Mobil membelah jalanan yang tidak terlalu padat kendaraan. Udara begitu panas di luar sana, hingga sinar matahari serasa amat menyilaukan.“Jika kondisi papamu masih terus begini, bagaimana dengan rencana pernikahan adikmu Ar?” tanya Pakde Agus memecah kesunyian di dalam mobil.“Arya juga tidak tahu Pakde. Apa baiknya tetap diteruskan?” tanya Arya.“Apa Jadi dirame-rame?” tanya Pakdenya lagi“Semua persiapan masih belum dicancel Pakde. Dari gedung, kuade, rias sampai catering sudah dipesan papa. Jika pun harus dibatalkan yaa harus dilaksanakan dalam minggu ini,” jawab Arya pedih.“Ya baiknya nanti kita diskusi dengan Mama-mu juga,” ujar Pakde Agus“Iya Pakde, mungkin nanti Pakde bisa mengawali bahasan itu. Biar Nadhira Arya ajak pulang untuk mengambil baju ganti sambil nengokin rumah. Jadi Pakde dan mama bisa lebih leluasa berbicara,” kata Arya.“Lho Nadhira masih belum setuju untuk menikah dengan Hanif ?”“Entahlah Pakde, Arya sendiri juga bingung kenapa Nadhira menolak. Apa iya dia
“Sampai kapan kamu akan menolak rencana pernikahan yang sudah disepakati keluarga besar kita Nad?” tanya Arya dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.“Apa Nadhira harus menikah kak?” tanya Nadhira.“Jika tidak menikah maka anak kamu akan lahir tanpa ayah, apa kamu belum mengerti apa maksud kalimat itu?” tanya Arya dengan nada kesal.“Ya Nadhira akan melahirkan dan membesarkannya sendiri,” jawab Nadhira dengan entengnya.“Kamu janga egois. Kamu pikir melahirkan dan membesarkan anak sendirian itu mudah?” sinis Arya.Nadhira terdiam. Dia baru kali ini hamil bagaimana dia tahu sulitnya melahirkan dan membesarkan anak seorang diri. Dia sadar betul bahwa ini salahnya. Dan Nadhira sudah berniat untuk memperbaiki diri, tapi tidak dengan cara menikahi pamannya, suami dari almarhumah Buliknya.“Apa kau sudah siap dengan beban mental yang akan kamu hadapi saat hamil di luar nikah? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana anak kamu nanti saat berada di lingkungannya?”“Aku akan membesarkannya dengan
Drrrtt.. Drrrtt.. Drrrtt..Telepon Arya bergetar tanda ada panggilan masuk.[Mama]“Halo. Assalamualaikum ma,” sapa Arya begitu mengangkat telepon dari mamanya.“Waalaikumsalam. Ar, kamu masih di rumah?” tanya mama.“Iya, ma. Arya masih di rumah. Nadhira baru beberes kamar untuk Pakde. Dan lagi siap-siap berangkat lagi ke rumah sakit. Ada apa, Ma?” tanya Arya.“Cepatlah kembali. Papa kena serangan lagi. Sekarang dokter sedang menanganinya. Mama takut, Ar,” Suara Mama Nur bergetar.“Ya, Ma. Mama tenanglah. Arya segera datang,” segera dia tutup panggilan dan berlari keluar kamar. Diketuknya tergesa pintu kamar Nadhira.“Ada apa kak?” tanya Nadhira yang baru berganti pakaian.“Cepat! Papa kena serangan lagi,&r
Tersendat-sendat Nadhira menyelesaikan bacaan Alqur’annya. Waktu sudah memasuki waktu sholat isya’. Semuanya setuju untuk shalat berjamaah di kamar itu. Pakde Agus yang mengimami shalat. Sesekali terdengar isak dan sedu sedan di antara mereka saat Pakde Agus mempimpin dzikir dan doa.Mama Nur kembali duduk di samping tempat tidur pak Hamzah. Dibisikkannya sesuatu di telinga pak Hamzah. Digenggamnya erat tangan suaminya. Sesekali diciumnya tangan pak Hamzah.Mama Nur kemudian mengambil baskom air dan handuk kecil. Dibawanya baskom tersebut dan diisinya dengan air hangat suam kuku. Dia kembali ke samping tempat tidur pak Hamzah, dan mulai mengusap lembut kaki pak Hamzah dengan handuk yang sudah diperas airnya.Semua yang ada di ruangan itu memperhatikan Mama Nur tanpa bicara. Mama Nur juga seperti tidak terganggu dengan keberadaan mereka di ruangan itu. Dia menyeka tubuh Pak Hamzah dengan sangat lembut dan hati-hati. Sesekali mama Nur membisikkan sesuatu di telinga pak Hamzah sambil ter
“Pa, maafin.. Arya ya, Pa.. Arya sudah.. banyak salah sama papa. Arya belum sempat.. senengin dan bikin papa bangga. Maafin.. Arya, Pa. Jika.. Papa harus pergi, Arya.. Arya ikhlas, Pa. Semoga.. dengan begitu Papa tidak akan sakit lagi. Arya.. Sayang Papa,” Terbata-bata Arya membisikkan kata-kata itu disela-sela tangisnya. Meski berat dia harus mengikhlaskan kepergian papanya. Tapi doa dan harapan akan kesembuhan papanya masih besar. Diciumnya lama tangan papanya, kemudian Arya mencium pipi dan keningnya. Arya bergeser dan memberikan tempat pada Nadhira. Nadhira memegang tangan papanya dan diciuminya berkali-kali. Tangan yang selalu hangat mengelus kepalanya. Menepuk-nepuk pundak kedua anaknya untuk menguatkan dan memberikan tanda kepercayaan. Dan tangan yang selalu memberikan tepukan lembut dipunggungnya, menandakan kasih sayang, menenangkan dan penuh rasa kebanggaan kepada keduanya. Tangan yang selalu menadah berdoa kepada Pemilik Alam Semesta demi memohon kesuksesan, kebahagiaan,
Semuanya hanya diam memandangi jenazah Pak Hamzah. Di tengah keheningan. Mbah Mur membuka suara.“Nur, bagaimana jika kita laksanakan akad nikah Nadhira dan Hanif sekarang. Kita bisa meminta staf laki-laki dari rumah sakit ini untuk menjadi saksi pernikahan mereka. Mumpung Hamzah masih di sini, Hanif dan Nadhira juga sudah hadir.”Perkataan Mbah Mur mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu. Dalam suasaa duka apa mungkin diadakan akad nikah. Nadhira yang masih menangisi kepergian Papanya hanya diam termenung. Begitu juga dengan Arya dan Mama Nur, semuanya menatap Mbah Mur dengan tatapan tak percaya.“Betul itu Nur. Aku setuju. Sekalian. Kamu bawa uang berapa, Nif?” kata Pakde Agus.Hanif yang masih tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh Ibu Mertuanya hanya diam membisu. Tatapan matanya yang masih penuh tanda tanya diarahkannya kepada Pakde Agus.“Nif, malah bengong. Kamu bawa uang berapa? Buat mas kawin.”“Ada sekitar dua juta mas.” Kata Hanif masih dengan ekspresi bingung.
Kabar duka atas meninggalnya Pak Hamzah sudah diberitakan Arya pada Pak Amir, tangan kanan Papanya. Saat sampai di rumah, kondisi sudah ramai orang yang menanti jenazah Pak Hamzah dan keluarga dari rumah sakit.Begitu Arya dan keluarga sampai di rumah, Pak Amir segera menghampiri Mama Nur didampingi oleh Pak RT setempat. Menanyakan kembali kebenaran berita yang beredar, dan mengucapkan turut bela sungkawa. Arya menemui Bapak-bapak tersebut di teras rumah, sedangkan keluarga yang lain masuk dan merapikan rumah untuk menerima para pelayat.Dibantu oleh karyawan Pak Hamzah yang lain, ruang tamu, ruang tengah telah digelari karpet untuk duduk. Para tamu diminta untuk masuk. Pak RT dan Pak Amir menemui Mama Nur dan keluarga di dalam.“Kami turut berduka cita, Bu. Kami dengar Pak Hamzah sakit. Rencananya baru nanti sore kami bermaksud menjenguk beliau. Tapi ternyata belum sempat menjenguk, malah jadi melaya
Mama Nur masih duduk menyambut para tamu yang datang. Mbah Mur yang terlihat lelah dipersilakan untuk istirahat di kamar tamu yang ada di bawah. Mama Nur seolah tidak merasa lelah. Datangnya para tamu yang menceritakan kebaikan Pak Hamzah menjadi penghibur tersendiri baginya. “Ibu, saya sekeluarga berterima kasih sekali. Jika saja Pak Hamzah tidak membantu suami saya waktu itu dengan memberikan pekerjaan sebagai tukang angkut dan kirim di toko bangunan njenengan pasti anak saya sudah putus sekolah.” Seorang ibu menceritakan kebaikan Pak Hamzah di masa lalu pada Mama Nur. Mama Nur hanya tersenyum dan mengangguk-angguk menanggapinya. “Tidak sekali dua kali Pak Hamzah melebihkan upah suami saya. Dengan uang itu alhamdulillah kebutuhan sekolah anak kami terpenuhi,” lanjut ibu itu. “Pak Hamzah, juga sudah membantu keluarga kami dengan selalu membeli habis dagangan makanan kami jika sampai jam 10 pagi saya masih mangkal di depan toko beliau. Saya cuman dagang nasi pecel,” seorang ibu den