Share

2. Langganan

Menanggapi penjelasan yang cukup panjang lebar tersebut, Tria menatap Senja dalam-dalam.

Sepintas nada suara Senja bahkan terkesan sedikit kesal atas laporan para tetangga, padahal dengan begitu banyak bagian wajahnya yang membiru itulah yang pastinya telah menguatkan tekad para tetangga untuk berinisiatif melaporkan kejadian penganiayaan suaminya kepada pihak yang berwajib.

Tria sungguh tak habis pikir dengan jalan pikiran wanita dihadapannya.

Padahal sudah jelas-jelas semua yang dilakukan para tetangga merupakan bentuk kepedulian mereka. Sayangnya, orang yang dikhawatirkan justru tidak bisa melihat niat baik orang lain terhadap dirinya, bahkan terkesan tidak tau cara menyayangi dirinya sendiri.

"Lagian, laporan atas suami saya juga sudah dicabut, Pak."

Nada suara datar milik Senja seolah membuyarkan berbagai pemikiran Tria yang berkecamuk didalam benak, di saat sepasang mata elangnya terus terpatri pada seraut wajah mungil yang terbingkai hijab dengan begitu apik.

Wanita itu bahkan kembali berucap, padahal Tria belum sempat menanggapi kalimat pertamanya.

"Jadi Pak Komandan, apakah bisa saya pulang sekarang?"

Tria terus menatap Senja dengan tatapan yang dalam, sedangkan Beno yang sejak awal sudah mendengar permintaan yang entah untuk kesekian kalinya itu, balik menatap Tria ragu seolah meminta pertimbangan.

"Ben ..." panggil Tria yang kemudian memalingkan tatapannya dari sepasang bola mata indah bak mengandung magnet aneh, sehingga membuatnya sempat merasa terhanyut dan tidak ingin berpaling.

Helaan napas berat Tria terdengar berat sebelum akhirnya ia mengangkat alisnya sedikit, menandakan agar saat ini Beno ikut saja dengan kemauan wanita keras kepala dihadapan mereka.

"Sejujurnya saya sangat berharap, bahwa setidaknya ibu mau memberikan sedikit saja efek jera agar suami ibu tidak lagi melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga. Tapi apa boleh buat jika ibu justru tidak sepemikiran ..." ungkapan hati Beno bahkan mengandung kekecewaan.

"Maafkan saya, Pak, tapi sungguh, terlepas dari keinginan saya untuk tidak mengumbar aib rumah tangga, saat ini saya juga merasa sedang tidak enak badan. Rasanya terlalu lelah jika harus menjalani semua ini lebih lama. Jauh didalam lubuk hati, saya juga berharap suami saya mau berubah menjadi lebih baik, tapi sekali lagi maaf, Pak, karena saya lebih memilih jalur langit untuk memperjuangkan semua keinginan saya ..."

Tria tercenung mendengar lirih kalimat Senja, Beno pun demikian.

"Yah ... Baiklah kalau begitu. Sepertinya ibu memang perlu banyak beristirahat. Silahkan ..." jawab Tria lagi masih dengan berat hati, namun tak bisa dipungkiri jika ia juga iba mendapati wajah pucat milik Senja.

"Terima kasih atas pengertiannya, Pak Komandan."

Mendengar persetujuan tersebut, Senja terlihat langsung bangkit dari duduknya.

"Kalau begitu saya permisi pulang, Pak Komandan ..."

"Iya, Bu, silahkan ..."

"Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam ..."

Salam tersebut telah dijawab oleh Beno dan Tria dengan berbarengan, sementara Senja langsung melangkahkan kaki meninggalkan ruang SPK tanpa membuang waktu lebih lama.

"Padahal semua orang sangat bersimpati, tapi sikapnya malah keras kepala begitu ..."

Suara lirih penuh penyesalan milik Beno terdengar menyeruak keheningan.

"Ben ..."

"Siap, Ndan?"

"Siapa sih wanita itu?" usut Tria yang tak lagi mampu menepis rasa penasarannya lebih lama, sembari menatap Beno lewat sepasang mata elangnya.

"Pelangi Senja ..."

Alis Tria sontak mengkerut mendengar ucapan Beno yang terucap lirih dengan nada bak lantunan sepenggal bait dari seorang pujangga.

"Pelangi Senja ...?" ulang Tria dengan raut wajah bingung. "Kamu ini gimana sih, Ben. Aku tuh nanya siapa nama wanita itu, kamu malah berpuisi ria ..."

Tawa kecil Beno sontak menyeruak tertahan atas ucapan Tria.

"Itu bukan puisi, Ndan. Tapi ibu-ibu tadi itu namanya memang Pelangi Senja, dan orang-orang memanggilnya Senja ..." seloroh Beno lagi, buru-buru menjelaskan.

Tria terlihat manggut-manggut, sebelum akhirnya kembali melontarkan tanya. "By the way, kok kamu kelihatannya kenal banget sama ibu Senja, Ben?" Usut Tria lagi.

"Gimana gak kenal, Ndan, orang langganan Polsek Beo terus ..."

"Langganan?"

"Siap, Ndan."

"Maksudnya?"

"Ya itu, Ndan, tiap kali cek-cok suaminya pasti bakal kdrt, dan kalo udah begitu tetangganya hanya bisa ngadu ke Polisi ..."

"Kenapa tetangganya gak nolong langsung?"

"Awalnya suka nolong langsung, Ndan, tapi karena suaminya ibu Senja selalu mengancam, mereka jadi segan dan mungkin takut juga, karena suami ibu Senja berasal dari keluarga yang cukup berpengaruh ..."

"Tapi sebagai sesama manusia kita juga perlu berempati, Ben. Jangan karena lelaki itu berasal dari keluarga terpandang trus dia bisa semena-mena, dan kita pun lupa akan sisi kemanusiaan. Iya kan, Ben?"

Beno buru-buru mengangguk tanda setuju, tapi detik berikutnya ia kembali berucap separuh berkeluh.

"Tapi susah juga sih, Ndan. Lah sikap ibu Senja juga begitu ..."

"Begitu gimana maksud kamu?"

"Ya begitu, Ndan. Selalu menolak untuk ditolong dengan alasan gak mau urusan rumah tangganya jadi urusan orang lain. Kalo udah begitu kan tetangganya juga jadi dilemma. Mau nolong, yang ditolong malah gak mau ditolong, mau dibiarin takutnya kenapa-napa. Makanya satu-satunya jalan yang diambil, yah panggil aparat ..."

Tria menggelengkan kepalanya berkali-kali usai menyimak penjelasan akhir Beno yang super duper komplit.

"Intinya kejadian kayak gitu udah sering terjadi dong ..."

Beno mengangguk. "Begitulah, Ndan."

"Ck, ck, ck," Tria berdecak, masih tak habis pikir dengan jalan pikiran seorang wanita seperti Senja.

Tapi kalau dipikir-pikir, kenyataannya dewasa ini hal serupa memang begitu sering terjadi dikalangan masyarakat pada umumnya, dan kaum wanita selalu menjadi sasaran empuknya ...

💕

(Sepenggal kisah tentang Senja).

Wanita itu adalah Pelangi Senja, sehari-harinya orang-orang memanggilnya Senja.

Senja adalah wanita berumur dua puluh lima tahun yang selangkah lagi akan menyandang status janda, dan oleh karena itulah ia merasa dirinya adalah wanita yang paling tidak beruntung di dunia.

Jalan hidup Senja tak pernah mulus, selalu dipenuhi kerikil tajam dan kepahitan dimana-mana.

Bagaimana tidak ...?

Senja adalah seorang anak semata wayang yang sejak umur delapan tahun, telah kehilangan kasih sayang seorang ibu.

Andita, wanita mulia yang telah melahirkan Senja ke dunia yang fana ini meninggal dunia dalam sebuah tragedi kebakaran besar yang terjadi di sebuah pasar tradisional, saat ia sedang mengais rejeki dengan berjualan kue didepan sebuah lapak sandal milik sepasang suami istri lanjut usia yang baik hati.

Saat kebakaran itu terjadi, dikarenakan niat hati yang tulus ingin menolong sepasang suami istri lanjut usia tersebut dari kobaran api yang mulai membesar, entah bagaimana ceritanya pada akhirnya justru Andita-lah yang malah terperangkap amukan si jago merah.

Setelah tragedy tersebut, dengan diliputi duka yang mendalam, akhirnya Senja tetap berusaha menjalani hidup selanjutnya, hanya berdua dengan Satya, ayahnya yang mulai sakit-sakitan ...

Dua bulan berlalu dalam kepedihan akibat duka yang mendalam karena sebuah kehilangan, sampailah mereka di suatu sore di mana mereka telah kedatangan tiga orang tamu ...

To be Continued.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status