Sofia tidak punya uang untuk membayar pengacara terbaik, tapi dia punya diri yang bisa dimanfaatkan! Dendamnya terlalu besar dan dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan haknya kembali. Apapun!
View More"Ah … Sayang, kau benar-benar hebat."
Suara yang terdengar familier itu menyambut kedatangan Sofia.
Langkahnya langsung terhenti. Dahinya mengernyit, hatinya bergemuruh.
Ia baru saja pulang dari pemakaman ayahnya, sekaligus menjenguk ibunya yang masih terbaring koma di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan mobil sebulan yang lalu.
Dengan kaki gemetar, Sofia melanjutkan langkahnya menyusuri anak tangga satu per satu. Jantungnya berdetak semakin cepat.
Saat tiba di lantai dua, suara desahan terdengar semakin jelas, saling bersahut-sahutan.
Sofia menahan napas.
“Ah … kau juga luar biasa, Sayang ….”
Suara itu menggoda sekaligus menjijikkan.
Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan diri, meskipun tubuhnya gemetar hebat. Tapi dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Ketika Sofia sampai di depan pintu—pintu yang tak sepenuhnya tertutup—dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aldi, suaminya, di atas ranjang mereka … sedang menggagahi wanita lain.
Mereka tertawa, memuji, masih dalam pelukan setelah mencapai klimaks pengkhianatan mereka.
Sofia berdiri membeku. Mulutnya terbuka, tangannya menutup mulut menahan isak. Hatinya seakan dihujam ribuan duri.
Luka atas kehilangan ayahnya masih basah, juga ibunya yang antara hidup dan mati. Tapi Aldi dengan tega menabur garam di atas lukanya.
"Menjijikkan…" desis Sofia, suaranya nyaris seperti bisikan, namun cukup keras untuk terdengar.
Aldi spontan menoleh. Pandangannya bertemu mata Sofia, dan wajahnya langsung pucat.
"S-Sofia…." suaranya terdengar tercekat.
Panik, Aldi dan wanita itu buru-buru menarik selimut, bergegas mengenakan pakaian. Tapi Sofia sudah melangkah masuk. Matanya menyala, dadanya naik turun menahan amarah yang meluap-luap.
Sofia mengenali wanita itu. Diana, sekretaris pribadi Aldi di kantor.
Tanpa ragu, Sofia mendekat dan—
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Diana.
"Akhh!" Diana menjerit, terkejut dan kesakitan.
"Wanita murahan!" teriak Sofia. "Apa yang kau lakukan di sini? Di kamarku?!"
Sofia menarik rambut Diana dengan kuat. Teriakan melengking langsung memenuhi ruangan.
"Sayang! Tolong aku!" rengek Diana, ketakutan karena tidak mengantisipasi reaksi ganas dari sang istri sah.
Sofia menatapnya tajam. "Berani-beraninya kau panggil dia 'sayang' di depanku?!"
Cengkeramannya semakin erat. Diana berteriak kesakitan, menggeliat, berusaha melepaskan diri.
"Sofia, lepaskan dia!" Aldi akhirnya turun tangan, menarik lengan Sofia dengan panik.
Cekalan Sofia terlepas, beberapa helai rambut ikut tercabut di sela jemarinya. Diana meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
Sofia menatap Aldi dengan mata berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih, tapi karena muak.
"Beraninya kamu bawa perempuan ke rumah ini?! Ke kamar kita?!"
Ekspresi Aldi yang tadinya panik, kini berubah menjadi dingin. Ia mengangkat dagunya, "Memangnya kenapa? Harusnya kau sadar diri. Aku butuh kepuasan, dan kau tidak bisa memberikannya."
Sofia terdiam, tidak menyangka Aldi akan mengatakan hal seperti itu.
"Apalagi setelah ayah dan ibumu kecelakaan, kau sibuk dengan mereka!" lanjut Aldi.
"Mereka orang tuaku, dan ayahku baru saja meninggal. Kau di mana? Ternyata kau sibuk dengan jalangmu!" pekik Sofia.
"Itu urusanmu!" balas Aldi tak mau kalah.
Plak!
Tamparan kedua mendarat, kali ini di wajah Aldi.
"Kau…." Aldi memegangi pipinya, tak percaya telah ditampar oleh istrinya.
Diana langsung merapat pada Aldi, merengek manja. "Sayang… usir dia! Dia kasar padaku… aku sakit…."
Sofia tertawa sinis. "Kasar? Kau pantas mendapatkannya!" katanya.
Sekarang, matanya menatap Aldi penuh penghinaan.
"Kau pikir kau siapa? Rumah ini dibeli dengan uangku. Kau hanya laki-laki miskin yang aku angkat derajatnya. Dan sekarang kau balas dengan cara begini?! Kalian berdua … keluar dari rumahku sekarang juga! Dasar bajingan!"
Bukannya lekas pergi, Aldi justru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Sofia.
"Aku bilang pergi dari rumahku!" tegas Sofia. Dadanya naik turun karena emosi.
Aldi menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan senyum puas.
“Sepertinya ini saat yang tepat,” ucapnya tenang, tapi angkuh. “Aku juga sudah lelah terus-menerus bersembunyi hanya untuk bermesraan dengan kekasihku.”
Wajah Sofia memerah, bukan karena malu, tapi karena amarah yang menyesakkan dada. “Dasar laki-laki tak tahu malu! Aku suruh kau pergi karena aku tak sudi menampungmu lagi di rumahku ini!”
Aldi malah tertawa kecil, menyunggingkan senyum menyebalkan. “Pergi?” Ia mendekat dengan langkah santai. “Kau ini lucu sekali.”
“Kau tidak waras!” pekik Sofia.
“Tapi justru kaulah yang sudah kehilangan akal,” balas Aldi dingin. “Karena sekarang, semuanya sudah menjadi milikku. Termasuk rumah ini.”
Sofia terdiam sejenak. Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan kata-kata yang baru saja didengarnya. Aldi menangkap keterkejutannya dengan tatapan penuh kemenangan.
“Jangan bermimpi terlalu tinggi, Aldi,” kata Sofia dengan nada tajam. “Ini rumahku. Aku pemiliknya! Keluar dari sini… dan ceraikan aku sekarang juga!”
Aldi tersenyum miring, sinis. “Tentu saja. Aku ceraikan kau sekarang juga,” katanya mantap.
Tubuh Sofia menegang saat kata itu terucap dari bibir sang suami. Meski hanya pernikahan siri, tapi kini semuanya benar-benar sudah berakhir.
“Tapi kau yang harus pergi dari rumah ini. Karena semuanya sudah sah menjadi milikku. Kau sendiri yang menyerahkannya padaku,” kata Aldi dengan santai.
“Omong kosong!” seru Sofia. “Memang aku pernah memberi kekuasaan padamu untuk mengelola perusahaanku. Tapi aku tak pernah menyerahkan kepemilikannya padamu!”
“Benarkah?” Aldi menarik setumpuk berkas dari meja, lalu menunjukkannya dengan penuh percaya diri. “Lihat ini.”
Sofia memeriksa dokumen itu dengan gemetar. Stempel notaris. Tanda tangan. Nama Aldi sebagai pemilik resmi.
“Ini... ini tidak mungkin!” Sofia mulai merobek berkas-berkas itu satu per satu, hingga kertas berserakan di lantai.
Namun Aldi hanya tertawa puas. “Tenang saja, itu cuma salinan. Dokumen aslinya aman di tanganku.”
“Tidak! Kau bohong!” Sofia berteriak, matanya nyaris berkaca-kaca.
Diana yang sedari tadi berdiri di balik Aldi, melenguh manja. “Sayang~”
Aldi menoleh. “Kamu mau lagi?” tanyanya dengan nada menggoda yang sangat menjijikkan.
“Mau, tapi usir dulu dia dari sini. Dia ganggu banget,” rengek Diana sambil memeluk Aldi dari belakang.
Aldi pun menoleh ke arah pintu dan berteriak, “Satpam! Usir dia dari rumah ini!”
Sofia mengerang kesal. “Ini rumahku!”
Namun dua satpam datang, mencengkeram kedua lengannya, lalu menyeret tubuhnya keluar rumah tanpa ampun. Sofia meronta, berteriak, namun tak ada yang peduli.
Tubuhnya dibuang begitu saja ke depan gerbang. Lalu terdengar suara klik—pintu gerbang dikunci dari dalam.
“Buka! Bukaaa!!” teriak Sofia, memukul-mukul besi gerbang dengan kepalan tangan. Tapi tak ada yang membuka.
Lelah, ia pun terduduk di tanah, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena amarah dan luka batin yang mendalam.
Matanya menatap ke lantai dua. Rumah yang dulu miliknya.
Dari balik jendela yang tak tertutup tirai, ia melihat Aldi mencumbu mesra Diana, seolah dunia milik mereka berdua. Tanpa rasa malu, tanpa dosa.
Sofia mengepalkan tangannya. Matanya tak lagi berkaca-kaca. Kini yang terpancar hanyalah tekad dan dendam.
“Aku akan merebut semuanya kembali… bagaimanapun caranya.”
Mata Sofia perlahan terbuka. Pandangannya buram, kepalanya terasa berat dan berdenyut. Sesaat ia hanya terbaring, berusaha menenangkan diri, sampai akhirnya ingatan-ingatan sebelumnya menyelinap kembali. Wajahnya menegang, napasnya mulai memburu. Panik itu datang lagi. Ia refleks bangkit dan duduk tegak, matanya mengedar menatap sekeliling. Ruangan ini… berbeda. Bukan kamar yang tadi. Bukan tempat asing yang penuh ketakutan itu. Sofia menggenggam selimut yang menutupi tubuhnya, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mengingat. Terakhir, Aldi… ya, Aldi yang menjualnya pada pria asing. Lalu… ada seseorang masuk, wajahnya samar, tapi seolah Bima… Apakah benar? Apakah Bima datang menolongnya, atau hanya bayangan semu di tengah ketakutannya? Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tak bisa memastikan lagi. Yang jelas, tubuhnya terasa berbeda, ada sesuatu yang membuatnya bingung. Dan yang paling menakutkan: apakah benar Bima yang akhirnya… menyentuhnya? Sofia menunduk, perlaha
Sofia merasa tubuhnya mulai berkhianat. Rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke ujung jemari, membuatnya gelisah tanpa alasan. Nafasnya tersengal, jantungnya berpacu lebih cepat, sementara pikirannya berteriak menolak. Semakin ia berusaha melawan, semakin tubuhnya terasa asing—seakan bukan lagi miliknya sendiri. "Sssstttt!!!" Sofia berdesis, tubuhnya makin tak karuan. "Tolong turunkan aku," pintanya putus asa. Ia berlari kembali masuk ke kamar mandi, langkahnya terseok karena tenaga hampir habis. Dengan panik, ia mengguyur tubuhnya di bawah air dingin. "Ahhh!!!" teriakannya pecah, tak sanggup menahan rasa yang melanda. Bahkan kepalanya sampai dibenturkan ke dinding, berharap sensasi itu segera hilang. "Sofia, apa yang kau lakukan?" tanya Bima panik, buru-buru mematikan air. "Nyalakan lagi! Aku mohon… aku bisa mati!!!" teriaknya kalut. Bima bingung, matanya menangkap lebam-lebam di wajah Sofia yang membuat hatinya semakin hancur. "Nyalakan airnya!" Sofia terjatuh lemas
Aran memarkirkan mobil di depan sebuah rumah bergaya minimalis, sesuai alamat yang sudah mereka lacak. “Kau yakin?” tanya Bima, suaranya berat penuh tekanan. “Selama ini Anda tidak pernah kecewa dengan pekerjaanku, Bos. Aku yakin begitu juga kali ini,” jawab Aran mantap. Bima mengangguk singkat lalu turun dari mobil. Matanya langsung menyapu halaman rumah—ada beberapa mobil terparkir rapi. Ia melangkah cepat masuk ke dalam, Aran setia mengikutinya dari belakang. Begitu memasuki ruang tamu, beberapa pria yang duduk di sofa sontak menoleh. Mereka menatap Bima penuh tanya, sebagian ragu, sebagian lagi seperti mengenali sosoknya. Bima yang sering muncul di berita sebagai pewaris keluarga konglomerat tentu bukan sosok yang mudah ditemui orang biasa. “Ini rumah Aldi?” tanya Bima dingin, tatapannya bergantian menyapu mereka satu per satu. “Benar… tapi dia baru saja pergi buru-buru,” jawab salah satu dari mereka hati-hati. Bima menoleh sekilas ke Aran. Pandangan keduanya bertemu
Sofia masih berusaha menenangkan diri setelah gagal memuntahkan cairan yang dipaksa masuk ke tenggorokannya. Nafasnya berat, tubuhnya gelisah, dan ada sensasi aneh yang semakin sulit dia kendalikan. 'Apa yang sebenarnya diminumkan padaku?' pikirnya panik. Ketika pintu kamar terbuka, harapannya sempat muncul—mungkin ada pertolongan. Namun segera runtuh begitu seorang pria asing masuk dengan senyum puas. “Hay, cantik…” suaranya rendah, penuh nafsu. “Aslinya jauh lebih cantik daripada fotomu.” Sofia menegang, jantungnya seperti mau pecah. Ia buru-buru turun dari ranjang, berjalan mundur sampai punggungnya menempel ke dinding. “Tuan, aku mohon… jangan,” suaranya bergetar, penuh ketakutan. Pria itu malah tertawa pelan, melepaskan kancing kemejanya satu per satu tanpa ragu. “Jangan? Lucu sekali… gadis semanis ini malah merajuk. Ayo kemari.” Sofia menggeleng cepat. Air liurnya terasa pahit saat ia menelannya. Tubuhnya semakin tak karuan—panas, gemetar, dan anehnya seolah tak
“Sudah, Bos,” lapor salah satu anak buahnya. Aldi menyeringai puas. Semua benda yang bisa dipakai Sofia untuk melawan sudah disingkirkan dari kamar. Kali ini, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk melukai siapa pun. Dengan hati-hati, Aldi menuangkan bubuk obat perangsang ke dalam segelas air mineral. Ia mengaduk hingga larut, lalu melangkah masuk ke kamar bersama beberapa anak buahnya. Sofia yang duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan berlari ke arah pintu. Namun, tubuhnya dengan cepat ditangkap dan dibekap oleh dua pria kekar. “Lepaskan aku!” teriaknya, berjuang sekuat tenaga. Aldi mendekat dengan senyum licik. Tangannya mencengkeram rahang Sofia, memaksanya meneguk cairan itu meski ia berusaha menolak. “Bagus,” bisiknya puas, melihat Sofia akhirnya menelan minuman tersebut. Tubuh Sofia didorong kasar ke ranjang hingga terhempas. Nafasnya terengah, matanya berkaca-kaca. “Kali ini kau tidak akan bisa lolos,” ujar Aldi dengan nada penuh kemenangan. “Keangkuhanmu
*** Aran menekan bel, tak lama pintu apartemen pun terbuka. Lusi muncul di ambang pintu. Ia sempat terkejut melihat Aran berdiri di sana, bingung apa yang membuat pria itu datang ke tempatnya. Namun, keterkejutannya berubah saat pandangannya melewati bahu Aran. Di sana berdiri Bima. “Mas… Bima?” ucap Lusi dengan suara tercekat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk sesaat tubuhnya kaku, namun senyum perlahan merekah di bibirnya. Matanya berbinar penuh rasa kagum dan bahagia, seakan mimpi lamanya kini benar-benar hadir di depan mata. “Masuk, Mas… masuk,” ucap Lusi antusias, matanya tak lepas dari sosok Bima. Aran melangkah lebih dulu ke dalam, lalu Bima menyusul. Begitu pintu ditutup, Lusi masih tersenyum bahagia, langkahnya ringan saat mendekati Bima. “Mas Bima, mau Lusi bikinin minum apa? Atau makan? Lusi bisa masak kok—” “Sofia!” potong Bima tajam. Suara itu langsung menghentikan langkah dan kata-kata Lusi. Degh! Jantungnya berdegup keras, tubuh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments