"Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d
Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac
“PERGI KAMU DARI RUMAH INI, NAD! INI SUDAH BUKAN RUMAH KAMU LAGI!” Teriak mama Nur pada anak perempuannya bernama Nadhira.“Tapi ma, ini belum empat puluh harinya papa. Nadhira masih mau di sini ma,” jawab Nadhira di tengah isak tangisnya. “Mama sudah tidak ingin melihat wajah kamu lagi Nad! PERGI!” teriak Mama Nur penuh emosi. “Maafin Nadhira ma, Nadhira tahu Nadhira salah. Nad minta maaf, Ma," Nadhira bersimpuh di hadapan mamanya sambil menangkupkan tangannya. Tangisnya pecah. Dia tidak menyangka mamanya akan mengusirnya seperti itu. Mama Nur yang dulu selalu lemah lembut kini seolah menjadi sosok yang asing bagi Nadhira. Tiada lagi panggilan penuh kasih sayang dan tatapan lembut penuh kasih.“Buat apa lagi kamu di sini? Gara-gara kamu papa meninggal! Sekarang kamu sudah jadi istrinya Lik Hanif, jadi kamu bisa pergi dari rumah ini,” sahut Arya, kakak laki-laki Nadhira.“Tapi Kak, Nadhira..” “Aaah.. nggak usah pakai tapi-tapian, lebih baik kamu segera angkat kaki dari rumah ini!
Hari itu kurang lebih sebulan yang lalu. Di depan sekolah Nadhira. Nadhira sedang bersama dengan teman-temannya. Hari itu Nadhira masuk hanya untuk melihat pengumuman pembagian kelas saja. Oleh krena itu belumlah tengah hari, Nadhira sudah keluar kelas bersama teman-temannya dan sepakat untuk makan siang bersama di kafe terdekat.“Nad!” suara yang sangat dikenali Nadhira. Arya yang sedang berdiri di samping mobil tengah melambaikan tangannya ke arah Nadhira. “Kak Arya!” Nadhira terkejut kemudian berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat. Arya, kakak lelaki Nadhira satu-satunya yang sedang kuliah di ibu kota, baru saja sampai di kota kelahirannya dan bersemangat utuk menjalani liburan semesternya. Arya datang bersama Mama Nur dan Pak Hamzah, mama papa mereka. Terlihat seulas senyuman di bibir kedua orang tua itu yang tengah memperhatikan kedua anaknya yang sedang berpelukan mengungkapkan rasa rindu. Senyum mereka semakin merekah melihat Arya mengacak-acak rambut Nadhira denga
“Nad ada apa memangnya? Apa yang terjadi Nad, sampai Papa dan Mama mengadakan diskusi semacam ini?” Arya yang duduk di sebelah Nadhira memegang pundak adiknya itu. Dipandanginya dengan lekat wajah Nadhira mencari jawaban. Namun Nadhira hanya semakin mengatupkan bibirnya dan menunduk dalam, tak berani bersuara. Jari-jari tangannya bermain satu sama lain, terlihat gelisah dan gugup. “Nad..” Mama Nur mulai terisak. “Ada apa ini Ma, Pa?” Arya mencoba mencari jawaban atas apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini. “Mama tadi pagi bersihkan kamar kamu Nad, dan mama menemukan ini,” Mama Nur mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja. Nadhira melirik sekilas. “Ini kan..,” Arya melihat benda itu dengan penuh kebingungan. Arya sedikit banyak tahu tentang alat apa itu. Ada tanda dua garis merah yang jelas terpampang pada alat berwarna biru putih itu. 'Apa mungkin Nadhira... .' batin Arya bergemuruh.“Apa maksudnya ini Ma, Pa?” Arya menatap satu persatu orang tua
“Bagaimana kondisi anak saya dok?” tanya Mama Nur pada wanita cantik berjilbab di hadapannya yang sedang mengetik di depan komputer. Wanita itu tersenyum penuh pengertian dan menatap Mama Nur dengan lembut. “Alhamdulillah, janinnya berkembang di dalam rahim. pertumbuhannya bagus,” jelas dokter Kartika dengan lembut. “Untuk Dek Nadhira, pastikan makan tepat waktu yaa dan gizinya juga dijaga. Mungkin trimester pertama memang tidak nyaman saat makan karena ada rasa mual dan muntah, tapi usahakan tetap mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yaa. Nanti saya resepkan vitamin tambahan juga,” tamabh dokter Kartika pada Nadhira. “Iya Dok,” jawab Nadhira singkat. Mama Nur hanya diam mendengarkan. “Boleh Saya bicara sebentar dengan Ibu, berdua saja?” tanya Dokter cantik itu pada Mama Nur. “Iya dok,” jawab Mama Nur. Nadhira paham dan pamit menunggu di luar. Di ruang tunggu Arya sedang duduk dengan gelisah. Ia berdiri saat melihat Nadhira keluar dari ruang periksa dokter. “Mama?” tanya A
“Oh iya, Arya. Mama minta tolong ambilkan obat dan vitamin di apotik yang ada di dalam yaa. ini resepnya.. Mama dan Nadhira akan tunggu di mobil,” Mama Nur menyerahkan resep dari dokter dan sejumlah uang. Lalu Mama Nur segera masuk ke dalam mobil. “Baik ma,” jawab Arya. Ia pergi setelah memastikan mamanya duduk dengan nyaman. Ia menyalakan mobil agar udara dalam mobil bisa lebih dingin dan segar. Keheningan memenuhi udara di dalam mobil. Hanya suara kipas pendingin yang terdengar. Nadhira tidak berani mengatakan apa pun untuk memulai pembicaraan. Ia terlalu merasa bersalah pada kedua orang tuanya dan juga kakak laki-lakinya. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan keluarga padanya. Kini Nadhira tidak dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang diplomat. Karena dia sendiri yang telah merusak jalan menuju impian besarnya itu. Nadhira memutuskan tidak akan lagi pergi ke sekolah. Dan seolah tahu apa yang dipikirkan oleh putrinya Mama Nur memulai pembicaraan. “Lahirkan anak it
Arya masih kesal dengan adiknya karena tidak mau memberitahu siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Nadhira begitu rapat menyimpan nama laki-laki itu. Seandainya Arya bisa mengorek keterangan dari teman-teman Nadhira, ia akan dengan senang hati melakukannya. Namun hal itu tidak mungkin ia lakukan karena itu sama saja dengan membuka aib keluarganya. Kemarin malam sehari setelah terbongkarnya kehamilan Nadhira, Arya menyita handphone milik Nadhira. Ia berharap mendapatkan data tentang siapa sosok yang disembunyikan identitasnya oleh adiknya ini. Namun seolah tahu apa yang akan dilakukannya, tidak ada data apa pun yang didapatnya. Sepertinya Nadhira telah menghapus semua kontak dan foto-foto yang ada. Nadhira hanya bisa menangis saat semalam ia melihat kakaknya mengobrak abrik meja belajarnya dan mengeluarkan isi tas sekolahnya. Berharap menemukan sesuatu tentang Zaki. Malam setelah mama dan papanya mengetahui kebenaran yang amat pahit itu, Nadhira telah merelakan dan menghap