Share

BAB 2 APA YANG TERJADI?

Hari itu kurang lebih sebulan yang lalu. Di depan sekolah Nadhira. Nadhira sedang bersama dengan teman-temannya. Hari itu Nadhira masuk hanya untuk melihat pengumuman pembagian kelas saja. Oleh krena itu belumlah tengah hari, Nadhira sudah keluar kelas bersama teman-temannya dan sepakat untuk makan siang bersama di kafe terdekat.

“Nad!” suara yang sangat dikenali Nadhira. Arya yang sedang berdiri di samping mobil tengah melambaikan tangannya ke arah Nadhira.

“Kak Arya!” Nadhira terkejut kemudian berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat.

Arya, kakak lelaki Nadhira satu-satunya yang sedang kuliah di ibu kota, baru saja sampai di kota kelahirannya dan bersemangat utuk menjalani liburan semesternya. Arya datang bersama Mama Nur dan Pak Hamzah, mama papa mereka.

Terlihat seulas senyuman di bibir kedua orang tua itu yang tengah memperhatikan kedua anaknya yang sedang berpelukan mengungkapkan rasa rindu. Senyum mereka semakin merekah melihat Arya mengacak-acak rambut Nadhira dengan gemas. Namun tidak lama wajah mereka kembali berubah menjadi tanpa ekspresi.

Teman-teman Nadhira mengikuti di belakang dan ramai menyapa mama papa dan kakak Nadhira. Nadhira mengamati wajah papanya yang tidak tampak begitu bahagia dengan kedatangan kakaknya. Begitu juga mamanya. Senyum yang tadi mengembang tiba-tiba saja hilang dan berganti raut wajah datar.

Nadhira menduga semua ini ada kaitannya dengan apa yang seharusnya dia sampaikan tadi malam. Tiba-tiba saja rasa takut menyergap dirinya. Sepertinya hanya kakaknya yang belum mengerti persoalan besar apa yang sedang menunggu mereka.

“Siang Om, Tante, Kak,” Sapa mereka antusias namun penuh tanda tanya. Satu-satu bersalaman dengan keluarga Nadhira.

“Iya. Siang anak-anak. Pada mau kemana ini?” tanya Mama Nur datar.

“Kami mau makan bareng tante. Sama Nadhira juga.” Ranti mewakili menjawab pertanyaan Mama Nur.

“oh gitu. Hmm.. gimana yaa, ini Nadhira mau mama ajak pulang, karena ada urusan keluarga,” kata Mama Nur sambil merangkul Nadhira.

Pak Hamzah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan memilih kursi belakang, disusul Arya di belakang kemudi.

“Maaf yaa anak-anak. Kami pamit dulu,” kata Mama Nur sedikit memaksa Nadhira untuk masuk ke dalam mobil di sebelah Arya.

“Iya Tante, nggak apa-apa. Hati-hati Tante, Om, Kak,” Ranti melambai penuh tanda tanya ke arah Nadhira yang terdiam tak banyak bicara.

Nadhira membalas lambaian tangan Ranti dan kawan-kawannya. Mungkin untuk terakhir kalinya. Nadhira sepertinya sudah menduga bahwa apa yang selama beberapa waktu ini menghantui pikirannya akan terjadi. Dia akan menggoreskan luka pada keluarganya. Luka yang tidak hanya menyakitkan tapi juga akan menjadi aib keluarganya.

Nadhira diam penuh kepasrahan. Tidak dihiraukannya kakaknya yang mengajukan banyak pertanyaan padanya. Dia melihat sekilas raut terluka, dan gelisah dari wajah kedua orang tuanya yang kini menatap dalam diam pemandangan di luar mobil yang sedang membelah jalanan.

Nadhira harus menguatkan hatinya. Ia masih tidak tahu takdir seperti apa yang harus dijalaninya. Dadanya berdebar kencang. Berkali-kali dia melatih dialog seperti apa yang akan dipakainya nanti.

Kata-kata apa yang akan digunakannya agar kedua orang tuanya luluh, dan memaafkan perbuatannya yang salah. Namun mau tidak mau, suka tidak suka Nadhira harus mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak akan bisa menghadapi persoalan ini sendirian.

Waktu itu suasana di dalam mobil sangat tidak nyaman. Nadhira memilih diam meskipun ia ingin menyapa dan berbicara dengan kakaknya. Namun Arya sendiri juga masih penuh tanda tanya kenapa orang tuanya bersikeras menjemput dirinya di stasiun dan berlanjut menjemput adiknya.

Namun bukan sambutan hangat yang diterima Arya sesampainya di kota kelahirannya ini. Papa dan mamanya tidak banyak bicara. Suasananya sungguh tidak enak dirasakan oleh Arya. Seperti ada kabut gelap menyelimuti mereka.

Sesampainya di rumah papa mamanya masuk lebih dulu. Arya dan Nadhira menyusul sembari saling tatap. Nadhira hanya tertunduk tanpa kata mengikuti langkah mama dan papanya. Bingung Arya juga masuk setelah mengambil barang di bagasi mobil.

Di dalam rumah. Mama Nur langsung sibuk menghangatkan makanan di dapur. Pak Hamzah duduk di meja makan sambil minum segelas air putih dengan wajah gusar.

‘Apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam keluarga ini?’ batin Arya penuh tanda tanya.

"Nad, duduk sini, Nak,” suara ayahnya yang dalam pertanda ada hal serius yang akan beliau bicarakan.

“Iya Pa,” jawab Nadhira pelan sambil duduk di kursi meja makan.

“Kamu juga Arya, duduk di sebelah Nadhira,” panggil Pak Hamzah pada putranya.

“Iya Pa,” jawab Arya sambil duduk.

Tak lama Mama Nur menyusul setelah meletakkan gelas minum di depan Arya dan Nadhira, berlanjut duduk di sebelah suaminya dan meletakkan gelas minuman di hadapannya sendiri.

Tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Papa mereka akan menggelar diskusi semacam ini saat ada hal yang amat serius terjadi dalam rumah tangga ini, namun hal itu sangat jarang terjadi.

“Nadhira..,” Pak Hamzah memecah kesunyian di antara mereka dengan panggilan lembut pada anak perempuannya.

“Nad tahu 'kan Mama dan Papa sayang sekali dengan kamu, Nak,” lanjut Pak Hamzah.

Nadhira yang menjadi pusat perhatian mengangguk pelan. Wajahnya kian tertunduk dalam. Tangannya sibuk memainkan ujung bajunya.

“Nad, apa ada yang ingin kamu sampaikan sama papa dan mama?” Pak Hamzah melihat ke arah putrinya dengan sorot mata terluka.***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status