Share

03. Dimintai Pertanggungjawaban

Tara mengembuskan napas lelah. Akhirnya acara penutupan yang berisikan serangkaian kalimat terimakasih telah usai. Cell yang sedari tadi duduk di sampingnya sudah menguap, ingin kembali ke kamarnya. Namun mereka belum bisa benar-benar pergi sebelum berfoto bersama. Seperti manusia tanpa nyawa, keduanya berjalan lemas ke depan podium seperti yang lain.

"Akhirnya selesai," gumam Cell yang diangguki oleh Tara.

Keduanya keluar dari ballroom paling belakang, mengingat yang lain sedang keluar dengan heboh, sebab diberi waktu luang berjalan-jalan sampai malam ini saja. Tara memandang gerombolan tersebut dengan malas. Seharusnya dia ikut, tetapi suasana hatinya sedang tidak baik.

"Tar, ternyata mukamu juga nggak kalah kusut dariku." Cetus Cell. "Gimana perkembangan hubunganmu sama laki-laki yang namanya Yohan itu?"

Tara termenung selama beberapa saat. "Udah berakhir, Cell. Ternyata, dia terobsesi sama sahabatku, tapi saking bodohnya malah memilih buat mengakhiri dirinya gara-gara tau sahabatku hamil dan nggak mau melihat kebahagiaan yang ada saat anak itu tumbuh."

Cell terperangah. "Bisa kayak gitu? Astaga, kenapa percintaanmu sejak cerai nggak ada yang bener sih, Tar? Aku turut prihatin."

"Turut prihatin, tapi kenapa kamu malah meringis kayak gitu?" Tara mendecih. "Udahlah, lagian aku juga nggak terlalu nyambung sama dia, ya kayaknya memang disengaja sih. Dia nggak mau membuka diri sama aku, dan kupikir; oh, bukan laki-laki yang cocok buatku."

"Terus, laki-laki yang cocok buatmu kayak gimana?"

"Kayak Mingyu Seventeen."

"Aduh! Jangan menghalu deh, Tara! Udah diawali sambutan dari pimpinan tadi, jangan kamu juga menambah kepusinganku!"

Tara terkikik geli, sementara keduanya melangkah keluar ballroom.

"Hush! Suit! Suit!"

Baik Tara maupun Cell terperanjat. Suara itu berasal dari sisi barat ballroom yang menuju ke lorong lain. Betapa terkejutnya Tara saat mendapati pemuda yang sangat dihindari malah memberhentikan dirinya, di antara banyak orang pula. Tara membulatkan mata, mengedar pandang untuk memastikan jika tak ada yang melihat keberadaan Noah saat ini.

Noah melayangkan tatapan tajam. Ditilik dari ekspresi yang memayungi wajah pemuda tampan itu, sepertinya Noah baru saja mengalami sesuatu yang menyulut kekesalan. Tara menelan ludahnya susah payah. Seharusnya dia tidak perlu takut kan? Tapi kenapa seolah dia ingin melarikan diri dari jangkauan pemuda itu sekarang juga?

"Mbak Tara? Bisa minta waktunya sebentar?"

Tara memejamkan mata sejenak. Gawat! Noah sudah mengetahui namanya, dan itu bukan pertanda bagus. Dia tak ingin berurusan dengan Noah. Semoga saja pemuda itu hanya akan berbicara sekilas dan meminta maaf mengenai insiden salah kamar yang terjadi pagi tadi.

Cell menatap keduanya dengan dahi berkerut. Tak bisa ditampik, dia cukup penasaran. Serta dari yang Cell ketahui, selama ini pekerjaan Tara tak pernah bersinggungan dengan aktor maupun aktris dari Hacer.

"Eh, mau ke mana, Tara?" cegah Cell, yang sebenarnya ingin sekali diajak.

"Duh! Nanti aku jelaskan deh, Cell. Tapi mohon maaf, untuk sekarang aku harus ngomong sama bocil ini dulu." Gumam Tara setengah berbisik, tapi Noah mendengarnya.

"Saya bukan bocil, Mbak Tara!"

"Terserahlah! Ayo cepetan! Mau minta waktu saya buat apa? Buat bicara masalah tadi pagi?" Tara menarik lengan Noah hingga ke sudut lain lorong yang menuju lift. Tetapi setelah berhenti, justru giliran Noah yang menarik tangannya. "Eh? Kenapa tarik tangan saya segala? Mau ke mana ini?"

Noah menekan tombol 7, lantas menoleh dengan emosi yang masih menguasai. "Ke kamarnya Mbak Tara."

"Ha? Buat apa?"

"Lebih baik dibicarakan di sana! Soalnya, ada Pak Heru di lantai tempat kamar saya berada."

Tara mengatupkan bibirnya. Entah apa yang akan dibicarakan oleh Noah. Demi kenyamanan bersama, untuk saat ini dia hanya bisa menurut. Begitu tiba di lantai 7, sesegera saja wanita itu membuka kamarnya. Keduanya masuk, dengan Noah yang sempat memastikan keadaan sekitar.

"Jadi, ada apa? Bukannya malah gawat ya kalau ke sini? Foto yang kesebar tadi pagi aja kan latarnya di sini." Sahut Tara, tidak mau berlama-lama bersama dengan Noah.

Noah menutup pintu rapat-rapat. Sesaat, pemuda itu tertunduk. Tara menanti dalam diam, mengerjapkan matanya berulangkali saat menyadari Noah tak bergerak sedikit pun.

"Ini a—WEHHH MAU NGAPAIN?!!"

Tiba-tiba saja, Noah merangsek maju. Mendekatkan wajahnya dengan wajah Tara. Lantaran tak ingin terlalu dekat, Tara terus mundur sehingga punggungnya bertemu dengan dinding. Tara membulatkan mata tak percaya. Mau apa aktor muda yang banyak gaya ini?

"Tanggung jawab!"

Rahang Noah mengeras. Tara tak memahaminya, wanita itu mengernyit meskipun masih dalam posisi yang terlampau dekat. Jika ada sesuatu yang menyenggolnya, bisa dipastikan Tara akan jatuh ke pelukan Noah—duh! Jangan sampai!

"Tanggung jawab apa? Dalam hal apa?" bingung wanita itu.

Noah mengepalkan tangannya. Meninju udara di sekelilingnya sementara Tara masih tak mengerti maksud dari seruan Noah tadi. Baru saja hendak bertanya lagi, Noah menarik Tara. Menjatuhkan tubuh wanita itu di atas ranjang hotel.

"Eh? Ini ada apa sih? Kamu mau apa, Noah?!"

Noah bersedekap, menatap nyalang. "Lakukan!"

"Lakukan apa?! Saya bukan peramal, Noah! Saya mana tau apa kemauan kamu kalau nggak bilang apa-apa ke saya?" teriak Tara frustasi.

Mendengus kesal, Noah melepas ritsleting celana jeans-nya. Tara membelalak. "Lho! Kamu mau apa?!"

"Berdirikan!"

"Apanya? Kamu sudah berdiri gitu kok!"

Noah menggelengkan kepala. "Bukan saya, tapi masa depan saya yang sudah kamu hancurkan pagi ini."

Butuh beberapa detik bagi Tara untuk mencerna perkataan Noah. Namun tidak kurang dari dua menit, Tara menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan sepasang mata bulatnya tertuju pada pusat tubuh Noah.

"Eh?" Tara cepat-cepat membuang muka. Jadi, yang diperintahkan Noah untuk diberdirikan itu bukan Noah, tapi 'aset' berharga pemuda itu?

"Kenapa kamu malah nyuruh saya? Saya bukan wanita panggilan ya, Noah! Kalau kamu mau minta 'diberdirikan', sebagai pertanggungjawaban, saya akan memanggilkan wanita panggilan. Saya akan cari yang sesuai selera kamu." Gumam Tara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

"Kamu pikir saya ke sini karena saya belum mencobanya?" celetukan Noah mengundang simpati yang tak dapat Tara jabarkan. Melihat iba yang menghinggapi wajah Tara, Noah malah bertambah kesal. "Pokoknya kamu harus tanggungjawab! Kamu yang mengakibatkan 'tongkat' saya jadi seperti ini. Kamu harus membuatnya berdiri seperti sedia kala!"

"Astaga! Kan saya sudah bilang, saya bakalan mencarikan wanita panggilan untuk melakukan tugas yang satu itu, Noah! Saya mana bisa!"

"Bisa!"

"Lho! Kok maksa?!"

Noah memajukan tubuhnya secepat kilat, dan tau-tau saja sudah berada di atas Tara. Tara berusaha memberontak. Tetapi biarpun dia lebih tua dari Noah, tenaganya tidak sama besar.

"Kamu bisa!"

"Saya nggak bisa!" Elak Tara.

Noah menampilkan seringai menyebalkan yang sangat dibenci oleh Tara hanya dengan melihat akting pemuda itu di televisi. Ternyata jika dilihat secara langsung begini, wajah Noah makin menyebalkan.

"Noah! Jangan bertindak bo—"

Tara membeku. Dia merasakan sesuatu sedang menusuk pusat tubuhnya di bawah sana. Ketika dilihat, wanita itu refleks menjerit.

"AAAA!!! ITU KENAPA BERDIRI DI SINI???!!!"

•••••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status