Hari itu kurang lebih sebulan yang lalu. Di depan sekolah Nadhira. Nadhira sedang bersama dengan teman-temannya. Hari itu Nadhira masuk hanya untuk melihat pengumuman pembagian kelas saja. Oleh krena itu belumlah tengah hari, Nadhira sudah keluar kelas bersama teman-temannya dan sepakat untuk makan siang bersama di kafe terdekat.
“Nad!” suara yang sangat dikenali Nadhira. Arya yang sedang berdiri di samping mobil tengah melambaikan tangannya ke arah Nadhira.“Kak Arya!” Nadhira terkejut kemudian berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat.Arya, kakak lelaki Nadhira satu-satunya yang sedang kuliah di ibu kota, baru saja sampai di kota kelahirannya dan bersemangat utuk menjalani liburan semesternya. Arya datang bersama Mama Nur dan Pak Hamzah, mama papa mereka.Terlihat seulas senyuman di bibir kedua orang tua itu yang tengah memperhatikan kedua anaknya yang sedang berpelukan mengungkapkan rasa rindu. Senyum mereka semakin merekah melihat Arya mengacak-acak rambut Nadhira dengan gemas. Namun tidak lama wajah mereka kembali berubah menjadi tanpa ekspresi.Teman-teman Nadhira mengikuti di belakang dan ramai menyapa mama papa dan kakak Nadhira. Nadhira mengamati wajah papanya yang tidak tampak begitu bahagia dengan kedatangan kakaknya. Begitu juga mamanya. Senyum yang tadi mengembang tiba-tiba saja hilang dan berganti raut wajah datar.Nadhira menduga semua ini ada kaitannya dengan apa yang seharusnya dia sampaikan tadi malam. Tiba-tiba saja rasa takut menyergap dirinya. Sepertinya hanya kakaknya yang belum mengerti persoalan besar apa yang sedang menunggu mereka.“Siang Om, Tante, Kak,” Sapa mereka antusias namun penuh tanda tanya. Satu-satu bersalaman dengan keluarga Nadhira.“Iya. Siang anak-anak. Pada mau kemana ini?” tanya Mama Nur datar.“Kami mau makan bareng tante. Sama Nadhira juga.” Ranti mewakili menjawab pertanyaan Mama Nur.“oh gitu. Hmm.. gimana yaa, ini Nadhira mau mama ajak pulang, karena ada urusan keluarga,” kata Mama Nur sambil merangkul Nadhira.Pak Hamzah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan memilih kursi belakang, disusul Arya di belakang kemudi.“Maaf yaa anak-anak. Kami pamit dulu,” kata Mama Nur sedikit memaksa Nadhira untuk masuk ke dalam mobil di sebelah Arya.“Iya Tante, nggak apa-apa. Hati-hati Tante, Om, Kak,” Ranti melambai penuh tanda tanya ke arah Nadhira yang terdiam tak banyak bicara.Nadhira membalas lambaian tangan Ranti dan kawan-kawannya. Mungkin untuk terakhir kalinya. Nadhira sepertinya sudah menduga bahwa apa yang selama beberapa waktu ini menghantui pikirannya akan terjadi. Dia akan menggoreskan luka pada keluarganya. Luka yang tidak hanya menyakitkan tapi juga akan menjadi aib keluarganya.Nadhira diam penuh kepasrahan. Tidak dihiraukannya kakaknya yang mengajukan banyak pertanyaan padanya. Dia melihat sekilas raut terluka, dan gelisah dari wajah kedua orang tuanya yang kini menatap dalam diam pemandangan di luar mobil yang sedang membelah jalanan.Nadhira harus menguatkan hatinya. Ia masih tidak tahu takdir seperti apa yang harus dijalaninya. Dadanya berdebar kencang. Berkali-kali dia melatih dialog seperti apa yang akan dipakainya nanti.Kata-kata apa yang akan digunakannya agar kedua orang tuanya luluh, dan memaafkan perbuatannya yang salah. Namun mau tidak mau, suka tidak suka Nadhira harus mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak akan bisa menghadapi persoalan ini sendirian.Waktu itu suasana di dalam mobil sangat tidak nyaman. Nadhira memilih diam meskipun ia ingin menyapa dan berbicara dengan kakaknya. Namun Arya sendiri juga masih penuh tanda tanya kenapa orang tuanya bersikeras menjemput dirinya di stasiun dan berlanjut menjemput adiknya.Namun bukan sambutan hangat yang diterima Arya sesampainya di kota kelahirannya ini. Papa dan mamanya tidak banyak bicara. Suasananya sungguh tidak enak dirasakan oleh Arya. Seperti ada kabut gelap menyelimuti mereka.Sesampainya di rumah papa mamanya masuk lebih dulu. Arya dan Nadhira menyusul sembari saling tatap. Nadhira hanya tertunduk tanpa kata mengikuti langkah mama dan papanya. Bingung Arya juga masuk setelah mengambil barang di bagasi mobil.Di dalam rumah. Mama Nur langsung sibuk menghangatkan makanan di dapur. Pak Hamzah duduk di meja makan sambil minum segelas air putih dengan wajah gusar.‘Apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam keluarga ini?’ batin Arya penuh tanda tanya."Nad, duduk sini, Nak,” suara ayahnya yang dalam pertanda ada hal serius yang akan beliau bicarakan.“Iya Pa,” jawab Nadhira pelan sambil duduk di kursi meja makan.“Kamu juga Arya, duduk di sebelah Nadhira,” panggil Pak Hamzah pada putranya.“Iya Pa,” jawab Arya sambil duduk.Tak lama Mama Nur menyusul setelah meletakkan gelas minum di depan Arya dan Nadhira, berlanjut duduk di sebelah suaminya dan meletakkan gelas minuman di hadapannya sendiri.Tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Papa mereka akan menggelar diskusi semacam ini saat ada hal yang amat serius terjadi dalam rumah tangga ini, namun hal itu sangat jarang terjadi.“Nadhira..,” Pak Hamzah memecah kesunyian di antara mereka dengan panggilan lembut pada anak perempuannya.“Nad tahu 'kan Mama dan Papa sayang sekali dengan kamu, Nak,” lanjut Pak Hamzah.Nadhira yang menjadi pusat perhatian mengangguk pelan. Wajahnya kian tertunduk dalam. Tangannya sibuk memainkan ujung bajunya.“Nad, apa ada yang ingin kamu sampaikan sama papa dan mama?” Pak Hamzah melihat ke arah putrinya dengan sorot mata terluka.***Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac
"Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d
“Zaki, kamu merokok?” Nadhira menoleh ke arah Zaki dan menunjukkan sebungkus rokok yang hampir penuh.“Ah, kadang aja.. kalau lagi nulis lagu,” jawab Zaki sekenanya.“Sejak kapan?” tanya Nadhira masih sambil membolak balik rokok itu.“Hmm.. Sejak ngeband kayaknya,” tak acuh Zaki menjawab pertanyaan Nadhira.“Trus ini ?” desak Nadhira“itu bukan rokok aku. Punya anak-anak ketinggalan waktu main ke sini,” jawab Zaki sambil nyengir.“Aku nggak pernah tahu kamu suka ngerokok. Hmm.. baiknya sih dikurangin. Lebih baik lagi kalau berhenti. Kamu kan masih muda, masa depan masih panjang, jangan dirusak dengan barang kayak gini,” panjang lebar Nadhira mengomel“ahaha.. iya bu guru..” geli Zaki menimpali omelan Nadhira sambil tertawa.“Kamu ini kalau dibilangin yaa..” Nadhira berbalik kembali melihat-lihat koleksi yang ada di meja belajar Zaki.“Emang ngerokok enak?” penasaran Nadhira melemparkan pertanyaan itu. Ia tidak pernah tahu alasan kenapa orang suka banget ngerokok. Padahal Nadhira ngise
Subuh itu, Nadhira menyadari bahwa keberadaan dirinya di rumah itu ditentang keras oleh Ana dan Ani. Sejak kemarin Hanif memang tidak menceritakan apa pun padanya. Termasuk fakta bahwa Ana dan Ani menolak pernikahan Hanif dan Nadhira.Hanif mendapati Nadhira duduk di tempat tidur masih dengan menggunakan mukena. Mushaf kecil tergeletak begitu saja di sampingnya. Wajah Nadhira kentara habis menangis.“Ada apa, Nad?” tanya Hanif hati-hati.“Lik, Nad harus kemana kalau di sini pun ditolak? Nad sekarang nggak punya apa-apa,” keluh Nadhira.“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Hanif sambil duduk di hadapan istrinya.“Aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi, Lik. Lik tahu sendiri Mama dan Kak Arya sudah tidak mau berhubungan lagi denganku. Sedangkan di sini pun begitu. Lantas aku harus pergi kemana?”Hanif menghela napas berat. Dia baru sadar bahwa Nadhira telah mendengar pembicaraannya dengan Ana barusan.“Kan kemarin sudah kita bicarakan baik-baik. Kenapa sekarang jadi ngomongin ini lagi?”H
“Kalau kamu belum nyaman satu kamar dengan aku. Ngak apa-apa biar Mas tidur di kamar lain, atau di ruang tamu,” kata Hanif yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Nadhira, mengagetkannya.“Nggak, Mas. Kalau ada yang harus tidur di luar ya aku. Kan ini rumahnya Mas. Jadi nggak apa kalauaku tidur di ruang tamu atau depan tv,” tolak Nadhira.“Hmm. Sekarang ini kamu bukan orang lain lagi di sini Nad. Ini rumah kamu juga. Kan kamu istrinya mas. Jadi kamar ini juga jadi kamar kamu. Tapi ya kalau kamu nggak keberatan alangkah baiknya kalau kita tidur bersama.Nadhira menatap ngeri ke arah Hanif“Nggak. Bukan tidur bersama itu. Maksud aku tidur bersama di kamar ini. Tidur dalam artian yang sebenarnya. Mas janji nggak akan memaksa kamu untuk melayani Mas. Kamu tenang aja,” hanif jadi salah tingkah.“Maaf Lik. Aku rasa aku belum bisa melayani lik sebagaimana layaknya istri melayani suami. Aku harap lik bersabar tentang itu.“Iya, insyaallah sabar. Tapi jangan panggil Lik lagi dong. Kan tadi u
“Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan