Share

Burung Berenang dan Ikan Terbang Lebih Masuk Akal

Seorang pemuda baru saja terbangun dari tidurnya, dengan sedikit kantuk ia menghampiri meja makan yang tidak jauh dari tempat ia tidur. 

Dengan sedikit menguap ia membuka tudung saji yang berisi makanan kemarin malam. Ia pun melahap ubi rebus tersebut walau sudah sedikit aneh rasanya, tapi ia yakin tetap bisa memberinya sedikit tenaga di hari itu. 

 "Hoaaah. Misi apa yang akan diberikan kakek tua itu ya. Pasti misi-misi rendahan lagi. Kalau begitu kapan aku menjadi kuatnya," gumamnya sambil menyantap makanan paginya. 

 Setelah merasa cukup kenyang ia pergi ke bagian belakang rumahnya untuk sedikit membersihkan diri. 

 Pemuda itu adalah Abimana Yasa, ia adalah pemuda 19 tahun dengan paras yang cukup tampan. Rambutnya pendek dan terlihat berantakan, ia tidak peduli memusingkan hal itu. Justru ia merasa aneh jika merapikan rambutnya. 

 Abimana berdiri di depan cermin sambil memakai pakaian pendekarnya yang berwarna abu-abu. Ia mengakhirinya dengan memakai sabuk di pinggangnya.

Sabuk yang dimiliki oleh setiap pendekar di desanya. Tepat di ujung sabuk tersebut terdapat ukiran yang terlihat seperti api, itu adalah simbol kerajaan yang ia bela atau tempat ia mengabdi.

Kerajaan Geni, salah satu dari lima kerajaan besar di daratan Jawa. Dan di punggung pakaian pendekarnya terdapat titik hitam cukup besar. Itu adalah simbol dari keluarganya. Keluarga Yasa.

"Yah! Aku sudah siap hari ini untuk melakukan misi! Hari ini aku akan menuntut kakek tua itu untuk memberikan misi yang berbahaya agar aku menjadi jauh lebih kuat! Lalu menjadi Raja suatu hari nanti!" ucap Abimana bersemangat berkata kepada bayangannya di cermin. 

Setelah merasa sudah siap memulai hari Abimana pun keluar dari rumahnya. Ia hendak berjalan ke balai desa tempat para pendekar mendapatkan misi yang diberikan kepala desa. 

Dengan sedikit bernyanyi-nyanyi Abimana berjalan ke tempat tujuannya tapi kemudian ia dikagetkan oleh seorang pria sepuh dengan tongkat berdiri tersenyum di pinggir jalan. Abimana tahu siapa kakek itu, ia adalah salah satu tetangganya. Abimana sangat mengenalinya karena ia merasa kakek itu seolah sengaja menunggunya setiap pagi di sana hanya untuk mengoloknya. 

 "Cih. Kakek itu lagi!" gerutu Abimana sambil terus berjalan seolah-olah tidak melihat sama sekali.

 "Hey Abimana? Mau kemana kau? Menjalankan misi? Apakah kau sudah menjadi Raja hari ini? Haha." Pria sepuh itu tertawa gelak setelah mengolok Abimana. Beberapa orang yang lewat yang sempat mendengar pun tidak bisa menahan tawa, mereka sangat terhibur dengan ocehan pria sepuh itu. 

 Sudah Abimana duga, walau pun ia pura-pura tidak melihat pasti pria sepuh itu tetap memancingnya. 

 "Hey kakek! Lebih baik berdoa saja agar usiamu panjang agar kau suatu hari nanti bisa melihat Abimana Yasa ini menjadi Raja!" balas Abimana lantang. 

 Kakek tersebut semakin gelak. "Jika usiaku diberikan seratus tahun atau dua ratus tahun lagi pun kau tidak akan bisa menjadi Raja wahai Abimana!"

Orang-orang yang mendengar semakin tertawa cekikikan. Tapi Abimana berusaha tidak peduli walau hatinya sedikit sakit. "Cih. Awas saja kalian nanti!" umpat Abimana sambari terus berjalan dengan mempercepat langkahnya. 

Pria sepuh itu mengolok Abimana bukan tanpa alasan, ia ingin membuka pikiran Abimana karena untuk menjadi Raja harus memiliki garis keturunan Raja sebelumnya atau disebut pangeran.

Tidak akan bisa rakyat biasa seperti Abimana menjadi Raja. Apalagi ia berlatar belakang keluarga Yasa, termasuk nama keluarga yang tidak terpandang dan sangat asing. 

Jadi mustahil bagi Abimana untuk menjadi Raja, burung berenang dan ikan terbang lebih masuk akal bagi warga Desa Asoka. Sehingga Abimana yang sering mengutarakan cita-citanya tersebut selalu menjadi bahan olok-olok tetangga atau warga desa yang lain.

 "Awas saja. Awas saja. Aku akan menjadi Raja nanti," gumam Abimana sepanjang perjalanan. Suasana hatinya jadi memburuk karena ocehan tetangganya beberapa saat yang lalu. 

 Tapi kemudian seseorang merangkulnya saat ia sibuk menggerutu. 

 "Abimana kenapa kau sudah begitu di pagi hari yang cerah seperti ini?" ucap orang yang merangkulnya. 

 "Gu..guru Lingga?" balas Abimana. 

 Pria yang merangkul Abimana tersebut adalah Lingga. Pria paruh baya dengan rambut sebahu tapi dikucir satu itu adalah guru kelas saat Abimana masih belajar di perguruan sebelum menjadi pendekar.

Lingga sangat dekat dengan Abimana, Abimana adalah murid tersayang Lingga. Bukan karena keahlian atau keterampilan Abimana. Hanya saja ia merasa Abimana berbeda dari pada muridnya yang lain. Lingga pun sudah tahu kenapa muridnya itu memiliki wajah gusar padahal hari masih pagi. 

"Jangan dipikirkan, jika kau yakin maka tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini," ucap Lingga tersenyum sangat tulus kepada Abimana. 

"Gu..guru.." mata Abimana sontak berkaca-kaca. Dari sekian banyak manusia di desanya hanya Lingga yang percaya dengan impiannya yang menjadi Raja.

Lingga selain menjadi sosok guru, ia juga sudah seperti orangtua angkat bagi Abimana menggantikan sosok orangtua kandungnya yang ia sendiri tidak tahu apa kabarnya. Sehingga Abimana sangat menaruh hormat yang tinggi kepada Lingga. 

 "Tentu saja Guru! Aku akan menjadi Raja terbaik dari pada Raja yang pernah ada!" 

 Lingga tertawa sambil memukul kepala Abimana dengan pelan. "Kalau begitu kau harus banyak belajar tentang segala hal. Berhentilah menjadi pemalas!"

 "Hehe baik Guru," ucap Abimana sambil mengelus kepalanya yang sedikit sakit. Sejenak Abimana teringat bahwa ia adalah murid paling rendah nilainya saat lulus dari perguruan silat.

Ia sempat berpikir apakah ia memang pantas lulus atau Guru Lingga meluluskannya karena kasihan.

Hal ini juga yang membuat Abimana sering di olok-olok siapapun yang mengenalnya. Karena ia terkenal dengan kebodohanya tapi selalu cakap besar bahwa ingin sekali menjadi Raja. 

 "Yasudah semangat menjalankan misi hari ini. Jangan pilih-pilih, syukuri saja apapun misi yang diberi," ucap Lingga saat hendak berpisah dengan Abimana. Karena perguruan sudah di depan mata sedangkan tujuan Abimana masih jauh. 

 "Hehe baik guru. Semangat juga mengajarnya!" balas Abimana melambai penuh girang. Tentu saja bukan itu yang akan Abimana lakukan.

Ia sudah berniat memprotes Kepala Desa yang kerap memberinya misi gampangan. Tapi tidak akan ia beritahu kepada gurunya karena tentu saja pasti ia akan dimarahi panjang kali lebar karena hal itu. 

 Abimana pun melanjutkan perjalanannya menuju balai desa. Tanpa sadar ia sudah melewati wilayah ramai. Sekarang ia sedang menyusuri jalan sepi desa menuju balai. Tapi kemudian keheningannya terganggu saat mendengar suara kereta kuda yang rasanya sangat terburu-buru. 

 "Hiyah! Hiyah!"

Seorang kusir memacu kereta kudanya dengan sangat cepat seolah sedang dikejar sesuatu. Roda kayu kereta menghantam kerikil jalanan dengan putaran sangat cepat.

 Kereta kuda tersebut melintas di jalan yang berbeda dengan Abimana. Jalan tersebut tepat di sampingnya yang hanya di batasi tanaman bambu yang lebat. 

 Tidak lama kereta kuda itu melewatinya dengan sangat cepat. Benar saja di belakangnya seorang penunggang kuda dengan berpakaian serba hitam memacu kudanya tidak kalah cepat seolah ingin menyusul kereta di depannya. 

 Dalam bayang-bayang tanaman bambu Abimana begitu penasaran apa sebenarnya yang terjadi. Ia pun ikut berlari mengejar penunggang kuda berpakaian serba hitam itu. Hingga akhirnya ia mendapati sebuah celah lalu berpindah ke jalan yang sama. 

 Tapi kereta itu sudah terbalik, kudanya meringkik lari ketakutan. Seorang kusir yang sempat Abimana lihat kini wajahnya penuh luka dan darah karena kecelakaan itu. Kusir tersebut sangat ketakutan ketika melihat pria berpakaian serba hitam di depannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status