共有

5. Mimpi

作者: Shaveera
last update 最終更新日: 2024-03-14 03:45:43

Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"

Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah.

"Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah.

"Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya.

Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat.

"Bagaimana, Ki?"

"Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang lain."

Tabib kembali fokus pada tubuh Jagat, kali ini dia mengoleskan beberapa obat herbal yang berasal dari daun-daunan. Setelah semua memar tertutup obat herbal, sang Tabib pun pamit undur diri.

Ki Jemblung mengantar tabib tersebut hingga pintu utama gubug miliknya. Setelah sosok tabib menghilang barulah Ki jemblung masuk kembali ke kamar Jagat. Ditatapnya tubuh pemuda itu dengan penuh tanya. "Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Le?"

Ki Jemblung berjalan mendekati tubuh Jagat lalu dia menyentuh dahi pemuda itu dengan telapak tangannya. Cahaya biru perlahan keluar dari telapak pria gendut itu. "Aku hanya bisa membantu sedikit, semoga segera membuatmu sadar, Le!"

Sinar tersebut membungkus puncak kepala Jagat, tetapi hal itu tidak terlihat dampaknya. Ki Jemblung mendengus lirih. "Suhu tubuhnya begitu tinggi!"

Hari terus berjalan, kondisi Jagat masih sama saat pertama kali ditemukan. Bahkan suhu tubuhnya makin naik. Situasi ini membuat Jemblung khawatir. Akhirnya pria tua nan gendut itu terpaksa memanggil nona padepokannya.

"Paman, oh ... Paman!" Savitri berteriak di depan pagar gubug Jemblung.

Mendengar teriakan Savitri, Jemblung pun bangkit dari duduknya dam berjalan untuk membukakan pintu utama, "Masuklah, Nduk!" titahnya.

Savitri pun melangkah masuk lebih dalam. Tatapannya terkunci pada tubuh kekar yang tergolek lemas di atas balai bambu. "Jagat!" pekiknya.

Lalu badannya berbalik menghadap pada Ki Jemblung, "Apa yang terjadi dengan Jagat, Ki?"

Jemblung terdiam sebentar, dia menatap sesaat wajah putri begawan padepokan lalu mengulum senyum dan berkata lirih, "Aku sendiri pun tidak paham, Nona. Hanya tabib berkata bahwa tulang tubuhnya ada yang berbeda."

"Berbeda ... maksudnya, Paman? Bukankah kita semua tahu jika tulang Jagat tidak mampu untuk menampung segala aktifitas yang tinggi. Apakah mungkin saat ini ada perubahan ke mada depan?" cerca Savitri.

Jemblung mengedikkan bahunya, dia sendiri sejak tadi pun sudah memerhatikan struktur tulang pada Jagat dan hasil masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, tabib itu berkata beda. Ini yang membuat koki padepokan tersebut memanggil nonanya yang lebih paham dengan ilmu tubuh.

Savitri kembali memerhatikan keseluruhan tubuh Jagat. Dia pun sependapat dengan koki bahwa tubuh pemuda itu tidak mengalami perubahan. Akhirnya wanita muda menyalurkan sedikit sumber daya miliknya pada tubuh Jagat.

"Nah, sudah selesai. Semoga dia segera sadar, Paman. Sudah dua hari masih seperti ini." Savitri bangkit dari duduknya, menepuk pelan pipi Jagat, "Bangun dan segera lekukan tugasmu isi tandon, Teman!"

"Terima kasih untuk waktunya, Nona!"

"Tidak apa, di masa depan mungkin dia akan berguna lagi, Paman. Aku pamit undur diri!"

Savitri melangkah keluar dari kamar Jagat diikuti Jemblung dari belakang. Keduanya terlihat khawatir mengenai keadaan pemuda tersebut. Akhir-akhir ini pangeran dan anteknya selalu mengganggu hidupnya. Namun, mereka berdua tidak ada kuasa.

Sementara di dalam tidurnya, Jagat seakan sedang terdampar di daerah yang sangat asing. Penduduknya saja hampir tidak ada entitas berjenis betina. Semua berwujud binatang, berbagai jenis hewan berkaki empat ada di negeri itu.

Jagat berkelana di sepanjang jalan setapak, tatapannya selalu waspada. Dia tidak ingin terperosok untuk kedua kalinya. Namun, hingga kakinya terasa pegal tidak satu pun entitas yang berkaki dua seperti dirinya. Hingga tatapannya berhenti pada sosok pria tua berjenggot putih.

"Kakek, bolehkah saya bertanya. Ini daerah apa namannya?" tanya Jagat.

"Sedang apa kamu masuki dunia tanpa batas ini, Anak Muda?" Pria berjenggot itu tidak menjawab pertanyaan Jagat, dia justru melempar pertanyaan.

"Aku di sini pun juga tidak paham, untuk alasan apa aku bisa bertemu dengan Anda, Kek."

Pria tua itu yang berwujud harimau putih hanya menatap sendu. Kemudian dia melangkah lebih dekat dengan Jagat, dihirupnya aroma tubuh pemuda yang sedang berdiri mematung. "Aroma bangsawan dan darah suci. Rupanya kamu lah sosok yang dinantikan oleh sebuah kerajaan," tutur pria tua bertubuh separo harimau.

Jagat tidak mengerti dengan semua perkataan pria tua itu. Dia masih mematung melihat keseluruhan wujud pak tua. Dengan mengumpulkan keberanian, Jagat pun bertanya, "Saat ini saya sedang berhadapan dengan siapa?"

"Aku hanya seorang bawahan, untuk saat ini kembalilah ke dalam ragamu. Belum saatnya kamu mati, di dunia kemampuan mu sedang dibutuhkan. Sinar jingga di ujung sana adalah jalanmu dan jika sudah kembali maka carilah pria tua bernama Singolangit. Pemabuk terkenal dengan sebutan Dewa Mabuk!"

Setelah berkata, pria tua itu lenyap tidak tersisa. Hal itu membuat Jagat termangu. Kemudian bagai tersentil, Jagat terhenyak dan tersadar dari lamunanmu. Dia segera melihat arah yang ditunjuk oleh pria tadi.

Jagat dengan cepat melangkah menuju ke sinar jingga yang mulai redup. Langkahnya seakan begitu lama untuk gapai sinar tersebut. "Aneh, makin aku berjalan maju, sinar itu makin meredup. Sepertinya aku harus segera masuki sinar itu!"

Jagat mulai berlari menuju sinar jingga. Dengan segala upaya, pemuda itu berusaha menjangkau sinar. Napasnya sudah terlihat ngos-ngosan saat tubuhnya melompat masuk dalam sinar.

Tubuh lemah yang terbaring di atas balai bambu mulai bergerak perlahan. Ki Jemblung melihat langsung terdiam menunggu gerakan yang lain. Kelopak mata Jagat mulai bergerak, bibirnya pun tampak bergetar.

Samar Ki Jemblung mendengar suara meminta air. Gegas pria gendut itu berdiri dan berjalan menuju ke meja kecil di sudut kamar. Dia menuangkan air ke dalam gelas bambu lalu membawanya pada balai bambu.

"Ini, minumlah!" kata Ki Jemblung menyodorkan gelas bambu pada Jagat yang berhasil membuka kedua kelopak matanya, "Apa yang terjadi denganmu, Jagat?"

Jagat masih bungkam, bahkan untuk menerima gelas bambu pun gerakannya masih terbilang sangat pelan dan berat. Setelah berhasil maka segera ditenggaknya air dalam gelas. "Te-terima ka-kasih, Paman!" ujar Jagat masih susah memulai kata.

Jemblung mengangguk, lalu menerima uluran tangan Jagat yang menyerahkan gelas kosong, "Apa masih kurang?"

"Tidak, Paman. Berapa hari saya tertidur?"

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Jagat Kelana   234. S2

    Hari perpisahan pun tiba, Jagat berdiri di antara para selirnya. Terlihat wajah Pitaloka menunduk, dia tidak berani menatap sosok Akshita yang begitu bersinar di antara dua selir yang lain.Kepergian Jagat yang mendekat pada Pitaloka memberi kesempatan pada Akshita untuk melangkah menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan putranya.Tidak hanya Akshita yang meninggalkan Jagat berdua bersama selir Pitaloka melainkan juga ada Roro Wening yang berjalan mengikuti Akshita dari belakang sambil menggendong putranya. Hanya Prameswari yang masih setia menunggui suaminya.Jagat yang melihat sikap Pitaloka segera berjalan mengikis jarak hingga sejengkal, lalu telapak tangannya terulur agar dapat menggapai dagu runcingnya."Ada apa dengan wajahmu, Pitaloka?"Wanita itu terdiam, dia masih mengarahkan pandangannya ke bawah meskipun wajahnya sudah terangkat. Helaan napas berat bisa dirasakan oleh Jagat."Bicaralah, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau pikirkan jika hanya diam bahkan menatapku pun su

  • Jagat Kelana   233. S2

    Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela

  • Jagat Kelana   232. S2

    Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger

  • Jagat Kelana   231.

    Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den

  • Jagat Kelana   230. S2.

    Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun

  • Jagat Kelana   229. S2

    Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status