Share

BAB 3 DUA GARIS MERAH

“Nad ada apa memangnya? Apa yang terjadi Nad, sampai Papa dan Mama mengadakan diskusi semacam ini?” Arya yang duduk di sebelah Nadhira memegang pundak adiknya itu.

Dipandanginya dengan lekat wajah Nadhira mencari jawaban. Namun Nadhira hanya semakin mengatupkan bibirnya dan menunduk dalam, tak berani bersuara. Jari-jari tangannya bermain satu sama lain, terlihat gelisah dan gugup.

“Nad..” Mama Nur mulai terisak.

“Ada apa ini Ma, Pa?” Arya mencoba mencari jawaban atas apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini.

“Mama tadi pagi bersihkan kamar kamu Nad, dan mama menemukan ini,” Mama Nur mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja. Nadhira melirik sekilas.

“Ini kan..,” Arya melihat benda itu dengan penuh kebingungan. Arya sedikit banyak tahu tentang alat apa itu. Ada tanda dua garis merah yang jelas terpampang pada alat berwarna biru putih itu.

'Apa mungkin Nadhira... .' batin Arya bergemuruh.

“Apa maksudnya ini Ma, Pa?” Arya menatap satu persatu orang tuanya dan Nadhira, mencoba menyangkal dugaan dalam pikirannya.

Namun Nadhira masih bungkam dan mulai meneteskan air mata.

“Nad, Papa minta penjelasan kamu Nak,” Suara Papa tersendat menahan luka.

“Maafin Nadhira Ma, Pa,” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Nadhira.

Disusul deraian air mata. Nadhira tergugu dan hanya kata maaf yang keluar dari mulutnya. Mama Nur ikut menangis keras, begitu juga Pak Hamzah yang menangis dalam diam. Putri yang dia sayangi sepenuh hatinya telah menorehkan aib dalam keluarganya.

Dada Pak Hamzah dipenuhi rasa bersalah karena merasa telah gagal mendidik anaknya dengan baik. Ia menyalahkan dirinya karena kurang memberikan bimbingan dan pendidikan agama. Ia harusnya bisa membentengi anaknya dari pengaruh-pengaruh dunia luar yang tidak baik.

Pak Hamzah menyesali keputusannya yang membiarkan Nadhira tidak menutup auratnya dengan sempurna. Seharusnya dia lebih keras mendidik anaknya tentang pentingnya menutup aurat, menjaga marwah, dan menjaga jarak dari laki-laki yang bukan muhrimnya.

Tangis pilu Mama Nur memenuhi seluruh rumah. Begitu dalam rasa penyesalan yang dia rasakan mendapati anak perempuan berharganya hamil sebelum menikah.

Bayangan akan masa depan anaknya yang suram begitu menyakiti dirinya. Apa yang akan keluarga besarnya katakan, apa yang para tetangganya katakan. Pikiran-pikiran itu memenuhi isi kepalanya.

Arya seakan tidak percaya, ia mulai menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Arya begitu emosi hingga menggebrak meja. ia begitu marah pada Nadhira yang telah mencoreng nama baik keluarganya.

Nadhira tidak hanya membuat malu keluarganya. Namun ia telah menyakiti hati mama dan papanya. Dan Arya tidak bisa menerima itu. Tidak ada yang boleh menyakiti hati orang tuanya sekalipun jika itu adalah Nadhira, adiknya sendiri.

“Gila kamu Nad! Kamu Hamil?! Kenapa kelakuan kamu jadi bejat seperti ini Nad?!” Arya berdiri dan berkacak pinggang. Napasnya memburu, penuh amarah.

“Siapa Bapaknya Nad? SIAPA?!” Arya memegang kencang bahu adiknya dan menggoyang-goyangkan tubuh Nadhira menuntut jawaban.

“Bilang Nad! Siapa laki-laki brengsek yang sudah menodai kamu?!” dalam kemarahannya air mata tak dapat dibendungnya lagi. Arya jatuh terduduk di kursinya dan menangis.

“Apa salah mama dan Papa Nad? hingga harus menerima malu seperti ini. Apa yang akan orang lain bilang tentang keluarga kita Nad,” kata Arya dengan suara tersendat di sela isaknya.

Mengabaikan perkataan kakaknya, Nadhira berdiri dan menghampiri mamanya. Ia bersimpuh di kaki mamanya dan meminta maaf. Tangisnya semakin keras saat mamanya tak memberikan reaksi apa pun. Mamanya terus menangis hingga tak mampu berkata-kata.

Nadhira memandang penuh kesedihan pada mamanya. Sembari terus meminta maaf. Melihat mamanya hanya terdiam ia mencoba menghampiri papanya.

“Ma, Pa, maafin Nadhira, Nadhira salah,”

Nadhira memegang kaki papanya dan bersujud meminta maaf.

Namun papanya hanya terdiam tak berkata apa pun. Hanya lantunan istighfar lirih terdengar dari mulut papanya. Hati Nadhira semakin hancur. Ia lebih memilih dimarahi, dibentak, atau dipukuli daripada hanya didiamkan seperti ini.

Seolah tidak melihat atau mendengar kata Nadhira, Pak Hamzah berdiri dan menghampiri istrinya, dirangkul dan dibantunya istrinya berdiri. Pada kedua anaknya Pak Hamzah berkata,

“Kita lanjutkan nanti pembicaraan ini. Arya kamu pasti capek, Mamamu sudah masak makanan kesukaan kamu, makanlah nak. Mama dan papa akan istirahat dulu,” tak menunggu jawaban anaknya Pak Hamzah menuntun istrinya ke dalam kamar.

“Maa.. Paa..” Nadhira memangil lirih mama dan papanya masih dengan deraian air mata. Nadhira tersungkur dengan tangisan memohon ampunan dari dua orang yang amat dikasihinya.

“Kamu.. Nad.. Sadar kamu apa yang sudah kamu lakukan? Kamu anak durhakat tahu nggak! Masuk kamar sana!” dengan nada marah Arya mengangkat adiknya dan mengarahkannya ke tangga.

“Cepat Naik!” setelah meneriaki Nadhira, Arya berlalu dan menuju ruang tamu.

Nadhira segera naik ke lantai dua, berjalan perlahan memasuki kamarnya dan menutup pintu. Kepalanya sakit karena banyak menangis. Ia duduk di atas tempat tidurnya.

Semua ini adalah salahnya. Seharusnya semua ini tidak terjadi seandainya ia bisa menahan diri saat itu. Hatinya remuk melihat mama dan papanya seperti tadi. Ia telah berdosa karena menyakiti hati keduanya.

Selama ini mama dan papanya telah begitu baik memperlakukan dirinya. Mereka selalu mendukung penuh kegiatan Nadhira. Nadhira tahu, mama dan papanya menaruh kepercayaan penuh pada dirinya.

Tidak pernah ada kekangan berlebihan di rumah ini. Mama dan papanya begitu menyayangi anak-anaknya. Jika pun kedua anaknya bertengkar, orang tuanya akan mencari solusi tanpa harus menyakiti salah satunya. Orang tuanya mendidik Arya agar menyayangi dan melindungi adiknya. Dan Nadhira dididik untuk selalu hormat dengan orang yang lebih tua.

Itulah kenapa meskipun kakaknya sering menjahilinya, Nadhira tahu bahwa kakaknya sangat menyayangi dirinya. Namun dengan semua kasih sayang yang sudah mereka berikan, Nadhira telah menorehkan luka yang teramat dalam pada mereka, luka yang tidak ada obatnya.

Nadhira tidak menyangka bahwa aib yang sedianya akan dia sampaikan secara perlahan dan halus pada mama dan papanya harus terbongkar dengan cara yang menyakitkan. Nadhira baru menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu telah menyakiti hati mama dan papanya. Nadhira tidak pernah melihat papanya menangis seperti itu. Mamanya pun tidak pernah mengabaikan Nadhira seperti tadi.

Melihat semua itu membuat hati Nadhira pedih dan pilu. Terlalu dalam luka hati yang telah ditorehkannya pada dua orang yang seharusnya dibuat bahagia dan bangga dengan prestasinya. Nadhira tahu dia telah berbuat dosa, tapi bagi Nadhira ini adalah bukti cintanya dengan Zaki. Laki-laki pertama yang meluluhkan hatinya dan menerimanya sebagai kekasih.

Zaki dimana kamu sekarang? Aku butuh kamu saat ini?***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status