LOGINSofia menunduk lesu di hadapan sang ibu yang terbaring koma. Seluruh harta warisan yang ditinggalkan ayahnya tiga minggu lalu, kini telah berpindah tangan.
Hatinya perih. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun tidak, ini adalah kenyataan pahit yang harus ia telan.
Ia bukan hanya kehilangan sang ayah, tapi juga seluruh warisan yang seharusnya menjadi harapan terakhir. Kini, ia tak tahu bagaimana cara membayar tagihan rumah sakit.
Jika semua alat medis yang terpasang dilepas, ibunya akan menyusul sang ayah... dan Sofia akan benar-benar sendiri di dunia ini.
Ia menolak tenggelam dalam kesedihan lebih lama. Segala sesuatu yang telah direbut darinya harus ia ambil kembali.
Tujuannya saat ini adalah Bima Wijaya Kusuma—seorang pengacara ternama dengan reputasi tak terbantahkan.
Berbekal tekad dan selembar keberanian, Sofia mendatangi kantor Bima. Tetapi bertemu sang pengacara ternyata tidak semudah bayangannya.
Di lobi, seorang satpam menghadang.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya satpam itu.
“Saya ingin bertemu Tuan Bima Wijaya Kusuma.”
“Apakah Ibu sudah membuat janji?”
Sofia menggeleng pelan.
“Maaf, tanpa janji kami tidak bisa mengizinkan Ibu masuk.”
“Tapi saya sangat membutuhkan bantuan beliau.” Sofia memohon berharap agar bisa bertemu dengan Bima.
Satpam merentangkan lengan, menghalangi langkahnya. “Peraturan tetap peraturan, Bu. Silakan membuat janji lebih dulu.”
Keputusasaan merayap di benaknya. Namun ketika matanya menangkap pintu lift yang terbuka, muncul satu gagasan nekat.
Sofia menunjuk ke belakang satpam dan berkata, “Pak, itu Pak Bima, ya?”
Refleks, satpam menoleh. Saat itu pula Sofia menyelinap melewatinya, berlari ke dalam lift dan menekan tombol lantai atas.
“Bu, tunggu!” teriak Satpam.
Pintu lift tertutup rapat. Di ruang sempit yang menanjak, Sofia menggenggam erat tasnya dan berbisik, “Aku harus bertemu denganmu, Bima.”
Sofia melangkah keluar dari lift dengan langkah ragu. Pandangannya menyapu ruangan kantor yang luas dan elegan, namun tak bersahabat. Ia tak tahu pasti di mana ruangan Bima berada, tapi ia yakin... ia harus menemukannya sekarang, sebelum dicegat.
Ia menahan napas, mencoba tetap tenang. ‘Kau bisa, Sofia,’ bisiknya dalam hati.
Langkahnya menyusuri koridor, matanya menatap wajah-wajah yang lewat, berharap menemukan sosok yang ia cari. Dan saat matanya menangkap seorang pria tinggi berjas rapi yang sedang berbicara dengan dua orang staf, jantungnya berdegup kencang.
“Itu dia... Bima Wijaya Kusuma!”
Namun harapannya tak bertahan lama. Dari belakang, langkah cepat dan suara teriakan mulai terdengar.
“Hei! Berhenti!” teriak seorang satpam.
Sofia menoleh panik. Dua satpam telah berdiri sekitar sepuluh meter di belakangnya, wajah mereka serius dan siaga. Mereka jelas tahu dia tak seharusnya ada di sini.
Tanpa berpikir panjang, Sofia kembali menatap Bima, lalu mulai berlari ke arahnya.
“Pak Bima! Tolong saya!” serunya lantang.
Beberapa kepala mulai menoleh. Bima menghentikan pembicaraannya, keningnya berkerut melihat wanita asing yang berlari ke arahnya dengan wajah penuh kecemasan.
Sofia berlari secepat mungkin menuju Bima. Karena terlalu terburu-buru, tubuhnya kehilangan keseimbangan, hampir saja ia menabrak pria itu.
Seorang satpam segera menyusul dari belakang dan langsung menangkap pergelangan tangannya.
"Maaf, Pak, wanita ini menyelinap masuk," ujar satpam sambil menggenggam tangan Sofia erat-erat.
Sofia menatap Bima dengan mata berkaca-kaca, suaranya gemetar menahan panik dan harapan.
"Pak Bima... aku Sofia. Aku teman saudara Anda. Ingat denganku? Aku mohon, izinkan aku bicara sebentar. Aku nggak punya nomor ponselmu, dan aku juga nggak tahu kenapa Lala tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Aku benar-benar butuh bantuan... sampai aku nekat masuk seperti ini. Tolong, aku mohon…."
Beberapa staf mulai melirik, situasi terasa canggung. Namun Bima tetap diam, matanya menatap lurus ke arah Sofia.
Lalu, dengan suara rendah tapi tegas, ia berkata, "Lepaskan dia."
Satpam itu langsung melepaskan genggamannya, sedikit terkejut dengan nada perintah Bima yang begitu tegas.
Sofia menghela napas lega. Setidaknya, Bima tidak menyuruh mereka menyeretnya keluar.
Tanpa banyak bicara, Bima memberi isyarat halus dengan tangannya. Satpam itu langsung mengangguk dan beranjak mundur dari hadapan bosnya.
Bima lantas membawanya ke sebuah ruangan. Mereka duduk berhadapan. Di antara mereka, sebuah meja kayu menjadi batas yang terasa kaku dan dingin.
Sofia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, tubuhnya sedikit bergetar karena gugup. Ia menatap Bima yang masih terdiam, menatapnya dengan ekspresi datar yang sulit dibaca.
"Tuan Bima... Pak Bima... Kak Bima… entahlah, bagaimana aku harus memanggilmu. Yang jelas, aku benar-benar butuh bantuanmu," ucap Sofia dengan suara lirih.
Bima tetap diam, membuat Sofia menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu.
"Aku baru saja diceraikan oleh suamiku. Semua harta warisan orang tuaku, yang semula atas namaku... sekarang sudah jadi miliknya. Aku diusir dari rumahku sendiri."
Ia berhenti sejenak, suaranya mulai bergetar. "Bahkan... aku tidak bisa membayar tagihan rumah sakit ibuku yang terbaring koma. Itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh bantuanmu."
Bima menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, matanya masih tertuju pada Sofia. Ia belum memberi respons, seolah sedang mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan wanita di hadapannya.
"Aku memang tidak punya uang sekarang… tapi aku janji, aku akan membayar jasamu setelah semua hartaku kembali. Berapa pun biayanya, aku siap."
Kali ini, Sofia menatap Bima dengan penuh keyakinan, meski matanya mulai berkaca-kaca.
"Sepertinya saya tidak tertarik dengan tawaran Anda," ucap Bima, suaranya berat dan tegas.
Jantung Sofia berdegup kencang mendengar penolakan itu. Ia langsung bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Bima.
"Aku mohon... tolong aku. Aku sangat membutuhkan bantuanmu," katanya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Tatapannya penuh harap. Ia menatap Bima dengan mata yang nyaris memohon belas kasihan. Tapi Bima tetap diam, ekspresinya datar, tak tergoyahkan.
"Aku mohon..." bisik Sofia lirih. Kali ini, air matanya mulai mengalir perlahan di pipi.
Beberapa detik kemudian, Bima akhirnya membuka suara.
"Mungkin kita bisa bekerja sama."
Sofia terdiam sejenak. Harapan kecil mulai menyala di matanya.
"Kerja sama? Ya, aku mau... apapun akan aku lakukan, asalkan kamu bersedia membantuku!" jawabnya cepat.
Bima menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada serius. "Kita akan menikah."
"APA?!"
* Sofia berdiri diambang pintu, matanya menatap ke dalam sana, pikiran pun seketika melayang jauh saat itu dia harus keluar dari rumah ini. Rumah yang pernah menjadi tempatnya pulang, dan tak menyangka akan kembali tinggal disana. Bima yang awalnya mengantarkannya pulang kini kembali pula membawanya pulang. Ini rumit, tak ada yang bisa memahami. Semuanya berjalan begitu cepat dan kehamilannya yang membawanya kembali. "Ayo, masuk," kata Bima yang berdiri disampingnya, "kamu nggak kuat jalan?" tanya Bima. Tapi belum juga menjawab Bima sudah mengangkatnya. "Mas!" pekik Sofia reflek karena keterkejutan. "Ehemm... ehem..." ejek Lala yang ternyata berdiri diujung anak tangga. Wajah Sofia seketika merona, "Mas, turunin," pinta Sofia. "Nggak papa, Kakak ipar lanjut aja. Aku baik-baik aja kok," kata Lala sambil tersenyum mengejek, tapi dia sangat bahagia melihat hubungan sahabatnya dan Kakaknya mulai membaik. "Mas, aku bisa jalan," kata Sofia. Tapi Bima tetap saja mengang
Keesokan harinya... Dokter bersama dengan dua orang perawat masuk ke ruang rawat Sofia. Memeriksa keadaan Sofia. "Dok, saya udah bisa pulang nggak ya? Saya udah pengen pulang," kata Sofia. "Sebaiknya jangan dulu, Bu. Karena kami masih harus melihat perkembangan anda secara berkala," kata Dokter. "Dok, saya merasa udah lebih baik. Saya pengen pulang," pinta Sofia lagi terdengar memaksa. "Baiklah, tapi anda harus rutin melakukan pemeriksaan dan tolong untuk mengelola stess," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Sofia dengan perasaan bahagia. "Saya permisi," dokter keluar dan Bima pun bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu mau pulang? Keadaan kamu belum pulih betul," ucap Bima. "Aku cape disini, aku pengen menghirup udara segar," jawab Sofia. "Perlu Mas berikan udara segar?" "Apasih?" kesal Sofia karena bingung kenapa Bima sekarang aneh. "Kalau gitu kamu pulang sama aku," kata Bima lagi. "Nggak, aku mau pulang ke rumah aku," tolak Sofia. "Kalau gitu, rumah aku buat
Clek. Pintu terbuka dan mata Lala langsung melebar sempurna melihat pemandangan yang cukup mengerikan sekaligus mengejutkan. Sofia dan Bima juga ikut tersadar, segera mendorong dada Bima agar menjauh. "Astaga, jantungku," katanya sambil memegang dadanya, ia benar-benar tak menyangka akan melihat adegan yang cukup membuatnya tegang. Sedangkan wajah Sofia terlihat memerah menahan malu. "Maaf Kakak ipar, aku tidak bermaksud mengganggu kalian berdua. Itu," Lala pun mengedarkan pandangannya sampai akhirnya menemukan benda yang tertinggal di kamar rawat Sofia, "ponsel aku ketinggalan," ucapnya dan langsung mengambil di sofa. Kemudian dia pun segera pergi, tapi setelah pintu tertutup dia kembali masuk. "Kak Bima, Kakak ipar. Lanjutkan yang tadi ya, bye!!!" serunya. Kali ini Lala benar-benar pergi. Sofia mengusap wajahnya menahan rasa malu, entah kenapa dia bisa seperti ini. Bahkan untuk menatap wajah Bima saja sekarang dia sangat malu. "Mau dilanjut lagi?" celetuk Bima
Setelah Oma dan Lala pergi, Bima kembali masuk ke ruangan Sofia. Ia melihat Sofia tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum saat Sofia meliriknya, dan terus berjalan lebih dekat. Meskipun Sofia tak membalas senyumannya sama sekali. "Kenapa perceraiannya dibatalkan?" tanya Sofia tiba-tiba, dia juga baru diberitahu oleh Rayhan bahwa Bima menarik semua berkas perceraian mereka. "Kita tidak mungkin bercerai kan?" tanya Bima. "Kenapa tidak?" "Sofia, ayolah. Kamu sedang hamil, aku mau anak itu punya kedua orang tua yang lengkap dan mendapatkan kasih sayang penuh," terang Bima. Kali ini Sofia hanya diam, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. "Sofia, kita besarkan anak ini sama-sama ya," mohon Bima. Sofia hanya menatapnya dalam diam, membuat Bima bingung. "Kita kembali ke rumah ya, rumah kita," kata Bima lagi, kali ini tangannya menggenggam tangan Sofia perlahan. Berharap Sofia setuju dengan keinginannya. Tapi sesaat kemudian Sofia pun melepaskan tang
"Sofia, aku hanya ingin minta maaf," ucap Bima lagi. Sofia masih berada di dunia lain setelah mendengar ucapan Bima. Entah itu benar atau tidak yang jelas kata-kata Bima terlalu mengejutkan. "Sofia, kamu jangan marah terus ya. Aku nggak kuat kalau jauhan terus sama kamu," katanya hati-hati sambil terus memperhatikan raut wajah Sofia, "Sofia, kita batalkan saja perceraian kita, ya," pinta Bima dengan memohon. Pintu kembali terbuka dan yang masuk adalah Oma dan Lala. "Hay," sapa Lala. Membuat Sofia pun segera tersadar lalu melihat Oma dan Lala yang masuk berjalan mendekatinya. "Kamu ngapain masih datang kesini?" sinis Oma. "Oma-" "Pergi sana!" usir Oma. "Tapi, Oma-" "Pergi!" Bima pun melirik Sofia, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya Bima berharap Sofia menahannya, tapi Sofia hanya diam saja. Sebenarnya Sofia masih bingung setelah mendengar kata 'l love you' dari Bima yang tiba-tiba, ucapan itu tertuju padanya atau tidak? "Gimana keadaan kamu sekarang? Maaf
"Oma," seru Sofia karena kesal Bima malah memeluknya. "Sini kamu!" Oma menarik telinga Bima hingga akhirnya perlahan melepaskan Sofia. "Oma, apasih, aku malu tau," katanya. "Kamu itu memang dasar ya! Berbuat sesuatu sesukamu saja. Lagian siapa yang minta kamu ada disini?" tanya Oma sambil bertolak pinggang. "Ya, Oma aku pergi," katanya sambil berjalan keluar demi bisa menghindari Oma. Tapi sekarang dia harus mencari keberadaan Aran, bagaimanapun pun Aran harus bertanggungjawab. Ia menuju kantor dan segera menuju ruangannya, sudah pasti Aran ada disana. Benar saja Aran tengah duduk didepan laptop, ia tampak sangat fokus. "Bos," sapa Aran setelah menyadari kedatangan Bima. Bima pun berjalan mendekatinya dan langsung menarik kerah kemejanya. "Kenapa kau membuatku sial hari ini?!" geramnya. "Santai dulu, Bos." Aran pun melepaskan tangan Bima dari kerah kemejanya, "kenapa anda marah-marah?" tanya Aran lagi. "Karena saranmu hampir saja Sofia celaka!" "Lalu, kenapa







