Share

2

Penulis: Ipak Munthe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-13 13:38:19

Sofia menunduk lesu di hadapan sang ibu yang terbaring koma. Seluruh harta warisan yang ditinggalkan ayahnya tiga minggu lalu, kini telah berpindah tangan. 

Hatinya perih. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun tidak, ini adalah kenyataan pahit yang harus ia telan.

Ia bukan hanya kehilangan sang ayah, tapi juga seluruh warisan yang seharusnya menjadi harapan terakhir. Kini, ia tak tahu bagaimana cara membayar tagihan rumah sakit.

Jika semua alat medis yang terpasang dilepas, ibunya akan menyusul sang ayah... dan Sofia akan benar-benar sendiri di dunia ini.

Ia menolak tenggelam dalam kesedihan lebih lama. Segala sesuatu yang telah direbut darinya harus ia ambil kembali.

Tujuannya saat ini adalah Bima Wijaya Kusuma—seorang pengacara ternama dengan reputasi tak terbantahkan. 

Berbekal tekad dan selembar keberanian, Sofia mendatangi kantor Bima. Tetapi bertemu sang pengacara ternyata tidak semudah bayangannya.

Di lobi, seorang satpam menghadang.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya satpam itu.

“Saya ingin bertemu Tuan Bima Wijaya Kusuma.”

“Apakah Ibu sudah membuat janji?”

Sofia menggeleng pelan.

“Maaf, tanpa janji kami tidak bisa mengizinkan Ibu masuk.”

“Tapi saya sangat membutuhkan bantuan beliau.” Sofia memohon berharap agar bisa bertemu dengan Bima.

Satpam merentangkan lengan, menghalangi langkahnya. “Peraturan tetap peraturan, Bu. Silakan membuat janji lebih dulu.”

Keputusasaan merayap di benaknya. Namun ketika matanya menangkap pintu lift yang terbuka, muncul satu gagasan nekat.

Sofia menunjuk ke belakang satpam dan berkata, “Pak, itu Pak Bima, ya?”

Refleks, satpam menoleh. Saat itu pula Sofia menyelinap melewatinya, berlari ke dalam lift dan menekan tombol lantai atas.

“Bu, tunggu!” teriak Satpam.

Pintu lift tertutup rapat. Di ruang sempit yang menanjak, Sofia menggenggam erat tasnya dan berbisik, “Aku harus bertemu denganmu, Bima.”

Sofia melangkah keluar dari lift dengan langkah ragu. Pandangannya menyapu ruangan kantor yang luas dan elegan, namun tak bersahabat. Ia tak tahu pasti di mana ruangan Bima berada, tapi ia yakin... ia harus menemukannya sekarang, sebelum dicegat.

Ia menahan napas, mencoba tetap tenang. ‘Kau bisa, Sofia,’ bisiknya dalam hati.

Langkahnya menyusuri koridor, matanya menatap wajah-wajah yang lewat, berharap menemukan sosok yang ia cari. Dan saat matanya menangkap seorang pria tinggi berjas rapi yang sedang berbicara dengan dua orang staf, jantungnya berdegup kencang.

“Itu dia... Bima Wijaya Kusuma!”

Namun harapannya tak bertahan lama. Dari belakang, langkah cepat dan suara teriakan mulai terdengar.

“Hei! Berhenti!” teriak seorang satpam.

Sofia menoleh panik. Dua satpam telah berdiri sekitar sepuluh meter di belakangnya, wajah mereka serius dan siaga. Mereka jelas tahu dia tak seharusnya ada di sini.

Tanpa berpikir panjang, Sofia kembali menatap Bima, lalu mulai berlari ke arahnya.

“Pak Bima! Tolong saya!” serunya lantang.

Beberapa kepala mulai menoleh. Bima menghentikan pembicaraannya, keningnya berkerut melihat wanita asing yang berlari ke arahnya dengan wajah penuh kecemasan.

Sofia berlari secepat mungkin menuju Bima. Karena terlalu terburu-buru, tubuhnya kehilangan keseimbangan, hampir saja ia menabrak pria itu.

Seorang satpam segera menyusul dari belakang dan langsung menangkap pergelangan tangannya.

"Maaf, Pak, wanita ini menyelinap masuk," ujar satpam sambil menggenggam tangan Sofia erat-erat.

Sofia menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, suaranya gemetar menahan panik dan harapan.

"Pak Bima... aku Sofia. Aku teman saudara Anda. Ingat denganku? Aku mohon, izinkan aku bicara sebentar. Aku nggak punya nomor ponselmu, dan aku juga nggak tahu kenapa Lala tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Aku benar-benar butuh bantuan... sampai aku nekat masuk seperti ini. Tolong, aku mohon…."

Beberapa staf mulai melirik, situasi terasa canggung. Namun Bima tetap diam, matanya menatap lurus ke arah Sofia.

Lalu, dengan suara rendah tapi tegas, ia berkata, "Lepaskan dia."

Satpam itu langsung melepaskan genggamannya, sedikit terkejut dengan nada perintah Bima yang begitu tegas.

Sofia menghela napas lega. Setidaknya, Bima tidak menyuruh mereka menyeretnya keluar.

Tanpa banyak bicara, Bima memberi isyarat halus dengan tangannya. Satpam itu langsung mengangguk dan beranjak mundur dari hadapan bosnya.

Bima lantas membawanya ke sebuah ruangan. Mereka duduk berhadapan. Di antara mereka, sebuah meja kayu menjadi batas yang terasa kaku dan dingin. 

Sofia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, tubuhnya sedikit bergetar karena gugup. Ia menatap Bima yang masih terdiam, menatapnya dengan ekspresi datar yang sulit dibaca.

"Tuan Bima... Pak Bima... Kak Bima… entahlah, bagaimana aku harus memanggilmu. Yang jelas, aku benar-benar butuh bantuanmu," ucap Sofia dengan suara lirih.

Bima tetap diam, membuat Sofia menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu.

"Aku baru saja diceraikan oleh suamiku. Semua harta warisan orang tuaku, yang semula atas namaku... sekarang sudah jadi miliknya. Aku diusir dari rumahku sendiri."

Ia berhenti sejenak, suaranya mulai bergetar. "Bahkan... aku tidak bisa membayar tagihan rumah sakit ibuku yang terbaring koma. Itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh bantuanmu."

Bima menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya masih tertuju pada Sofia. Ia belum memberi respons, seolah sedang mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan wanita di hadapannya.

"Aku memang tidak punya uang sekarang… tapi aku janji, aku akan membayar jasamu setelah semua hartaku kembali. Berapa pun biayanya, aku siap."

Kali ini, Sofia menatap Bima dengan penuh keyakinan, meski matanya mulai berkaca-kaca.

"Sepertinya saya tidak tertarik dengan tawaran Anda," ucap Bima, suaranya berat dan tegas.

Jantung Sofia berdegup kencang mendengar penolakan itu. Ia langsung bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Bima.

"Aku mohon... tolong aku. Aku sangat membutuhkan bantuanmu," katanya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Tatapannya penuh harap. Ia menatap Bima dengan mata yang nyaris memohon belas kasihan. Tapi Bima tetap diam, ekspresinya datar, tak tergoyahkan.

"Aku mohon..." bisik Sofia lirih. Kali ini, air matanya mulai mengalir perlahan di pipi.

Beberapa detik kemudian, Bima akhirnya membuka suara.

"Mungkin kita bisa bekerja sama."

Sofia terdiam sejenak. Harapan kecil mulai menyala di matanya.

"Kerja sama? Ya, aku mau... apapun akan aku lakukan, asalkan kamu bersedia membantuku!" jawabnya cepat.

Bima menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada serius. "Kita akan menikah."

"APA?!" 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   9

    Sebuah gala dinner amal di hotel mewah. Ruangan dipenuhi tokoh penting, media, dan pemilik perusahaan ternama. Aldi hadir sebagai tamu undangan dari perusahaan yang dulu pernah dimiliki oleh Sofia. Ia tertawa kecil sambil menyesap minuman, berbicara santai dengan rekan bisnis. "Acara seperti ini cuma formalitas," gumamnya. "Yang penting media lihat siapa yang pegang kendali sekarang." Tiba-tiba, suasana berubah. Sorotan kamera bergerak, lampu blitz menyala. Aldi menoleh, dan wajahnya langsung mengeras. MC: "Dan inilah tamu kehormatan kita malam ini, pengacara senior Bima Kusuma Wijaya dan istrinya…" Sofia melangkah masuk, mengenakan gaun hitam sederhana yang justru menonjolkan elegansinya. Di sampingnya, Bima berdiri tegap dengan jas gelap, tampak seperti pasangan ideal — terlalu ideal untuk Aldi. Aldi membeku. "Sofia…" gumamnya. Ia melangkah mendekat, nyaris tak percaya melihat wanita yang dulu ia rendahkan kini berdiri anggun, seolah dunia berputar terlalu cepat.

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   8

    Wah, gadis ini benar-benar ingin cari masalah ternyata!Sofia menghela napas dalam hati. Ia tak tahu siapa wanita ini sebenarnya, tapi dari gaya bicara dan ekspresinya, dia sudah cukup yakin:Tingkat menyebalkannya 9,5/10.Namun, alih-alih membalas dengan emosi, Sofia hanya diam sambil membaca situasi.‘Sabar, Sofia. Jangan bikin adegan. Nanti dikira sinetron beneran,’ batinnya.Tapi dalam hati, dia sudah siap dengan satu dua kalimat sarkas yang bisa dia keluarkan kapan saja kalau situasinya memanas.“Aku curiga… jangan-jangan kamu dijebak sama dia!” tuduh Lusi sambil menunjuk Sofia seolah-olah sedang menuding tersangka pencurian.Sofia mendesah panjang. Sumpah, leher perempuan ini kayaknya cocok buat dicekik pelan-pelan pake ikat pinggang.“Hey!” Lusi mendekat lebih agresif. “Kamu pasti jebak Mas Bima, kan?! Makanya dia sampai nikah sama gembel nggak jelas kayak kamu! Asal-usul nggak ada, gaya juga pas-pasan!”Sofia berdiri tegak. Mukanya tenang, tapi tangan sudah mulai gatal ingin n

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   7

    “Kenapa kau malah pakai kaos itu?!” sentak Bima tiba-tiba.Sofia terdiam sejenak, lalu matanya melebar, seperti baru saja mendapatkan wahyu dari langit.“Oh… OH! Aku ngerti sekarang!” katanya sambil menepuk-nepuk dahinya. “Aku nggak perlu khawatir kamu bakal ngapa-ngapain aku, ya?”Bima mengerutkan kening.“Karena kamu… kamu suka jadi wanita juga, kan?” lanjut Sofia dramatis. “Berarti kamu punya kepribadian ganda! Astaga... kamu... kamu punya pacar lagi yang juga adalah... dirimu sendiri!”Bima belum sempat membalas saat Sofia malah membuka mulut lebar-lebar, seperti hendak meneriakkan penemuan besarnya ke seluruh dunia.Dan dengan sangat cepat—tanpa drama, tanpa aba-aba—Bima mengambil selembar tisu dan langsung menyumpalkannya ke dalam mulut terbuka Sofia.“Aah!” pekik Sofia, lalu dengan jijik melemparkan tisu itu ke arah Bima. “Jorok banget! Aku memang belum makan, tapi aku juga nggak akan mau makan tisu!”"Lepas pakaian itu sekarang!" perintah Bima tanpa ingin dibantah."Ogah! Aku

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   6

    Bima menatapnya dengan dahi mengerut, lalu berjalan melewatinya. Bima menaruh kemeja dan jasnya ke keranjang pakaian kotor di sudut ruangan.Sofia menelan ludah salah tingkah. ‘Ya ampun! Sofia, kamu mikir apa sih?!’ makinya pada dirinya sendiri. "Lalu… apakah kita akan tidur satu ranjang?" tanya Sofia lagi, berusaha terlihat biasa saja, padahal wajahnya mulai terasa panas.Bima kembali menatapnya. "Kau tidur di ranjang. Aku di sofa," jawabnya singkat.Sofia menghembuskan napas lega. "Syukurlah… Walaupun aku janda, aku masih punya harga diri!" gerutunya setengah berbisik.Tok tok tok!Keduanya langsung menoleh ke arah pintu."Biar aku yang buka," kata Sofia sambil berjalan menuju pintu.Begitu dibuka, tampak Bik Iyem berdiri sambil membawa nampan berisi dua gelas jamu."Nyonya, ini jamunya," katanya sopan.Sofia menatap gelas-gelas itu dengan tegang, lalu memberanikan diri mengambilnya."Kenapa dua?" tanyanya bingung."Satu untuk Tuan Bima."Sebelum Sofia sempat merespons, sosok Oma

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   5

    Keesokan harinya, Sofia menerima tamu yang ternyata adalah perias pengantin kiriman Oma ke kostnya. Bahkan, si perias juga membawakan kebaya putih sederhana.“Anda sangat cantik, Nona,” ucapnya sambil menatap puas hasil riasan di wajah Sofia.Memang, tanpa riasan pun, Sofia sudah cantik alami. Tapi hari ini, dia tidak baik-baik saja.Perasaan tegang menyelimuti dirinya. Sebentar lagi ia akan menikah dengan pria asing … semata-mata demi bantuan.Aldi!Satu nama yang membakar emosinya. Sofia tersenyum miring, tak sabar membalas dendam. Dia bersumpah akan mengusir Aldi dari rumahnya, dengan cara yang sama seperti yang pernah Aldi lakukan padanya.“Nona, supir sudah menjemput Anda.”Suara perias menyadarkannya dari lamunan. Sofia mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke rumah keluarga Bima.Rumah itu besar dan megah—bahkan lebih mewah dari rumah Sofia sendiri. Entah sekaya apa Bima, yang jelas mereka punya tujuan masing-masing dalam kerja sama ini.Sof

  • Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin   4

    Reaksi sang Oma sungguh di luar dugaan. Wajahnya langsung berbinar. Ia segera meraih tangan Sofia, lalu menariknya duduk di sisi ranjang."Kamu cantik sekali. Siapa namamu, Nak?" tanyanya lembut."Sofia, Oma," jawab Sofia gugup."Namanya cantik... secantik orangnya," ujar Oma, terus menatap Sofia penuh kekaguman.Sofia hanya tersenyum. Semua ini terasa ganjil, tapi ia mencoba bermain peran sebaik mungkin."Kamu benar calon istri Bima?" tanya Oma memastikan.Sofia mengangguk pelan. Dalam hatinya ingin sekali berkata "hanya sandiwara". Tapi tentu tidak mungkin."Kalau begitu, kalian harus segera menikah. Besok Oma akan datang ke rumahmu. Kita langsung gelar pernikahan. Tidak baik menunda-nunda niat baik.""Be-besok?!" ujar Sofia terkejut, hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar."Iya dong," jawab Oma mantap, senyum bahagia terpancar dari wajahnya.Sofia menunduk. Dengan suara pelan dan ragu, ia berkata, "Ta-tapi... Sofia janda, Oma."Seketika, raut wajah Oma berubah datar. Wajah ce

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status