Share

Janda Kembang
Janda Kembang
Penulis: madamkey

Awal Perceraian ...

"Kamu ini nggak bisa kasih aku keturunan! Mamaku juga mau punya cucu kayak teman-teman mama yang lain!" bentak Wira dengan kilatan emosi yang terpancar di matanya.

"Mas, kamu kan tahu kalau aku nggak bisa kasih anak buat kamu dan juga cucu buat mama, kita bisa cari cara lain, kita adopsi anak. Tapi, kenapa kamu malah selingkuh sama perempuan lain, Mas?" kata Thalisa dengan mata yang mulai memerah ingin menangis.

"Terus sekarang kamu salahin aku kalau aku berhubungan dengan wanita lain?! Kamu yang mandul, kenapa aku yang disalahin, aku cuma mau anak dari darah daging aku sendiri, bukan hasil adopsi anak orang lain yang ada di panti asuhan! Ngerti kamu?!" sambungnya dengan kedua tangan yang sudah bertengger di pinggang.

Siapa yang tidak sakit hati mendengar perkataan suami yang selama ini sangat dicintainya? Melihat suami berselingkuh dengan wanita lain dan berniat menjadikannya istri. Tentu saja Thalisa tidak terima, ia bukan perempuan bodoh dan lemah yang bisa dipermainkan begitu saja.

Ini memang menyakitkan bagi Thalisa tetapi, ia juga harus bisa menerima kekurangan yang menjadi alasan Wira untuk berselingkuh.

"Aku nggak bisa memberikan kamu keturunan, dan kamu juga nggak bisa menerima aku apa adanya, untuk apa rumah tangga ini dipertahankan?!" bentak Thalisa. Ia langsung pergi menuju kamar dan membanting pintu dengan sangat keras.

Thalisa membereskan baju-baju dan memasukkannya ke dalam koper sambil menangis pilu. Ia ingin pergi saja dari rumah ini, ia sudah tidak sanggup bertahan dengan suami yang tidak bisa menghargai keberadaannya sebagai istri. Bukankah sewaktu memulai pernikahan, Wira sudah berjanji di hadapan Tuhan dan di depan banyak orang bahwa ia akan menerima semua kekurangan, kesedihan dan kesenangan Thalisa? Memang lelaki tidak bisa dipercaya sekali pun sudah terikat janji oleh yang Maha Kuasa.

Ia keluar dari kamar dengan mendorong dua koper dan satu tas jinjing yang diletakan di atas salah satu kopernya yang berwarna merah. Hatinya sangat hancur, ia ingin mengadu pada kedua orang tuanya yang berada di kampung namun, Thalisa sadar ia tidak akan bisa melakukan hal itu.

Wira yang melihat Thalisa membawa banyak barang-barang hanya diam saja, ia tidak berbicara satu kata pun atau sekedar melarang Thalisa untuk pergi dari rumah. Seperti itukah sifat laki-laki? Sudah bersalah, mencari pembelaan dan tidak ada rasa penyesalan karena sudah menyakiti hati wanitanya dihari ulang tahun pernikahan mereka.

Thalisa sudah tidak peduli lagi dengan Wira, ia langsung berjalan cepat dan keluar dari rumahnya, memberhentikan taksi yang melintas di depannya, lalu Thalia menaiki taksi itu sambil mengusap kedua pipinya yang masih basah karena air mata.

"Maaf, Bu, tujuannya mau kemana, ya?" tanya sopir taksi tersebut seraya memalingkan kaca spionnya ke arah belakang tempat Thalisa duduk.

"Kita jalan aja dulu, Pak, nanti di perjalanan saya kasih tahu arahnya," jawab Thalisa dengan suara yang serak. Sopir taksi itu pun mengangguk paham dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

***

Sampailah Thalisa di tempat tujuan, rumah yang dulu pernah ditempati oleh dirinya dan juga orang tuanya saat Thalisa ingin menikah. Tidak ada siapapun di sana, karena orang tua Thalisa sudah kembali ke kampung halaman untuk mengurus sawah-sawah yang menjadi milik keluarga mereka.

Thalisa memasuki rumah tersebut, membuka pintu dengan tangan yang gemetar karena perasaannya saat ini sudah hancur berkeping-keping. Ia ingin mengadu namun, ia tidak sanggup membuat orang tuanya turut bersedih atas nasibnya saat ini.

Selama ini Thalisa selalu menutupi bahwa rumah tangganya baik-baik saja bersama Wira, dan menutupi kenyataan kepada orang tuanya bahwa ia juga tidak bisa memiliki keturunan. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya orang tua Thalisa jika mengetahui semua permasalahannya.

Ia meletakkan kopernya di ambang pintu kamar, berjalan menghampiri tempat tidur yang sangat ia rindukan. Ia berbaring mendekap guling yang berada di dekatnya, Thalisa kembali menangis, begitu lirih hingga siapapun yang mendengarnya pasti akan ikut terbawa suasana kesedihan yang dialami oleh Thalisa.

"Haruskah berakhir seperti ini, Tuhan? Aku tidak sanggup, apa kata keluargaku nanti? Pasti mereka akan malu memiliki anak yang ditinggalkan suami karena tidak bisa memberikan keturunan," lirihnya dengan isakan tangis yang mengiringi kesedihannya.

Saat Thalisa sedang bercengkerama dengan tangisannya, tiba-tiba saja suara dering teleponnya berbunyi. Menampilkan nama sang ibu mertua di sana, buru-buru Thalisa mengusap air mata dan mengambil ponsel yang ia letakkan tepat di sampingnya. Dengan mempersiapkan telinga yang kebal, ia menggeser ikon berwarna hijau itu dan langsung menempelkan teleponnya ke telinga.

"Halo, Thalisa!" teriak Mama Windy sang ibu mertua. Saat mendengar Mama Windy berteriak Thalisa pun langsung menjauhkan teleponnya dari telinga. "Kamu dengar nggak sih?!" lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat kesal.

"Iya, Ma, Thalisa dengar, ada apa?" sahut Thalisa dengan suara yang pelan.

"Ada apa kamu bilang? Hei! Kamu itu sudah pergi dari rumah dua jam yang lalu, kenapa kamu belum pulang?" Mama Windy diam sejenak menunggu jawaban dari Thalisa namun, Thalisa hanya diam saja membiarkan Mama Windy untuk meluapkan emosinya.

"Suami ditelantarkan begitu aja, memangnya kamu mau kalau suami kamu diurusin sama perempuan lain?" sambung Mama Windy dengan nada suara yang menyindir, Thalisa tahu jika mama mertuanya itu tidak menyukai Thalisa karena belum bisa memberikannya cucu. Dan Thalisa pun tahu, bahwa Mama Windy lah yang menyuruh Wira untuk mencari perempuan lain.

"Ma, aku nggak akan pulang malam ini. Wira juga udah-" belum selesai Thalisa bicara namun, sudah disela oleh Mama Windy.

"Kamu itu istri nggak tahu diri, ya! Nggak tahu diuntung! Kamu itu sudah diurusin sama anak saya supaya jadi orang kaya! Pantaslah kalau Wira itu mencari perempuan lain! Punya istri pun nggak bisa mengurus suami, kasih anak aja nggak bisa! Dasar mandul!" Mama Windy langsung menutup telepon sepihak dengan wajah yang memerah padam, ia sudah naik pitam melihat kelakuan Thalisa yang tidak bisa mengurus anaknya dengan baik menurut versi dirinya.

Helaan napas keluar begitu saja bersamaan dengan air mata yang langsung mengalir tanpa diperintah, Thalisa sakit hati dengan semua ucapan mama mertua yang selama ini selalu ia hormati keberadaannya. Apakah pantas Thalisa menerima hinaan seperti itu dari ibu yang telah melahirkan suaminya?

Thalisa kembali menangis meraung-raung meratapi nasibnya, kesedihan terus saja menggerogoti hatinya yang rapuh. Thalisa tidak bisa diam begitu saja harga dirinya diinjak-injak dan dipermainkan.

***

"Wira, kamu itu gimana, sih, punya istri keluyuran kok didiamkan saja," gerutu Mama Windy yang sedang duduk di sofa seraya menangkupkan kedua tangannya di atas lutut.

"Aku udah nggak peduli, Ma, Thalisa mau ngapain di luar sana. Pokoknya dalam waktu dekat ini aku juga akan menceraikan Thalisa, dan menikah dengan Sofia," jelas Wira dengan tatapan yang mengarah pada ponsel yang sedang dipegangnya.

"Kamu sudah bawa Sofia periksa ke rumah sakit belum? Pokoknya kalau kalian sudah menikah, cepat-cepat buatin Mama cucu. Jangan kayak Thalisa, mandul nggak bilang-bilang sama Mama dari awal."

"Semuanya sudah beres, Mama nggak perlu takut, Wira pasti buatin cucu untuk Mama, dua sekaligus kalau bisa, hehehe," kelakar Wira yang dibalas senyum kepuasan oleh Mama Windy.

***

Semoga kalian suka dengan karya Madam, ya. Happy Reading❤

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Widya Alice
Dasar laki2 B******k
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status