanar dan genangan air mulai tampak pada cokelat madu matanya. "Kasian sekali kamu kuali, tidak punya kuasa untuk membantah!"

Abimana makin terbahak melihat sikap Jagat yang melonkolis. Dengan ujung kakinya, didorong Jagat hingga membuat pemuda itu jatuh terjengkag. Tawa mengelegar makin membuat hati Jagat serasa di hinakan, tetapi rasa rendahnya mengalahkan emosi.

Jagat tetap bungkam, tidak satu dua kali Abimana dan kawan memperlakukan dirinya bak pelayan bahkan lebih hina pun juga pernah. "Apakah kalian sudah puas hari ini?"

"Hah, puas? Tentu saja belum, selagi kau masih ada di sekitar padepokan kata puas itu tidak ada." Abimana berkata sambil mendorong bahu Jagat.

Akibat dorongan itu tubuh Jagat jatuh lagi dan semua pecahan kuali yang berhasil dia kumpulkan terjatuh. "Sebenarnya apa inginnya kalian, Hah?!"

"Haha, lihatlah! Si Pria Ayu mengeluarkan tanduk!" Ejek Jantaka

"Tetapi mana tanduk itu, Jantaka?" tanya Kurubumi.

Mendengar pertanyaan Kurubumi membuat Jantaka menoleh pada sahabatnya itu, "Apa kau tidak lihat di atas kepalanya mulai ada asap, Kurubumi?"

Abimana tidak memedulikan keadaan kedua sahabatnya, pemuda itu pun melancarkan tendangan beruntun dengan sasaran bahu Jagat.

Mendapat serangan tanpa jeda membuat Jagat tidak berkutik. Tubuhnya terhuyung ke belakang. "Ayo coba kau lawan aku, Jagat!" Pinta Abimana lantang.

Jagat tidak mampu berdiri tegak, tulangnya terasa terlolosi sebelum bertarung. Dalam hati pemuda itu mengumpat dirinya sendiri yang nyata tidak bisa membela saat dihina.

"Tubuhmu lemah, bahkan struktur tulangmu tidak layak untuk padepokan ini. Maka sudah seharusnya kau mati saja, Jagat!"

"Hidup matiku bukan di tanganmu, Pangeran. Kelak di masa depan kau yang akan merangkak ke arahku untuk meminta maaf!"

"Kau berani mengancamku, Cunguk Busuk!" Abimana murka, dengan ganas dipukulnya perut Jagat.

Pemuda itu meringis begitu pukulan dan tendangan Abamana bersarang di tubuhnya. Jagat tetap bungkam, bibirnya terkatup rapat tanpa sedikit pun berteriak kesakitan dan minta ampun.

"Ada apa dengan mulutmu, Cunguk? Ucap kata ampun!" kata Jantaka lantang sambil menendang tungkai Jagat.

"Be-berhenti-lah kalian sebelum ada yang tahu!" kata Kurubumi sambil melihat sekitar.

Pemuda itu terlihat takut dengan perbuatan mereka yang sedang menghajar Jagat. Tidak hanya takut ketahuan saja, Kurubumi juga merasa miris dan ngeri melihat cara Abimana memukuli tubuh lemah Jagat.

"Pangeran Abi dan Jantaka, tolong he-hentikan!" kata Kurubumi yang sesekali masih gagu.

"Sudah kau diam di sana dan awasi kalau-kalau ada yang datang!" titah Abimana.

"Tapi Pangeran, lihatlah kondisi Jagat! Dia sudah babak belur," kilah Kurubumi.

Abimana tidak memedulikan peringatan sahabat kecilnya, dia terus memukul dan menendang tubuh Jagat yang meringkuk melindungi dada dan perutnya yang mulai mual.

Jantaka yang sesekali ikut menendang menjadi ikut emosi karena kebungkaman Jagat. "Dia tidak mengucap kata ampun sedikit pun, Pangeran. Tunggu, sepertinya dia pingsan! Bagaimana ini, Pangeran?"

"Buang saja dia ke jurang!" titah Abimana.

Jantaka dan Kurubumi pun segera melakukan apa yang diperintah oleh Abimana. Tubuh Jagat mereka bawa ke tepian jurang Hutan Pandan Alas. Dengan wajah penuh bahagia, keduanya mulai berhitung untuk melempar tubuh tidak berdaya milik Jagat.

"Bagaimana, sudah siap?" tanya Jantaka.

"Tunggu, apakah ini tidak akan membuat nasib kita sila di masa depan?"

Jantaka membeliakkan mata, dia paling tidak suka jika Kurubumi mulai jadi pria pengecut. Tubuh Jagat disentak keras oleh Jantaka membuat Kurubumi sedikit limbung dan hampir ikut terjatuh.

"Hai, ada apa dengan kalian? Cepat buang!" teriak Abimana.

Kedua rekannya itu pun segera melempar tubuh Jagat ke jurang setelah hitungan ke tiga. Tubuh Jagat melayang terjun bebas masuk ke jurang. Namun, ada yang aneh dalam tubuh pemuda itu. Seberkas sinar seakan menyelimuti tubuhnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arya. P
wowow sang pemayung mulai menampakkan diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Jagat Kelana   234. S2

    Hari perpisahan pun tiba, Jagat berdiri di antara para selirnya. Terlihat wajah Pitaloka menunduk, dia tidak berani menatap sosok Akshita yang begitu bersinar di antara dua selir yang lain.Kepergian Jagat yang mendekat pada Pitaloka memberi kesempatan pada Akshita untuk melangkah menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan putranya.Tidak hanya Akshita yang meninggalkan Jagat berdua bersama selir Pitaloka melainkan juga ada Roro Wening yang berjalan mengikuti Akshita dari belakang sambil menggendong putranya. Hanya Prameswari yang masih setia menunggui suaminya.Jagat yang melihat sikap Pitaloka segera berjalan mengikis jarak hingga sejengkal, lalu telapak tangannya terulur agar dapat menggapai dagu runcingnya."Ada apa dengan wajahmu, Pitaloka?"Wanita itu terdiam, dia masih mengarahkan pandangannya ke bawah meskipun wajahnya sudah terangkat. Helaan napas berat bisa dirasakan oleh Jagat."Bicaralah, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau pikirkan jika hanya diam bahkan menatapku pun su

  • Jagat Kelana   233. S2

    Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela

  • Jagat Kelana   232. S2

    Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger

  • Jagat Kelana   231.

    Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den

  • Jagat Kelana   230. S2.

    Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun

  • Jagat Kelana   229. S2

    Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status