Jemblung meninggalkan Jagat dalam keadaan terdiam. Pemuda itu masih tidak percaya dengan keadaannya yang masih bisa selamat terjatuh dari jurang setinggi itu. Kembali dalam ingatannya sebuah kujang bermata sembilan mengelilingi tubuhnya yang sempat terbujur kaku.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Pria Muda?" Terdengar suara pria tua yang khas."Siapa kamu, menilik suara yang kudengar rasanya aku pernah tahu pemilik ini?""Kita pernah bertemu di alam mimpi. Apakah semudah itu kamu lupa?"Jagat mencari sosok yang sedang berbicara, tetapi tidak terlihat bayangan sedikit pun. Helaan napas kasar dia keluarkan dan sungguh sesak di dada.Jagat masih duduk di tepian balai tempat dia biasa merebahkan diri. Tatapannya masih menyapu sekelilingnya untuk mencari pemilik suara tersebut."Sampai akhir jaman kau tidak akan bisa temukan wujudku."Jagat terdiam, ingatannya mulai berputar mencari secercah peristiwa yang mungkin ada di memorynya. Iya, ingatannya berputar menampilkan sebuah aktifitas para murid pemula yang sedang meditasi. Kebanyakan mereka mendapat bentakan karena kurang fokus.Jagat segera mengambil posisi duduk sila, dia berusaha mencerna kata fokus sang guru kala memberi intruksi pada para pemula. "Fokus ya!""Percuma saja apa yang sedang kau usahakan, Anak Muda. Kemampuanmu belum sampai di tahap itu."Apa yang didengar oleh Jagat tidak menyurutkan niatnya. Dia terus berusaha untuk mencapai kata fokus. Perlahan napasnya terlihat mulai teratur. Kedua langannya dia rentangkan, perlahan mulai bergerak naik turun hingga tarikan napasnya terlihat makin memelan.Kelopak matanya terpejam, cahaya kebiruan keluar dari dada Jagat dan mulai membungkus tubuhnya. "Bagus, cepat sekali kau pelajari hal ini, Ngger!"Jagat masih memfokuskan semua pikirnya pada satu titik yang menurutnya itu penting. Semesta segala penguasa jagat raya memberi dia sumber tenaga yang perlahan masuk ke celah tubuhnya."Hawa apa ini?" jerit lirih batin Jagat.Meski hatinya menjerit kala hawa hangat mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi hal itu tidak menyurutkan niatnya. Jagat masih terus melakukan meditasi menyatu dengan alam sekitar. Beberapa inderanya mulai membuka termasuk indera pendengaran.Sayup terdengar oleh cupingnya beberapa murid berniat untuk saling adu ilmu kanuragan hanya untuk saling menjajaki kemampuan mereka sebelum kompetisi padepokan berlangsung. Jagad semakin memfokuskan seluruh sumber pada pendengarannya."Mengapa di saat sedikit bisa, suara itu seakan hilang tertelan angin. Hawa ini, begitu hangat. Apa ini yang dinamakan tenaga dalam positif?"Jagat masih terus meditasi dengan tujuan untuk memastikan sosok yang sejak tadi mengajaknya berbicara. Namun, sudah cukup lama dia masih belum menemukan sosok tersebut."Bagus juga usaha yang kamu lakukan, Pria Muda!""Tunjukkan wujudmu, Paman?"Kekehan lirih menyapa cuping Jagat, pria itu mulai terpengaruh akan hadirnya sosok itu. Fokus yang sudah di susun mulai goyah, apalagi hembusan angin kencang tiba-tiba datang menerpa wajah dan dadanya.Angin yang membawa hawa berbeda seakan mulai menusuk dadanya. Jagad tidak bisa berkutik, jiwanya seakan melayang ke alam yang berbeda. Kini di hadapannya tampak sosok yang tinggi besar dengan otot yang tampak nyata."Selamat datang di Candradigta, Pria Muda!""Ini ... Dimana aku?"Pria itu mendelik, lalu tawanya keluar dengan sendirinya. Suara tawa yang sedikit berbeda membuat nyali Jagad menciut. Entah apa yang disebar oleh pria itu hingga mampu menyedot keseluruhan tenaganya.Jagad berusaha fokus pada pria di hadapannya, sosok yang tinggi besar membuatnya harus tengadah. Jagat ingin meraih lengan yang besar berhiaskan batu permata sebesar kerikil."Apa yang kau lihat, Hah?""Apa yang berkilau pada ujung lenganmu itu, Tuan?""Ini simbol kesederhanaan, yang menghiasi alam mayapada," jawab sosok itu.Jagad bungkam, pikirannya menelaah setiap kata yang terucap oleh sosok itu. Namun, hingga cukup lama dia masih belum mampu mengartikan satu kata sederhana. Baginya hidup yang selama ini dia jalani sudah sangat sederhana."Apakah aku juga bisa memperoleh simbol sepertimu, Tuan?" tanya Kelana.Sosok itu menunduk seakan sedang memberi hormat pada Jagad, dia mengulum senyum dan berkata lirih, "Justru kamulah pemilik segala kekuatan inti alam."Jagad termangu, mulutnya terbuka seakan tidak percaya mendengar kalimat sosok itu. Gelengan kepala berulang kali dia tunjukkan."Tidak mungkin, rasanya tulangku masih belum mampu untuk itu semua," ucap Jagad lirih."Kau pasti bisa Anak Muda!"Jagad masih terdiam, jiwanya meremang. Pikirannya berkeliling mencari celah untuk dia memulai mengatur aliran darah miliknya. Sedikit ada ragu menyelinap pada relung hatinya. Namun, bayangan sinar yang membungkus tubuhnya kala terjatuh ke jurang membuatnya penasaran."Sinar apa ya? Saat ini mengapa tidak bisa aku keluarkan?" Berbagai tanya muncul di otak kecilnya.Pemuda itu pun terus bermonolog mencari asal sinar tersebut. Napasnya yang tadinya sudah teratur kini tampak kembali tersendat. Bahkan ada riak yang membuncah begitu ingin keluar.Jagat segera membuka mulutnya dan ada dorongan dari perut untuk memuntahkan isinya. Darah segar menyembur dari mulutnya membuat kedua matanya membeliak tidak percaya. "Darah!"Jagat segera bangkit dari duduk bersilanya dan ujung jarinya menyentuh darah tersebut lalu membaui, "Tawar"Saat Jagat menghidu darahnya sendiri, pintu kamarnya terbuka dan menampakkan Ki Jemblung yang datang dengan membawa baki berisi sepiring singkong rebus yang masih beruap juga segelas minuman berwarna cokelat pekat."Darah kehitaman! Sudah akhiri apapun yang kamu lakukan saat ini. Sekarang makan dan minumlah!""Baik, Paman."Ki Jemblung melangkah menuju ke kursi yang ada di ujung balai bambu. Matanya memindai keseluruhan kondisi Jagat hingga mata tuanya menemukan sesuatu yang terlihat berbeda pada pusat tubuh Jagat yang terbuka."Apa yang terjadi padamu hingga tergeletak di bawah tandon, Jagat? Apalagi kondisimu begitu mengenaskan," ucap Ki Jemblung yang masih penasaran.Jagat menatap wajah Ki Jemblung, orang yang sudah merawatnya sejak kecil. Apapun yang dilakukan dan dialami oleh Jagat, pria berperut Jemblung itu pasti tahu meskipun tidak bisa berbuat lebih.Koki utama padepokan sebenarnya memiliki nama yaitu Suradirja, tetapi karena memiliki perut Jemblung maka itu lah yang digunakan. Semua karena ulah Abimana kecil masa lampau. Jagat menyudahi makannya lalu mulai menenggak air berwarna cokelat pekat. Setelah habis separo, Jagat menghela napas panjang."Ini semua gegara Abimana, Paman. Seperti biasa dia menghinaku dan inilah yang terjadi!""Lalu, apa yang ada di pusat tubuhmu itu? Sepertinya ada berkas sinar," kata Jemblung.Hari perpisahan pun tiba, Jagat berdiri di antara para selirnya. Terlihat wajah Pitaloka menunduk, dia tidak berani menatap sosok Akshita yang begitu bersinar di antara dua selir yang lain.Kepergian Jagat yang mendekat pada Pitaloka memberi kesempatan pada Akshita untuk melangkah menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan putranya.Tidak hanya Akshita yang meninggalkan Jagat berdua bersama selir Pitaloka melainkan juga ada Roro Wening yang berjalan mengikuti Akshita dari belakang sambil menggendong putranya. Hanya Prameswari yang masih setia menunggui suaminya.Jagat yang melihat sikap Pitaloka segera berjalan mengikis jarak hingga sejengkal, lalu telapak tangannya terulur agar dapat menggapai dagu runcingnya."Ada apa dengan wajahmu, Pitaloka?"Wanita itu terdiam, dia masih mengarahkan pandangannya ke bawah meskipun wajahnya sudah terangkat. Helaan napas berat bisa dirasakan oleh Jagat."Bicaralah, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau pikirkan jika hanya diam bahkan menatapku pun su
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela
Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger
Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den
Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun
Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar