*** Dua hari kemudian... Menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Hari ini, Sofia berdiri di depan rumah tempat ia dibesarkan. Dia pernah membayangkan bisa kembali lagi sebagai pemilik, tapi ternyata rasanya masih seperti mimpi setelah sebelumnya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Mami Naya turun dari mobil dan langsung menggenggam tangan putrinya erat-erat, seakan harapan baru yang mereka miliki kini bisa membawa kebahagiaan di masa depan. Selama ini ia mengira putrinya hanyalah gadis manja yang tak bisa apa-apa. Kenyataannya, Sofia jauh lebih kuat dari dugaan siapa pun—bahkan mampu menghadapi badai besar yang hampir merenggut segalanya. “Kita masuk ya, Mi,” ucap Sofia sambil tersenyum, membalas genggaman hangat sang Mami. Mami Naya mengangguk, lalu keduanya melangkah perlahan masuk. Begitu pintu dibuka, udara ruang tamu langsung menyeruak, menghadirkan rasa lega di hati mereka. Keduanya berdiri sejenak, menatap sekeliling dengan penuh perasaan.
"Sofia," panggil Mami Naya, menyadarkan Sofia dari lamunannya. Sofia tersenyum bahagia karena kini bisa berkumpul lagi bersama sang Mami. Ia pun melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan di sampingnya. "Kenapa Bima pergi?" tanya Mami Naya penasaran. Sofia duduk di sofa, diikuti Mami Naya yang mengambil tempat di sampingnya. "Oma sudah tahu tentang kerja sama antara Sofia dan Mas Bima, Mi. Oma marah besar, sekarang beliau dirawat di rumah sakit. Akhirnya kami pun bercerai, karena Oma tidak ingin melihat Sofia lagi," jelas Sofia sambil tersenyum kecil. Meski berusaha tegar, rasa bersalah masih jelas tergambar di wajahnya. "Padahal Oma orangnya baik banget, Mi... tapi Sofia malah ngecewain dia," ucapnya lirih. Mami Naya tersenyum lembut lalu memeluk putrinya erat. "Mami tahu kamu sebenarnya nggak ingin menyakiti Oma. Nanti kalau keadaan sudah lebih tenang, kita jenguk Oma, ya. Mami juga pengen kenalan sama beliau," ujar Mami Naya menenangkan. Sofia mengangguk setuju.
Sofia sudah kembali mengenakan pakaian bersih. Wajahnya terlihat lebih segar, seolah tak ada yang tersisa dari momen sebelumnya selain hangat di dada mereka. Begitu juga dengan Bima yang kembali mengenakan kemejanya. “Mas, sebelum aku pergi… kamu harus talak aku dulu. Jadi, begitu aku keluar dari rumah ini, aku bukan lagi istrimu,” pinta Sofia dengan suara bergetar. Bima terdiam lama. Matanya hanya menatap Sofia tanpa kata, seolah mencari sesuatu di balik sorot mata wanita itu. Sofia pun hanya berdiri dengan koper di genggaman, mencoba terlihat tegar meski dadanya sesak. “Mas… apa aku salah bicara?” tanyanya lagi, suara nyaris pecah. Bima akhirnya mengangguk pelan. “Ya… aku menjatuhkan talak,” ucapnya datar. Sekujur tubuh Sofia terasa dingin saat mendengarnya. Rasanya seperti separuh jiwanya ikut terlepas. Namun dia tak bisa menghentikan itu semua. Air matanya hanya tertahan di pelupuk, sementara bibirnya berusaha membentuk senyum tipis—agar terlihat biasa saja, meski
Sofia terbaring lelah di sisi Bima, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Keringat yang membasahi kulitnya terasa dingin seiring hembusan AC kamar, namun ada kehangatan lain yang membuatnya enggan bergerak menjauh. Bima diam, matanya menatap langit-langit tanpa kata. Hanya suara napas keduanya yang terdengar memenuhi kamar itu. Sofia menoleh perlahan, menatap wajah Bima yang begitu dekat namun terasa jauh. Ada rasa puas, ada rasa hangat—tapi juga sesak. Seakan-akan kebersamaan ini hanyalah fatamorgana yang sebentar lagi akan hilang. Ia meraih tangan Bima, menggenggamnya erat. "Mas... terima kasih," bisiknya lirih. Bima hanya menoleh sebentar, lalu menghela napas panjang. Tidak ada jawaban, namun genggaman tangannya membalas—erat, meski singkat. Tanpa ragu, Sofia turun dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi. Bima masih duduk di tepi ranjang, matanya mengikuti setiap gerakan istrinya itu. Beberapa detik kemudian, terdengar teriakan dari dalam. Refleks, Bima l
Untuk saat ini, Sofia membuang jauh rasa malunya. Ia hanya ingin memberikan apa yang seharusnya menjadi milik Bima. Namun, tiba-tiba tangan Bima menahan gerakannya saat hendak melepas kemeja. Tatapan keduanya pun bertemu—dalam, begitu sulit untuk dilepaskan. "Kenapa?" tanya Sofia pelan. "Tidak perlu," jawab Bima singkat. Sofia menarik napas dalam, lalu menatapnya dengan mata berkaca. "Ternyata kamu begitu menjalani peran sebagai suami, meskipun hanya sebatas kontrak. Lalu… kenapa aku tidak bisa?" tanyanya lirih. Bima hanya terdiam, terus menatap wajah Sofia tanpa kata. Perlahan, Sofia menurunkan tangan Bima yang menahannya, lalu benar-benar melepaskan kemejanya. Ia merapatkan tubuhnya ke arah Bima, sementara tangannya mulai membuka kancing kemeja Bima satu per satu."Mas, seandainya aku tetap di sini-" "Pergilah, cari kebahagianmu. Hidup sesuai dengan keinginanmu," potong Bima.Sofia mematung untuk sesaat, dia sadar Bima tidak menginginkannya tetap disini bersamanya.Dia
Sofia kembali ke rumah. Ia duduk di tepi ranjang dengan hati yang remuk, rasa bersalah terus menghantui. Niatnya sejak awal hanya ingin pergi setelah sama-sama mendapatkan keuntungan. Namun ternyata ada Oma yang harus tersakiti. Dia harus apa sekarang? “Sofia…” panggil Lala sambil masuk ke kamar. “Lala…” begitu melihatnya, Sofia langsung memeluk erat. Tangisnya pun pecah, kali ini benar-benar tak tertahankan. “Enggak apa-apa, kamu bisa pergi kok,” kata Lala lembut, berusaha menenangkan. “Tapi aku merasa bersalah, La…” lirih Sofia dengan suara parau. Lala duduk di sampingnya, menatap Sofia dengan penuh pengertian. Untuk beberapa saat mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Sofia, ini sudah jadi resiko dari apa yang kalian jalani. Jadi pergilah. Aku yakin, seiring waktu Oma akan pulih,” ucap Lala mantap. Sofia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Memangnya kamu mau benar-benar bertahan hidup dengan Kak Bima?” tanya Lala tiba-tiba. Deg. Jant