MasukSofia hampir terjatuh ketika mendengar ucapan Bima.
"Menikah kontrak selama enam bulan," imbuh pria itu dengan tenang.
"Me-menikah kontrak?" Sofia terbelalak. Ia benar-benar shock mendengarnya.
Luka dari pernikahan sebelumnya masih terlalu segar. Dan kini, tawaran menikah justru terasa seperti tamparan lain yang menghantam hatinya.
"Kita hanya saling mengambil keuntungan. Kau mendapat bantuan yang kau butuhkan... dan aku mendapat istri, agar bisa memenuhi syarat warisan yang akan kuterima," terang Bima.
Sofia masih terdiam mendengar penjelasan Bima, otaknya seperti susah untuk mencerna semua ini.
"Dalam pernikahan ini, tidak ada kontak fisik. Tidak ada hubungan suami-istri."
Suara Bima terdengar dingin dan tegas, seolah tak menyisakan ruang untuk kompromi.
Sofia menelan ludah. Raut wajahnya menunjukkan keraguan. Syarat itu tak mudah baginya, terutama setelah luka masa lalu yang masih belum sembuh.
"Tapi..." ucapnya lirih, matanya sedikit goyah.
Bima langsung menunjuk ke arah pintu. Sikapnya keras, tak mau membuang waktu.
"Silakan keluar dan jangan kembali, jika kau tidak setuju."
Sofia terdiam. Kata-kata itu terasa seperti ultimatum. Tapi dia tahu, dia tidak punya pilihan lain. Ia sangat membutuhkan bantuan pria ini.
Ia menggeleng perlahan, lalu mengangkat wajahnya dengan mantap.
"Aku setuju," katanya cepat. "Tapi... hanya kontrak pernikahan. Tidak ada kontak fisik," tambahnya dengan suara pelan, nyaris ragu.
Bima mengangguk singkat.
Tanpa basa-basi, keduanya saling menukar nomor ponsel.
"Saya akan mempersiapkan kontrak kerja sama kita. Besok, kita bertemu lagi," kata Bima, datar tapi jelas.
"Tap-tapi...."
"Kalau kau tidak kembali besok, saya menganggap kau tidak setuju dan saya tidak akan menolongmu."
Rumit, ini benar-benar tidak mudah. Tapi apa yang bisa dia lakukan jika tidak menyetujui persyaratan ini.
"Baiklah... terima kasih," ucap Sofia pelan.
Ia menghembuskan napas. Setidaknya, satu pintu telah terbuka. Tapi di balik rasa lega itu, ada ketakutan baru yang muncul.
Walau hanya sebatas kontrak, itu tetap saja pernikahan. Dan itu cukup menakutkan baginya.
***
Semalaman penuh Sofia tidak bisa tidur mempertimbangkan persyaratan Bima, tapi lagi-lagi tidak ada yang bisa membantunya kecuali pengacara itu.
Sehingga sesuai dengan perjanjian mereka kemarin, hari ini Sofia kembali mendatangi kantor Bima.
Di hadapannya, Bima meletakkan selembar kertas bertuliskan kontrak kerja sama.
"Setelah tanda tanganmu tercantum di sana, tak ada jalan mundur. Dan jika kau membatalkan sepihak di tengah jalan, aku pastikan kau akan masuk penjara."
Glek!
Sofia menegang sempurna. Ancaman itu terdengar nyata, dan langsung menghantam pikirannya.
Ia menunduk sejenak, mengingat wajah ibu yang terbaring koma. Dendam dan tekad di dalam dadanya menyatu menjadi bara yang menyala-nyala.
Ini adalah keputusan tepat. Dengan satu tarikan napas, ia menandatangani kontrak itu.
Setelah itu, Bima bangkit dari duduknya.
"Ikut saya. Kita akan ke rumah Oma," katanya tegas. "Bersikaplah seolah-olah kita adalah sepasang kekasih yang akan segera menikah."
"Sekarang? Apa harus sekarang?" tanya Sofia terkejut. Tidak bisakah ia diberikan waktu sedikit saja untuk bernafas?
Tapi tatapan mata Bima bisa disimpulkan bahwa dia tidak bisa diajak berkompromi.
"Jangan main-main dengan saya!"
Sofia hanya bisa mengangguk pelan. Semuanya terjadi begitu cepat. Ia masih tak menyangka bahwa ia akan menikah dengan Bima, kakak dari sahabatnya.
Sofia belum sempat memikirkan apa yang harus ia katakan atau bagaimana bersikap di depan keluarga pria itu.
Namun, satu hal yang Sofia tahu, dia harus mengikuti alur yang telah diciptakan oleh Bima, seaneh dan serumit apapun itu demi satu tujuan:
BALAS DENDAM!
Tidak sampai satu jam kemudian, Sofia tiba di depan sebuah mansion megah yang terasa asing baginya.
"Masuklah," ucap Bima.
Sofia mengangguk pelan. Ia mengikuti langkah Bima dengan jantung yang berdetak cepat, seperti akan pecah kapan saja.
Saat tiba di depan sebuah kamar, Bima membuka pintu dan memanggil pelan. "Oma."
Dari dalam, terdengar suara parau namun tajam.
"Jangan datang kalau kau tidak membawa calon istri!" sahut sang Oma tanpa menoleh sedikit pun.
Bima menarik napas dalam, lalu melirik ke arah Sofia. Matanya memberi isyarat, tapi Sofia malah memandangi sekeliling, bingung tak mengerti maksudnya.
"Ehem," Bima berdehem, membuat Sofia kembali fokus padanya. "Masuklah," katanya.
Sofia mengangguk dan melangkah masuk. Tapi sang Oma langsung berseru tajam.
"Sudah kubilang, jangan datang! Pergi sana, dan doakan Oma cepat mati!"
Sofia tertegun. Ia tahu kemarahan itu bukan ditujukan padanya.
Dengan suara hati-hati, ia pun berkata, "Halo, Oma..."
Sang Oma terdiam. Suara itu bukan suara cucunya.
Perlahan, ia berbalik. Matanya langsung menangkap sosok seorang wanita muda dengan paras cantik berdiri di ambang pintu.
Senyum pun merekah di wajah keriputnya. Ia menatap Bima, meminta penjelasan lewat pandangan.
Bima kemudian berkata dengan nada pelan, "Calon istriku, Oma."
"Mas, apa sih? Kamu kok marah terus?" tanya Sofia. "Enggak kok," jawab Bima kembali tersenyum. "Hay," sapa Lala yang muncul dari arah dapur. "Kayaknya lagi seneng?" tebak Sofia melihat wajah ceria Lala. "Iya, soalnya aku mulai besok bakalan diajarin masak sama, Kak Aran," jelas Lala. "Bagus, dong." "Iya, dong. Tapi, kalian mau kemana?" tanya Lala karena Sofia baru saja tiba dirumah tapi sudah keluar kamar lagi. "Aku lihat dari balkon ada pohon jeruk di belakang, terus ada buahnya, aku pengen petik langsung," jelas Sofia. "Iya, bener banget. Lagi berbuah lebat." "Aku kesana dulu ya." "Ya." Sofia pun kembali melanjutkan langkah kakinya bersama Bima di sampingnya menuju taman belakang. Mata Sofia seketika berbinar melihat sepohon jeruk yang tengah berbuah lebat. "Ya ampun, Mas. Sofia kok pengen makan buahnya di atas pohonnya ya," ucap Sofia. "Jangan, bahaya, mending di atas Mas aja. Dijamin aman dan pastinya enak," ujar Bima santai. "Mas, apa sih?" protes So
*** Lala terus melanjutkan langkah kakinya menuju dapur, dia kesal pada dirinya sendiri karena belum bisa memasak sama sekali. Dia juga penasaran dengan rasa sosis buatannya yang sebenarnya belum dia cicipi sama sekali. Perlahan dia pun memasukkan ke dalam mulutnya. Matanya melebar karena rasa yang aneh, dia pun segera memuntahkannya kembali. Kemudian melihat sekitarnya. "Ya ampun, rasanya aneh banget. Pantesan Kak Bima kesal." Lala pun segera melanjutkan langkah kakinya menuju dapur, dia akan menemui Bik Iyem yang tak lain kepala asisten rumah tangga yang akan dia minta mengajarkannya memasak. Setelah sebelumnya hanya melihat tutorial online dan hasilnya buruk. Tapi ketika sampai di dapur dia justru melihat Aran, bibir manyunnya berubah tersenyum. Dia mendapat ide baru, lebih baik Aran saja yang mengajarkan dirinya memasak. Dengan langkah kaki cepat dia pun langsung mendekati Aran. "Kak Aran," katanya sambil memeluk Aran dari belakang tanpa ragu. "Nona Lala," Ar
Tok tok tok... Terdengar suara ketukan pintu. Sofia pun ingin segera membukanya, tapi Bima menahannya. Sofia pun menatap penuh tanya. "Paling Oma, biarkan saja," kata Bima kemudian segera menarik Sofia dalam pelukannya. "Mas, lepasin dulu. Mungkin ada hal penting," Sofia perlahan melepaskan diri. "Apa yang penting dari berita yang akan dibawa Oma?" "Mas, kamu kalau ngomong suka asal. Gimana kalau itu adalah Mami?" "Mas, masih kangen banget sama kamu." Entah kenapa Bima harus seperti ini membuat Sofia terus menahan malu, tapi ia berusia untuk menenangkan diri dan perlahan turun dari ranjang. Pintu terbuka dan ternyata bukan Oma ataupun Mami Naya, melainkan Lala di depan pintu dengan piring berisi makanan ditangannya. "Kakak Ipar, Lala udah masakin buat kamu," serunya dengan bahagia. "Apasih, La?!" protes Sofia karena Lala terus memanggilnya Kakak Ipar, rasanya ada yang aneh sebab mereka sudah lama berteman, jauh sebelum Sofia menjadi istri Bima. "Hehe..." Lal
* Sofia berdiri diambang pintu, matanya menatap ke dalam sana, pikiran pun seketika melayang jauh saat itu dia harus keluar dari rumah ini. Rumah yang pernah menjadi tempatnya pulang, dan tak menyangka akan kembali tinggal disana. Bima yang awalnya mengantarkannya pulang kini kembali pula membawanya pulang. Ini rumit, tak ada yang bisa memahami. Semuanya berjalan begitu cepat dan kehamilannya yang membawanya kembali. "Ayo, masuk," kata Bima yang berdiri disampingnya, "kamu nggak kuat jalan?" tanya Bima. Tapi belum juga menjawab Bima sudah mengangkatnya. "Mas!" pekik Sofia reflek karena keterkejutan. "Ehemm... ehem..." ejek Lala yang ternyata berdiri diujung anak tangga. Wajah Sofia seketika merona, "Mas, turunin," pinta Sofia. "Nggak papa, Kakak ipar lanjut aja. Aku baik-baik aja kok," kata Lala sambil tersenyum mengejek, tapi dia sangat bahagia melihat hubungan sahabatnya dan Kakaknya mulai membaik. "Mas, aku bisa jalan," kata Sofia. Tapi Bima tetap saja mengang
Keesokan harinya... Dokter bersama dengan dua orang perawat masuk ke ruang rawat Sofia. Memeriksa keadaan Sofia. "Dok, saya udah bisa pulang nggak ya? Saya udah pengen pulang," kata Sofia. "Sebaiknya jangan dulu, Bu. Karena kami masih harus melihat perkembangan anda secara berkala," kata Dokter. "Dok, saya merasa udah lebih baik. Saya pengen pulang," pinta Sofia lagi terdengar memaksa. "Baiklah, tapi anda harus rutin melakukan pemeriksaan dan tolong untuk mengelola stess," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Sofia dengan perasaan bahagia. "Saya permisi," dokter keluar dan Bima pun bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu mau pulang? Keadaan kamu belum pulih betul," ucap Bima. "Aku cape disini, aku pengen menghirup udara segar," jawab Sofia. "Perlu Mas berikan udara segar?" "Apasih?" kesal Sofia karena bingung kenapa Bima sekarang aneh. "Kalau gitu kamu pulang sama aku," kata Bima lagi. "Nggak, aku mau pulang ke rumah aku," tolak Sofia. "Kalau gitu, rumah aku buat
Clek. Pintu terbuka dan mata Lala langsung melebar sempurna melihat pemandangan yang cukup mengerikan sekaligus mengejutkan. Sofia dan Bima juga ikut tersadar, segera mendorong dada Bima agar menjauh. "Astaga, jantungku," katanya sambil memegang dadanya, ia benar-benar tak menyangka akan melihat adegan yang cukup membuatnya tegang. Sedangkan wajah Sofia terlihat memerah menahan malu. "Maaf Kakak ipar, aku tidak bermaksud mengganggu kalian berdua. Itu," Lala pun mengedarkan pandangannya sampai akhirnya menemukan benda yang tertinggal di kamar rawat Sofia, "ponsel aku ketinggalan," ucapnya dan langsung mengambil di sofa. Kemudian dia pun segera pergi, tapi setelah pintu tertutup dia kembali masuk. "Kak Bima, Kakak ipar. Lanjutkan yang tadi ya, bye!!!" serunya. Kali ini Lala benar-benar pergi. Sofia mengusap wajahnya menahan rasa malu, entah kenapa dia bisa seperti ini. Bahkan untuk menatap wajah Bima saja sekarang dia sangat malu. "Mau dilanjut lagi?" celetuk Bima







