Share

6. belajar awal

Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas.

"Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?"

"Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"

Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada.

Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut.

"Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku."

Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas para murid pemula yang sedang meditasi. Kebanyakan mereka mendapat bentakan karena kurang fokus.

Jagat segera mengambil posisi duduk sila, dia berusaha mencerna kata fokus sang guru kala memberi intruksi pada para pemula. "Fokus ya!"

"Percuma saja apa yang sedang kau usahakan, Anak Muda. Kemampuanmu belum sampai di tahap itu."

Apa yang didengar oleh Jagat tidak menyurutkan niatnya. Dia terus berusaha untuk mencapai kata fokus. Perlahan napasnya terlihat mulai teratur. Kedua langannya dia rentangkan, perlahan mulai bergerak naik turun hingga tarikan napasnya terlihat makin memelan.

Kelopak matanya terpejam, cahaya kebiruan keluar dari dada Jagat dan mulai membungkus tubuhnya. "Bagus, cepat sekali kau pelajari hal ini, Ngger!"

Jagat masih memfokuskan semua pikirnya pada satu titik yang menurutnya itu penting. Semesta segala penguasa jagat raya memberi dia sumber tenaga yang perlahan masuk ke celah tubuhnya.

"Hawa apa ini?" jerit lirih batin Jagat.

Meski hatinya menjerit kala hawa hangat mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya. Jagat masih terus melakukan meditasi menyatu dengan alam sekitar. Beberapa inderanya mulai membuka termasuk indera pendengaran.

Sayup terdengar oleh cupingnya beberapa murid berniat untuk saling adu ilmu kanuragan hanya untuk saling menjajaki kemampuan mereka sebelum kompetisi padepokan berlangsung. Jagad semakin memfokuskan seluruh sumber pada pendengarannya.

"Mengapa di saat sedikit bisa, suara itu seakan hilang tertelan angin. Hawa ini, begitu hangat. Apa ini yang dinamakan tenaga dalam positif?"

Jagat masih terus meditasi dengan tujuan untuk memastikan sosok yang sejak tadi mengajaknya berbicara. Namun, sudah cukup lama dia masih belum menemukan sosok tersebut.

"Bagus juga usaha yang kamu lakukan, Pria Muda!"

"Tunjukkan wujudmu, Paman?"

Kekehan lirih menyapa cuping Jagat, pria itu mulai terpengaruh akan hadirnya sosok itu. Fokus yang sudah di susun mulai goyah, apalagi hembusan angin kencang tiba-tiba datang menerpa wajah dan dadanya.

Angin yang membawa hawa berbeda seakan mulai menusuk dadanya. Jagad tidak bisa berkutik, jiwanya seakan melayang ke alam yang berbeda. Kini di hadapannya tampak sosok yang tinggi besar dengan otot yang tampak nyata.

"Selamat datang di Candradigta, Pria Muda!"

"Ini ... Dimana aku?"

Pria itu mendelik, lalu tawanya keluar dengan sendirinya. Suara tawa yang sedikit berbeda membuat nyali Jagad menciut. Entah apa yang disebar oleh pria itu hingga mampu menyedot keseluruhan tenaganya.

Jagad berusaha fokus pada pria di hadapannya, sosok yang tinggi besar membuatnya harus tengadah. Jagat ingin meraih lengan yang besar berhiaskan batu permata sebesar kerikil.

"Apa yang kau lihat, Hah?"

"Apa yang berkilau pada ujung lenganmu itu, Tuan?"

"Ini simbol kesederhanaan, yang menghiasi alam mayapada," jawab sosok itu.

Jagad bungkam, pikirannya menelaah setiap kata yang terucap oleh sosok itu. Namun, hingga cukup lama dia masih belum mampu mengartikan satu kata sederhana. Baginya hidup yang selama ini dia jalani sudah sangat sederhana.

"Apakah aku juga bisa memperoleh simbol sepertimu, Tuan?" tanya Kelana.

Sosok itu menunduk seakan sedang memberi hormat pada Jagad, dia mengulum senyum dan berkata lirih, "Justru kamulah pemilik segala kekuatan inti alam."

Jagad termangu, mulutnya terbuka seakan tidak percaya mendengar kalimat sosok itu. Gelengan kepala berulang kali dia tunjukkan.

"Tidak mungkin, rasanya tulangku masih belum mampu untuk itu semua," ucap Jagad lirih.

"Kau pasti bisa Anak Muda!"

Jagad masih terdiam, jiwanya meremang. Pikirannya berkeliling mencari celah untuk dia memulai mengatur aliran darah miliknya. Sedikit ada ragu menyelinap pada relung hatinya. Namun, bayangan sinar yang membungkus tubuhnya kala terjatuh ke jurang membuatnya penasaran.

"Sinar apa ya? Saat ini mengapa tidak bisa aku keluarkan?" Berbagai tanya muncul di otak kecilnya.

Pemuda itu pun terus bermonolog mencari asal sinar tersebut. Napasnya yang tadinya sudah teratur kini tampak kembali tersendat. Bahkan ada riak yang membuncah begitu ingin keluar.

Jagat segera membuka mulutnya dan ada dorongan dari perut untuk memuntahkan isinya. Darah segar menyembur dari mulutnya membuat kedua matanya membeliak tidak percaya. "Darah!"

Jagat segera bangkit dari duduk bersilanya dan ujung jarinya menyentuh darah tersebut lalu membaui, "Tawar"

Saat Jagat menghidu darahnya sendiri, pintu kamarnya terbuka dan menampakkan Ki Jemblung yang datang dengan membawa baki berisi sepiring singkong rebus yang masih beruap juga segelas minuman berwarna cokelat pekat.

"Darah kehitaman! Sudah akhiri apapun yang kamu lakukan saat ini. Sekarang makan dan minumlah!"

"Baik, Paman."

Ki Jemblung melangkah menuju ke kursi yang ada di ujung balai bambu. Matanya memindai keseluruhan kondisi Jagat hingga mata tuanya menemukan sesuatu yang terlihat berbeda pada pusat tubuh Jagat yang terbuka.

"Apa yang terjadi padamu hingga tergeletak di bawah tandon, Jagat? Apalagi kondisimu begitu mengenaskan," ucap Ki Jemblung yang masih penasaran.

Jagat menatap wajah Ki Jemblung, orang yang sudah merawatnya sejak kecil. Apapun yang dilakukan dan dialami oleh Jagat, pria berperut Jemblung itu pasti tahu meskipun tidak bisa berbuat lebih.

Koki utama padepokan sebenarnya memiliki nama yaitu Suradirja, tetapi karena memiliki perut Jemblung maka itu lah yang digunakan. Semua karena ulah Abimana kecil masa lampau. Jagat menyudahi makannya lalu mulai menenggak air berwarna cokelat pekat. Setelah habis separo, Jagat menghela napas panjang.

"Ini semua gegara Abimana, Paman. Seperti biasa dia menghinaku dan inilah yang terjadi!"

"Lalu, apa yang ada di pusat tubuhmu itu? Sepertinya ada berkas sinar," kata Jemblung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status