MasukReaksi sang Oma sungguh di luar dugaan. Wajahnya langsung berbinar. Ia segera meraih tangan Sofia, lalu menariknya duduk di sisi ranjang.
"Kamu cantik sekali. Siapa namamu, Nak?" tanyanya lembut.
"Sofia, Oma," jawab Sofia gugup.
"Namanya cantik... secantik orangnya," ujar Oma, terus menatap Sofia penuh kekaguman.
Sofia hanya tersenyum. Semua ini terasa ganjil, tapi ia mencoba bermain peran sebaik mungkin.
"Kamu benar calon istri Bima?" tanya Oma memastikan.
Sofia mengangguk pelan. Dalam hatinya ingin sekali berkata "hanya sandiwara". Tapi tentu tidak mungkin.
"Kalau begitu, kalian harus segera menikah. Besok Oma akan datang ke rumahmu. Kita langsung gelar pernikahan. Tidak baik menunda-nunda niat baik."
"Be-besok?!" ujar Sofia terkejut, hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Iya dong," jawab Oma mantap, senyum bahagia terpancar dari wajahnya.
Sofia menunduk. Dengan suara pelan dan ragu, ia berkata, "Ta-tapi... Sofia janda, Oma."
Seketika, raut wajah Oma berubah datar. Wajah cerianya perlahan memudar.
Bima yang berdiri di dekat pintu ikut tegang, cemas menunggu reaksi sang nenek. Takut jika semua rencana gagal hanya karena masa lalu Sofia.
Namun sebelum pikirannya berlarut, Oma tiba-tiba berseru dengan nada santai, "Nggak papa, Oma juga janda."
Sofia pun masih menatap penuh tanya, kebingungan.
"Justru Oma bersyukur masih ada yang mau menikah dengan cucu Oma," lanjut Oma sambil tersenyum hangat.
Sofia mengernyit pelan, "Memangnya kenapa, Oma?" tanyanya penasaran.
"Selama ini nggak ada yang mau menikah dengannya, sampai akhirnya dia jadi bujang lapuk begini," kata Oma jujur, sembari menggenggam tangan Sofia penuh rasa terima kasih. "Terima kasih kamu sudah mau menerima cucu Oma."
Sofia hanya bisa menahan tawa, berusaha tetap sopan di depan calon neneknya. Apalagi saat matanya melirik ke arah Bima—pria itu hanya menunjukkan ekspresi datar, seolah tak terganggu sama sekali dengan ucapan sang Oma.
"Justru bagus kalau kamu janda," ucap Oma santai, seolah hal itu adalah kabar baik.
Sofia mengerutkan kening, "Kenapa begitu, Oma?" tanyanya.
"Janda itu biasanya lebih berpengalaman. Tentunya kamu lebih profesional, kan?" kata Oma sambil tersenyum menggoda.
Wajah Sofia langsung memerah mendengar ucapan itu. Ia tak bisa menyembunyikan rasa malunya.
Melihat reaksi Sofia, Oma tertawa kecil dan menambahkan, "Maksud Oma, pengalaman seperti mengurus rumah, suami, dan segala urusan rumah tangga."
"E-eh, iya, Oma..." Sofia buru-buru mengangguk, sambil mencoba menenangkan pikirannya yang sempat melayang ke arah lain.
‘Astaga, Sofia... ada apa sih dengan otakmu?!’ gerutunya dalam hati.
"Pokoknya Oma minta kalian menikah secepatnya. Oma takut kamu berubah pikiran, dan cucu Oma benar-benar tidak mendapatkan istri," ucap Oma penuh harap, tatapannya bergantian pada Sofia dan Bima.
Refleks, Sofia menoleh ke arah Bima. Ia berusaha menahan tawa melihat ekspresi Bima yang masih datar, seolah sudah terbiasa dengan sindiran neneknya.
"Oma bisa aja..." kata Sofia sambil terkekeh pelan.
"Oma serius."
Sofia kembali melirik ke arah Bima, dan kali ini tawanya pecah juga. Ekspresi datar Bima justru membuat semuanya terasa semakin lucu di mata Sofia.
"Iyem, tolong buatkan jamu tradisional andalan kita," perintah Oma pada seorang pembantu yang kebetulan melintas di depan pintu kamar.
"Sekarang, Nyonya Oma?" sahut Iyem, memastikan.
"Iya, buat calon pengantin baru ini!" jawab Oma penuh semangat. Oma kemudian kembali menatap Sofia. "Kamu minum jamunya dari sekarang. Nanti setelah sah, kamu minum terus jamunya. Biar sekali ehem, langsung jadi. Sekalian kecebongnya nggak kebuang percuma. Mubazir," ucap Oma polos dengan wajah serius, seolah membicarakan resep masakan.
Deg!
Mata Sofia membelalak mendengarnya. Jantungnya berdegup kencang—bukan karena rasa cinta yang menggebu, tapi karena panik luar biasa.
Astaga... bukankah dalam perjanjian mereka tidak ada adegan ranjang selama pernikahan kontrak ini berlangsung?
Sofia nyaris pingsan di tempat. Wajahnya memucat, dan ia hanya bisa membeku di tempat.
Lanjut atau masuk penjara?!
OH, NO!
"Ini Nyonya." Iyem memberikan segelas jamu permintaan majikannya.
Sofia benar-benar tidak bisa tenang, tapi sekarang dia tak bisa menolak.
"Minum ya, dijamin ampuh," kata Oma penuh semangat.
Dengan terpaksa Sofia harus meneguk, meskipun tidak sampai habis karena rasanya membuatnya mual.
"Sekarang, pulanglah dan katakan pada orang tuamu besok pagi Oma akan datang untuk melamarmu," kata Oma dengan senyuman hangat.
"Tapi Ayah Sofia baru aja meninggal Oma. Dan, ibu Sofia sekarang koma di rumah sakit," katanya dengan suara pelan.
"Oh…" Oma merasa iba mendengarnya, "gadis malang."
Oma pun memeluknya dengan hangat, seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Sofia.
"Sekarang jangan merasa sendiri, ada Oma dan Bima kan? Besok kalian akan menikah."
* Sofia berdiri diambang pintu, matanya menatap ke dalam sana, pikiran pun seketika melayang jauh saat itu dia harus keluar dari rumah ini. Rumah yang pernah menjadi tempatnya pulang, dan tak menyangka akan kembali tinggal disana. Bima yang awalnya mengantarkannya pulang kini kembali pula membawanya pulang. Ini rumit, tak ada yang bisa memahami. Semuanya berjalan begitu cepat dan kehamilannya yang membawanya kembali. "Ayo, masuk," kata Bima yang berdiri disampingnya, "kamu nggak kuat jalan?" tanya Bima. Tapi belum juga menjawab Bima sudah mengangkatnya. "Mas!" pekik Sofia reflek karena keterkejutan. "Ehemm... ehem..." ejek Lala yang ternyata berdiri diujung anak tangga. Wajah Sofia seketika merona, "Mas, turunin," pinta Sofia. "Nggak papa, Kakak ipar lanjut aja. Aku baik-baik aja kok," kata Lala sambil tersenyum mengejek, tapi dia sangat bahagia melihat hubungan sahabatnya dan Kakaknya mulai membaik. "Mas, aku bisa jalan," kata Sofia. Tapi Bima tetap saja mengang
Keesokan harinya... Dokter bersama dengan dua orang perawat masuk ke ruang rawat Sofia. Memeriksa keadaan Sofia. "Dok, saya udah bisa pulang nggak ya? Saya udah pengen pulang," kata Sofia. "Sebaiknya jangan dulu, Bu. Karena kami masih harus melihat perkembangan anda secara berkala," kata Dokter. "Dok, saya merasa udah lebih baik. Saya pengen pulang," pinta Sofia lagi terdengar memaksa. "Baiklah, tapi anda harus rutin melakukan pemeriksaan dan tolong untuk mengelola stess," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Sofia dengan perasaan bahagia. "Saya permisi," dokter keluar dan Bima pun bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu mau pulang? Keadaan kamu belum pulih betul," ucap Bima. "Aku cape disini, aku pengen menghirup udara segar," jawab Sofia. "Perlu Mas berikan udara segar?" "Apasih?" kesal Sofia karena bingung kenapa Bima sekarang aneh. "Kalau gitu kamu pulang sama aku," kata Bima lagi. "Nggak, aku mau pulang ke rumah aku," tolak Sofia. "Kalau gitu, rumah aku buat
Clek. Pintu terbuka dan mata Lala langsung melebar sempurna melihat pemandangan yang cukup mengerikan sekaligus mengejutkan. Sofia dan Bima juga ikut tersadar, segera mendorong dada Bima agar menjauh. "Astaga, jantungku," katanya sambil memegang dadanya, ia benar-benar tak menyangka akan melihat adegan yang cukup membuatnya tegang. Sedangkan wajah Sofia terlihat memerah menahan malu. "Maaf Kakak ipar, aku tidak bermaksud mengganggu kalian berdua. Itu," Lala pun mengedarkan pandangannya sampai akhirnya menemukan benda yang tertinggal di kamar rawat Sofia, "ponsel aku ketinggalan," ucapnya dan langsung mengambil di sofa. Kemudian dia pun segera pergi, tapi setelah pintu tertutup dia kembali masuk. "Kak Bima, Kakak ipar. Lanjutkan yang tadi ya, bye!!!" serunya. Kali ini Lala benar-benar pergi. Sofia mengusap wajahnya menahan rasa malu, entah kenapa dia bisa seperti ini. Bahkan untuk menatap wajah Bima saja sekarang dia sangat malu. "Mau dilanjut lagi?" celetuk Bima
Setelah Oma dan Lala pergi, Bima kembali masuk ke ruangan Sofia. Ia melihat Sofia tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum saat Sofia meliriknya, dan terus berjalan lebih dekat. Meskipun Sofia tak membalas senyumannya sama sekali. "Kenapa perceraiannya dibatalkan?" tanya Sofia tiba-tiba, dia juga baru diberitahu oleh Rayhan bahwa Bima menarik semua berkas perceraian mereka. "Kita tidak mungkin bercerai kan?" tanya Bima. "Kenapa tidak?" "Sofia, ayolah. Kamu sedang hamil, aku mau anak itu punya kedua orang tua yang lengkap dan mendapatkan kasih sayang penuh," terang Bima. Kali ini Sofia hanya diam, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. "Sofia, kita besarkan anak ini sama-sama ya," mohon Bima. Sofia hanya menatapnya dalam diam, membuat Bima bingung. "Kita kembali ke rumah ya, rumah kita," kata Bima lagi, kali ini tangannya menggenggam tangan Sofia perlahan. Berharap Sofia setuju dengan keinginannya. Tapi sesaat kemudian Sofia pun melepaskan tang
"Sofia, aku hanya ingin minta maaf," ucap Bima lagi. Sofia masih berada di dunia lain setelah mendengar ucapan Bima. Entah itu benar atau tidak yang jelas kata-kata Bima terlalu mengejutkan. "Sofia, kamu jangan marah terus ya. Aku nggak kuat kalau jauhan terus sama kamu," katanya hati-hati sambil terus memperhatikan raut wajah Sofia, "Sofia, kita batalkan saja perceraian kita, ya," pinta Bima dengan memohon. Pintu kembali terbuka dan yang masuk adalah Oma dan Lala. "Hay," sapa Lala. Membuat Sofia pun segera tersadar lalu melihat Oma dan Lala yang masuk berjalan mendekatinya. "Kamu ngapain masih datang kesini?" sinis Oma. "Oma-" "Pergi sana!" usir Oma. "Tapi, Oma-" "Pergi!" Bima pun melirik Sofia, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya Bima berharap Sofia menahannya, tapi Sofia hanya diam saja. Sebenarnya Sofia masih bingung setelah mendengar kata 'l love you' dari Bima yang tiba-tiba, ucapan itu tertuju padanya atau tidak? "Gimana keadaan kamu sekarang? Maaf
"Oma," seru Sofia karena kesal Bima malah memeluknya. "Sini kamu!" Oma menarik telinga Bima hingga akhirnya perlahan melepaskan Sofia. "Oma, apasih, aku malu tau," katanya. "Kamu itu memang dasar ya! Berbuat sesuatu sesukamu saja. Lagian siapa yang minta kamu ada disini?" tanya Oma sambil bertolak pinggang. "Ya, Oma aku pergi," katanya sambil berjalan keluar demi bisa menghindari Oma. Tapi sekarang dia harus mencari keberadaan Aran, bagaimanapun pun Aran harus bertanggungjawab. Ia menuju kantor dan segera menuju ruangannya, sudah pasti Aran ada disana. Benar saja Aran tengah duduk didepan laptop, ia tampak sangat fokus. "Bos," sapa Aran setelah menyadari kedatangan Bima. Bima pun berjalan mendekatinya dan langsung menarik kerah kemejanya. "Kenapa kau membuatku sial hari ini?!" geramnya. "Santai dulu, Bos." Aran pun melepaskan tangan Bima dari kerah kemejanya, "kenapa anda marah-marah?" tanya Aran lagi. "Karena saranmu hampir saja Sofia celaka!" "Lalu, kenapa







