Share

3

Author: Ipak Munthe
last update Last Updated: 2025-07-13 14:37:01

Sofia hampir terjatuh ketika mendengar ucapan Bima.

"Menikah kontrak selama enam bulan," imbuh pria itu dengan tenang.

"Me-menikah kontrak?" Sofia terbelalak. Ia benar-benar shock mendengarnya. 

Luka dari pernikahan sebelumnya masih terlalu segar. Dan kini, tawaran menikah justru terasa seperti tamparan lain yang menghantam hatinya.

"Kita hanya saling mengambil keuntungan. Kau mendapat bantuan yang kau butuhkan... dan aku mendapat istri, agar bisa memenuhi syarat warisan yang akan kuterima," terang Bima.

Sofia masih terdiam mendengar penjelasan Bima, otaknya seperti susah untuk mencerna semua ini.

"Dalam pernikahan ini, tidak ada kontak fisik. Tidak ada hubungan suami-istri."

Suara Bima terdengar dingin dan tegas, seolah tak menyisakan ruang untuk kompromi.

Sofia menelan ludah. Raut wajahnya menunjukkan keraguan. Syarat itu tak mudah baginya, terutama setelah luka masa lalu yang masih belum sembuh.

"Tapi..." ucapnya lirih, matanya sedikit goyah.

Bima langsung menunjuk ke arah pintu. Sikapnya keras, tak mau membuang waktu.

"Silakan keluar dan jangan kembali, jika kau tidak setuju."

Sofia terdiam. Kata-kata itu terasa seperti ultimatum. Tapi dia tahu, dia tidak punya pilihan lain. Ia sangat membutuhkan bantuan pria ini.

Ia menggeleng perlahan, lalu mengangkat wajahnya dengan mantap.

"Aku setuju," katanya cepat. "Tapi... hanya kontrak pernikahan. Tidak ada kontak fisik," tambahnya dengan suara pelan, nyaris ragu.

Bima mengangguk singkat.

Tanpa basa-basi, keduanya saling menukar nomor ponsel.

"Saya akan mempersiapkan kontrak kerja sama kita. Besok, kita bertemu lagi," kata Bima, datar tapi jelas.

"Tap-tapi...."

"Kalau kau tidak kembali besok, saya menganggap kau tidak setuju dan saya tidak akan menolongmu."

Rumit, ini benar-benar tidak mudah. Tapi apa yang bisa dia lakukan jika tidak menyetujui persyaratan ini.

"Baiklah... terima kasih," ucap Sofia pelan.

Ia menghembuskan napas. Setidaknya, satu pintu telah terbuka. Tapi di balik rasa lega itu, ada ketakutan baru yang muncul. 

Walau hanya sebatas kontrak, itu tetap saja pernikahan. Dan itu cukup menakutkan baginya.

***

Semalaman penuh Sofia tidak bisa tidur mempertimbangkan persyaratan Bima, tapi lagi-lagi tidak ada yang bisa membantunya kecuali pengacara itu.

Sehingga sesuai dengan perjanjian mereka kemarin, hari ini Sofia kembali mendatangi kantor Bima.

Di hadapannya, Bima meletakkan selembar kertas bertuliskan kontrak kerja sama. 

"Setelah tanda tanganmu tercantum di sana, tak ada jalan mundur. Dan jika kau membatalkan sepihak di tengah jalan, aku pastikan kau akan masuk penjara."

Glek!

Sofia menegang sempurna. Ancaman itu terdengar nyata, dan langsung menghantam pikirannya.

Ia menunduk sejenak, mengingat wajah ibu yang terbaring koma. Dendam dan tekad di dalam dadanya menyatu menjadi bara yang menyala-nyala.

Ini adalah keputusan tepat. Dengan satu tarikan napas, ia menandatangani kontrak itu.

Setelah itu, Bima bangkit dari duduknya.

"Ikut saya. Kita akan ke rumah Oma," katanya tegas. "Bersikaplah seolah-olah kita adalah sepasang kekasih yang akan segera menikah."

"Sekarang? Apa harus sekarang?" tanya Sofia terkejut. Tidak bisakah ia diberikan waktu sedikit saja untuk bernafas?

Tapi tatapan mata Bima bisa disimpulkan bahwa dia tidak bisa diajak berkompromi.

"Jangan main-main dengan saya!"

Sofia hanya bisa mengangguk pelan. Semuanya terjadi begitu cepat. Ia masih tak menyangka bahwa ia akan menikah dengan Bima, kakak dari sahabatnya. 

Sofia belum sempat memikirkan apa yang harus ia katakan atau bagaimana bersikap di depan keluarga pria itu.

Namun, satu hal yang Sofia tahu, dia harus mengikuti alur yang telah diciptakan oleh Bima, seaneh dan serumit apapun itu demi satu tujuan:

BALAS DENDAM!

Tidak sampai satu jam kemudian, Sofia tiba di depan sebuah mansion megah yang terasa asing baginya.

"Masuklah," ucap Bima.

Sofia mengangguk pelan. Ia mengikuti langkah Bima dengan jantung yang berdetak cepat, seperti akan pecah kapan saja.

Saat tiba di depan sebuah kamar, Bima membuka pintu dan memanggil pelan. "Oma."

Dari dalam, terdengar suara parau namun tajam.

"Jangan datang kalau kau tidak membawa calon istri!" sahut sang Oma tanpa menoleh sedikit pun.

Bima menarik napas dalam, lalu melirik ke arah Sofia. Matanya memberi isyarat, tapi Sofia malah memandangi sekeliling, bingung tak mengerti maksudnya.

"Ehem," Bima berdehem, membuat Sofia kembali fokus padanya. "Masuklah," katanya.

Sofia mengangguk dan melangkah masuk. Tapi sang Oma langsung berseru tajam.

"Sudah kubilang, jangan datang! Pergi sana, dan doakan Oma cepat mati!"

Sofia tertegun. Ia tahu kemarahan itu bukan ditujukan padanya.

Dengan suara hati-hati, ia pun berkata, "Halo, Oma..."

Sang Oma terdiam. Suara itu bukan suara cucunya.

Perlahan, ia berbalik. Matanya langsung menangkap sosok seorang wanita muda dengan paras cantik berdiri di ambang pintu.

Senyum pun merekah di wajah keriputnya. Ia menatap Bima, meminta penjelasan lewat pandangan.

Bima kemudian berkata dengan nada pelan, "Calon istriku, Oma." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   114

    “Sudah, Bos,” lapor salah satu anak buahnya. Aldi menyeringai puas. Semua benda yang bisa dipakai Sofia untuk melawan sudah disingkirkan dari kamar. Kali ini, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk melukai siapa pun. Dengan hati-hati, Aldi menuangkan bubuk obat perangsang ke dalam segelas air mineral. Ia mengaduk hingga larut, lalu melangkah masuk ke kamar bersama beberapa anak buahnya. Sofia yang duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan berlari ke arah pintu. Namun, tubuhnya dengan cepat ditangkap dan dibekap oleh dua pria kekar. “Lepaskan aku!” teriaknya, berjuang sekuat tenaga. Aldi mendekat dengan senyum licik. Tangannya mencengkeram rahang Sofia, memaksanya meneguk cairan itu meski ia berusaha menolak. “Bagus,” bisiknya puas, melihat Sofia akhirnya menelan minuman tersebut. Tubuh Sofia didorong kasar ke ranjang hingga terhempas. Nafasnya terengah, matanya berkaca-kaca. “Kali ini kau tidak akan bisa lolos,” ujar Aldi dengan nada penuh kemenangan. “Keangkuhanmu

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   113

    *** Aran menekan bel, tak lama pintu apartemen pun terbuka. Lusi muncul di ambang pintu. Ia sempat terkejut melihat Aran berdiri di sana, bingung apa yang membuat pria itu datang ke tempatnya. Namun, keterkejutannya berubah saat pandangannya melewati bahu Aran. Di sana berdiri Bima. “Mas… Bima?” ucap Lusi dengan suara tercekat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk sesaat tubuhnya kaku, namun senyum perlahan merekah di bibirnya. Matanya berbinar penuh rasa kagum dan bahagia, seakan mimpi lamanya kini benar-benar hadir di depan mata. “Masuk, Mas… masuk,” ucap Lusi antusias, matanya tak lepas dari sosok Bima. Aran melangkah lebih dulu ke dalam, lalu Bima menyusul. Begitu pintu ditutup, Lusi masih tersenyum bahagia, langkahnya ringan saat mendekati Bima. “Mas Bima, mau Lusi bikinin minum apa? Atau makan? Lusi bisa masak kok—” “Sofia!” potong Bima tajam. Suara itu langsung menghentikan langkah dan kata-kata Lusi. Degh! Jantungnya berdegup keras, tubuh

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   112

    Lala masuk ke rumah dengan tubuh penuh lebam, pakaian kotor, dan wajah yang tampak sangat kelelahan. “Lala, kamu dari mana?” tanya Oma terkejut melihat cucunya dalam kondisi begitu mengenaskan. Namun, Lala tidak menjawab. Tatapan matanya langsung tertuju pada Erin—tajam, penuh kebencian. Sementara Erin hanya menatapnya sinis, bahkan memutar bola mata dengan jenuh. Dari lantai atas, Bima berjalan menuruni anak tangga. Beberapa langkah lagi ia akan menginjak lantai dasar ketika suara Lala menghentikan langkahnya. “Sofia… dibawa Mama,” ucap Lala tegas. Sekejap, suasana ruang tamu membeku. Semua orang terdiam, bahkan Bima. Ia berhenti di anak tangga terakhir, menoleh ke arah Lala dengan tatapan penuh tanya. Sebelum Lala sempat melanjutkan, Erin lebih dulu menyela dengan nada ketus. “Kamu ngomong apa, hah? Baru pulang entah dari mana, langsung ngomong ngaco. Kalau cuma mau bikin onar, mending pergi sekalian!” “Diam!” bentak Bima, suaranya tegas memotong ucapan Erin. Pandanga

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   111

    Sekujur tubuh Sofia bergetar hebat, ia mundur selangkah demi selangkah, punggungnya hampir menempel pada dinding. Sementara pria itu terus melangkah mendekat, sorot matanya penuh maksud yang membuat udara semakin mencekam. "Aku merasa pernah melihatmu… tapi di mana, ya?" gumamnya, mencoba mengingat. Namun sesaat kemudian ia menyeringai. "Ah, mungkin kau mirip dengan LC yang biasanya menemaniku," ucapnya sambil membuka satu per satu kancing kemejanya dengan santai. "Berhenti! Jangan lakukan itu… aku mohon!" suara Sofia bergetar, nyaris pecah oleh rasa takut. Pria itu malah tersenyum puas. "Kenapa harus berhenti? Bukankah kau juga akan merasakan nikmatnya?" katanya sambil melangkah semakin dekat, tangannya terulur penuh nafsu. Hanya tinggal satu langkah lagi, jarak di antara mereka hampir hilang. "Aku bilang berhenti!" pekik Sofia sambil mengangkat tangannya sebagai peringatan terakhir. Pria itu malah terkekeh, tatapannya kian liar. "Heh… kau memang cantik, dan sedi

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   110

    Sofia masih terduduk di lantai, berusaha mencabut beling yang tertancap di telapak tangannya. Darah mengalir, perihnya membuat tubuhnya bergetar. Tiba-tiba pintu terbuka. Jantung Sofia berdegup kencang, mengira Aldi kembali. Tapi ternyata dua orang pelayan masuk. Pintu segera ditutup kembali, dijaga dua anak buah Aldi di luar. "Nona, biar kami bantu," ucap salah satu pelayan dengan suara pelan, mencoba mengangkat Sofia berdiri. Sementara pelayan lain cepat-cepat merapikan kamar, menyapu pecahan beling yang berserakan di lantai. "Nona, sekarang Anda harus mandi, lalu makan," ujar pelayan itu lembut. Sofia menggeleng cepat, matanya memohon. "Aku mau keluar dari sini!" serunya putus asa. "Itu tidak mungkin, Nona. Mari, saya bantu Anda membersihkan diri," bujuk pelayan itu lagi. "Aku nggak mau!" Sofia kembali memberontak, menolak keras. Tangannya yang terluka semakin sakit saat ia melawan. "Nona, Anda harus mandi," kali ini nada pelayan berubah memaksa. "Aku bilang tida

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   109

    Aldi menyeringai licik sambil melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Kemudian ia melepas kemeja itu dan perlahan merangkak naik ke atas ranjang. "Aldi, jangan kurang ajar!" pekik Sofia sambil bergerak turun. Bahkan ia sampai terjatuh karena terlalu panik. Sofia bangkit cepat dan berlari ke arah pintu, berulang kali memutar gagangnya dengan harapan bisa keluar. Sementara itu, Aldi kini berbaring miring di ranjang dengan santai sambil menatapnya. "Sofia, kemarilah. Kita ulangi percintaan kita yang dulu," katanya. "Gila kamu! Aku sudah punya suami!" balas Sofia. "Memangnya suami pura-puramu itu sehebat apa di ranjang?" ejek Aldi. Kemudian ia turun dari ranjang dan berjalan santai mendekati Sofia. Aldi langsung memeluknya dari belakang tanpa ragu, menyingkirkan rambut Sofia, lalu mengecup tengkuk bagian belakangnya. "Aldi!" pekik Sofia penuh kebencian. Aldi hanya terkekeh, sementara tangannya mulai menjalar liar. "Jangan kurang ajar!" Sofia pun mendorongnya sekuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status