"Apa-apaan?!"
Seolah tak kasat mata, Radu dan Tara tak menggubris keberadaan Noah sama sekali. Justru keduanya sibuk bercakap-cakap, mengabaikan Noah yang berdiri terkejut di tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih untuk yang ketiga kali pada Radu, Tara melirik Noah. Tatapan wanita itu jelas merupakan sebuah tatapan permusuhan.Noah bergeming. Kenapa jadi dirinya yang takut ditatap seperti itu oleh Tara? Tak lama setelahnya, pintu kamar Tara tertutup. Kini menyisakan Radu yang senyam-senyum sendiri sambil menggaruk kepalanya, dan Noah yang melayangkan sebuah tanda tanya."Bang? Kamu kenal sama dia? Si Tara?" tanya Noah menyelidik.Radu menoleh sekilas, mengendikkan bahu sekadarnya seakan menjawab Noah tidak memberinya keuntungan apa pun. Mungkin pemuda itu adalah aktor yang berada dalam pegangannya, namun Radu tak memiliki kewajiban untuk melapor terkait siapa saja yang dikenalinya."Bang? Gimana bisa kamu kenal sama Tara? Omong-omong, aku mau tanya sesuatu soal wanita itu, Abang bersedia menjawab?"Mendapat pertanyaan semacam itu, fokus Radu pun teralihkan. "Ngapain kamu bertanya soal Tara? Jangan ganggu dia, Noah! Dia bukan salah satu penggemarmu, dia cuma mau hidup normal dan bekerja sesuai keinginannya.""Astaga, Bang." Noah menepuk keningnya. "Jadi kamu benar-benar kenal dekat sama Tara? Tapi kenapa cuma ngasih tau namanya aja? Nggak sekalian sama biodata lengkapnya?"Radu berjengit heran. "Maumu apa sih, Noah? Kenapa mendadak jadi bahas Tara begini? Urusanmu sama wanita panggilan tadi udah selesai kan? Kalau begitu, Abang mohon, cepatlah kembali ke kamar dan beristirahat sampai besok pagi. Untuk malam ini, nggak menerima kekacauan sama sekali, oke!""Bang!" Seru Noah setengah kesal. "Bang Radu sepertinya harus tau apa yang sebenarnya aku alami semalam."Dahi Radu berkerut bingung. Tumben pemuda berandal yang satu itu mau memberitahukan sesuatu. Merasa keduanya harus berbicara di ruangan yang lebih tertutup, Radu pun mengikuti Noah menuju kamarnya di lantai 9. Begitu tiba di sana, Noah mengucapkan sesuatu yang membuat Radu terkejut bukan main."Bang, foto yang tersebar sama paparazzi pagi tadi itu adalah fotoku yang keluar dari kamarnya Tara. Dan yap—semalam aku salah kamar, kamar yang aku tiduri adalah kamarnya Tara."Radu mendekat secepat kilat, lantas mencengkeram kerah kaus Noah. "Bicara apa kamu?! Jangan mengada-ngada ya, Noah!""Bang, apa aku kelihatan sebercanda itu di matanya Bang Radu?" timpal Noah dengan raut bersungguh-sungguh yang mampu Radu kenali. Perlahan-lahan, cengkeraman Radu mengendur. Laki-laki itu sedang mencerna, bagaimana bisa Noah menyasar ke kamar Tara semalam."Bagaimana bisa, Noah? Apa yang sebenarnya kamu lakukan sampai kamu bisa ada di kamarnya semalam?" tanya Radu."Ya mana aku tau, Bang! Malah nih ya, tau apa yang udah dilakukan sama Tara pagi tadi? Dia nendang aset berhargaku, Bang. Efeknya, tongkatku nggak bisa berdiri sama sekali, padahal wanita panggilan tadi bener-bener tipeku dan seksinya kebangetan. Astaga! Itu gara-gara Tara yang seenaknya nendang aku!"Radu melongo. Manik matanya bergulir pelan menuju pusat tubuh Noah. Ditatap begitu, Noah jadi malu sendiri. "Bang, kalau ngelihat ya jangan sampai segitunyalah!"Cepat-cepat menggeleng, Radu berdeham. "Ma-maaf. Habisnya, aku nggak percaya kalau aset yang kamu bangga-banggakan itu malah kena gangguan kayak gitu. Apa sih namanya? Malfungsi—ya itu!""Astaga, Bang! Jangan diperjelas dong!" Gerutu Noah. "Intinya, aku mau minta pertanggungjawaban sama wanita yang namanya Tara itu."Radu melotot. "Ha? Tanggungjawab gimana? Kenapa dia harus bertanggungjawab? Kan yang salah kamu, karena masuk kamarnya sembarangan. Kamu marah gara-gara anumu ditendang? Ya itu kan salah kamu, Noah! Kenapa malah bawa-bawa Tara segala?"Noah mendengus kesal. Pemuda itu menarik napas sebentar sebelum menjelaskan teorinya perkara salah kamar semalam. Mendengarnya, Radu mulai memikirkan kemungkinan lain. Masalahnya, tidak mungkin Tara yang dikenalnya hendak menjebak Noah. Kenal saja tidak, buat apa menjebak sesuatu yang tak membuahkan hasil menguntungkan."Noah, sepertinya urusan ini mulai serius deh." Kata Radu. "Ada seseorang yang mau menjebak kamu dan Tara. Entah siapa itu, yang pasti orang dalam, salah satu staf Hacer."Noah mengendikkan bahu acuh tak acuh. "Kalau teorimu begitu ya sudahlah, Bang. Yang jelas, aku nggak percaya sama wanita itu. Oh! Terus tadi Bang Radu ngapain itu? Ngasih dia bolu? Bang? Kamu naksir sama Tara?""Bu-bukan naksir, Noah." Gugup Radu.Noah tak percaya."Itu titipan dari temannya yang ada di bagian penata rias. Kebetulan tadi ketemu di bawah dan minta bantuanku buat mengantarkan bolu itu karena si penata rias itu dapat panggilan mendadak." Kilah Radu, yang masih terlihat mencurigakan di mata Noah."Terserahlah, Bang. Pokoknya, aku akan terus menyerbu wanita itu sampai mau bertanggungjawab!" Cetus Noah penuh penekanan. Tak ada sedikit pun keraguan dalam nada bicara pemuda itu.Radu hendak melayangkan protes, namun ditahan oleh Noah yang kembali menggerutu soal masa depannya yang terganggu. Merasa tak ada kesempatan untuk mengutarakan suaranya, Radu pamit keluar. Biarlah Noah menyerocos di dalam kamarnya sampai berbusa. Lagi pula, Radu yakin bahwasanya bocah tengil itu tak cukup berani untuk berhadapan dengan Tara."Suka-suka dia ajalah!"•••••[ Udah meluncur ke kamarmu, Bro! Have fun yaa! ]Noah bersenandung ria setelah membaca pesan dari salah satu rekan sesama aktor yang memiliki hobi sama dengannya. Persetan dengan peringatan yang dilayangkan Radu, yang penting dia tetap berada di kamarnya kan? Tidak keluar ke mana-mana. Maka dia tak melanggar janjinya untuk keluar hotel sampai kepulangannya besok.Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk bersamaan dengan kode yang telah diberikan. Noah sudah melepas kausnya, menyambut kedatangan wanita panggilan yang dinanti-nanti sedari tadi. Sesuai harapan, wanita yang baru saja datang itu lebih seksi dari yang dipilihkan Radu siang tadi.Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Barbie. Noah terkekeh geli, meraih pinggang Barbie dan membisikkan sesuatu dengan sensual. "Barbie? Menurutku, kamu lebih seksi dari boneka mainan itu, Darling."Barbie menghadiahi ciuman atas ucapan Noah barusan. Keduanya berpangutan dengan tangan yang mulai menelusuri tubuh lawan main masing-masing. Akan tetapi, Barbie menghentikan permainannya ketika menyadari setitik kejanggalan dalam tahap yang ditempuhnya ini."Apakah aku kurang lihai? Kenapa punyamu nggak menegang sama sekali?"Hati Noah mencelus nyeri. Menunduk, dan benar saja—pemuda itu tak merasakan kepunyaannya menegang atau paling tidak menyapa Barbie. "Ck! Sial!"Secara tiba-tiba, Barbie merapikan pakaiannya. "Kamu impoten? Astaga, kenapa nggak bilang? Aku nggak terima pelanggan yang cacat kayak gitu."Tersinggung, Noah menyudutkan Barbie ke dinding dengan tatapan nyalang. "Bilang apa kamu barusan? Jangan sembarangan ya?!""Ma-maaf," Barbie membuang muka, memejamkan matanya. Lantaran geram luar biasa, Noah beranjak keluar mendului wanita panggilannya itu. Bodo amat perkara adakah paparazzi atau tidak, dia akan meluncur ke lantai 7 sekarang ini.Sampai di depan kamar 707, Noah mengetuk pintu tersebut seperti orang kesetanan, sehingga si pemilik lekas keluar dan membuka pintu."Sia—LHO! BOCIL NGAPAIN KE SINII???!!!!"Baru saja membuka pintu, mendadak Tara disuguhi Noah yang bertelanjang dada dengan amarah yang memuncak. Lalu pemuda itu mengarahkannya hingga berbaring di atas ranjang seperti tadi siang."Sial! Mau apa lagi ke sini?" Tara tak mau dirinya dilecehkan lagi. Maka usaha wanita itu bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. "Saya nggak akan ragu untuk melaporkan kamu ke Pak Heru sekarang ini.""Oh ya? Coba saja kalau bisa!""Minggir, Noah! Mau apa kamu?""Saya—" Noah menatap Tara selayaknya binatang buas yang siap menerkam. "—mau makan kamu."Dan di luar dugaan, kejantannya menyapa Tara detik itu juga.•••••"Eh?"Noah terpaku. Aset berharganya benar-benar berfungsi hanya terhadap Tara saja. Entah dia harus bersyukur atau tidak, namun pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Dipandanginya Tara yang mematung, membeliak di bawah kungkungannya. Selama beberapa detik, Noah memandangi sepasang iris kelam Tara yang berhasil menerjunkannya pada palung terdalam. Apa ini? Noah bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia masih betah mengamati wajah cantik Tara yang baru disadari.Dalam kesempatan tersebut, Tara langsung membenturkan kepalanya ke kepala Noah. Noah berteriak kesakitan, merasakan adanya bintang-bintang yang memutari kepalanya bagaikan ibu peri. Selagi menjauh, Tara langsung menyambar cutter yang entah didapat dari mana."Mau apa tadi? Makan? Iya? Sini! Biar tubuhmu saya mutilasi, saya kasihkan makan ikan. Sekalian saja, aset berharga yang kamu bangga-banggakan itu saya jadikan makanan tikus di rumah." Ancam Tara, lebih mengerikan ketimbang ancaman pada percobaan sebelumnya.Mendengar anc
Entah peran macam apa yang Tara sanggul dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak memahami mengapa takdir harus mempertemukannya dengan pemuda setengah waras yang isi otaknya hanya berupa kepuasan seksual saja. "Mau?"Tara menggeleng lelah. "Sepertinya kamu harus memeriksakan otakmu ke dokter dulu, Noah. Mau saya antarkan ke dokter terbaik yang ada di negara ini? Sekalian, biar besok saat pulang kamu bisa lebih waras dan nggak bikin susah satu agensi gara-gara tingkahmu ini."Senyum Noah meredup. "Masa kamu nggak tertarik sama saya sih, Tara? Saya Noah lho! Noah Alejandro yang jadi kejaran banyak perempuan di luar sana. Kamu nggak harus melakukan banyak hal, kamu cuma berperan sebagai Nona Pengaktif.""Wah! Makin kacau ternyata," Tara beranjak, menyingkirkan tangan kanan Noah yang dengan santai diletakkan pada pundaknya. Wanita muda itu menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Noah memandangi pergerakan Tara lamat-lamat, entah apa yang sedang pemuda tengik itu pikirkan, Tara tidak mau
"Noah?"Noah tersentak. Kehadiran seseorang yang berada di belakangnya itu membuatnya kelimpungan. "Malam, Bu." Sapanya sembari tersenyum hambar, berbalik dengan tangan menyatu di depan tubuhnya.Seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Bu Rosalie, istri dari Pak Heru—pemilik agensi, sekaligus bibi dari Noah yang selama ini selalu mengawasi pergerakan kemenakan menjengkelkannya itu. "Apa yang membawamu masuk ke kamar ini, Noah? Bukannya kamar kamu ada di lantai sembilan?""Ah, aku mampir ke kamarnya temannya Bang Radu, Tante. Kebetulan, dia punya komik Hunterxhunter sampai volume lengkap. Nah, makanya itu aku samperin dia, karena begitu balik besok, aku mau main ke rumahnya." Kilahnya.Noah meneguk ludahnya susah payah. Semoga wanita yang berada di hadapannya itu percaya. Selama ini, dia senantiasa kesulitan saat berusaha mengelabui Rosalie. Sebab hanya dengan memindai dirinya saja, wanita itu mampu mengenali adanya kebohongan atau tidak. Padahal Noah sudah menyembunyikan semua dus
Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w
"Tara ada di Alaska.""Ha? Alaska?"Wanita muda berambut lurus yang tampak lelah itu mengangguk. Dialah Cell PD, salah satu produser lagu ternama yang didapatkan oleh Hacer dengan berbagai cara. Sebelum bertemu dengan Cell untuk menanyakan keberadaan Tara, Noah sempat menghubungi manajernya. [ Nomornya Tara nggak bisa dihubungi, Noah. Coba kamu tanya sama temannya, Cell PD. Jam segini, dia ada di studio 3 yang ada di lantai 4. ]Defisini pekerja keras bahkan setelah penerbangan yang tidak sebentar, Noah berhasil menemukan Cell di salah satu studio yang dimaksud oleh Radu. Studio Cell jelas merupakan milik wanita muda itu seorang. Maka dari itu, isinya pun terlihat lebih berwarna. Pada setiap sudut studio tersebut, terdapat tanaman artifisial dengan berbagai warna mencolok yang membuat Noah pusing."Kenapa? Matamu sakit? Ya jangan lihat bayi-bayiku dong!" Sahut Cell tak ramah.Berhubung Noah baru saja masuk dan belum mengungkapkan pertanyaannya, maka pemuda itu memilih untuk bersabar
"Lari! Cepat!"Tara harus mendorong Noah agar pemuda itu tersadar dan meniti langkah seribu. Baru saja keluar dari kafe Alaska, terdapat segerombolan anak sekolah yang membawa seperangkat alat lukis. Tara terhenyak, dilepaskan jaket ungu muda yang dikenakannya untuk menutup wajah Noah."Weh! Apa-apaan!""Diam atau saya tendang lagi anumu, Noah!"Noah menurut. Keduanya langsung berlari berkeliling kota seperti berada dalam serial kartun Shinchan. Tentu saja yang menarik ialah Tara, sebab Noah sibuk menyembunyikan wajahnya di bawah naungan jaket milik wanita muda itu—sembari memastikan kedua matanya bisa melihat jalan.Setelah melalui beberapa belokan dan memasuki salah satu area perumahan yang dekat dari lokasi pertama berlari, keduanya baru merasa aman. Tara melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Noah, lantas mendudukkan diri di bawah pohon besar. Wanita muda itu menilik sekitar. Area perumahan yang disambanginya ini cukup sepi."Aman."Tara mengembuskan napas lega. Di
"Lihat apa?!"Noah memalingkan muka. Baru saja dia mendapati potensi terpendam dalam diri Tara, wanita muda itu malah menamparnya dengan sahutan dingin yang menyebalkan. "Cih! Percaya diri banget! Memangnya aku ngelihatin kamu? Tapi ... ternyata boleh juga ....""Apanya yang boleh juga?! Mau kulempar pakai heels?!" Ancam Tara sembari melepas salah satu heels-nya.Noah terlonjak, cepat-cepat berlindung di balik sofa yang sebelumnya diduduki. Kemudian menyadari bahwa beberapa karyawan melihat ke arahnya. Tara tidak jadi melemparkan heels yang sudah dilepas tadi. Wanita muda itu malah tertawa pelan, merayakan satu kemenangan—remeh—lagi.Berdeham, Noah merapikan jasnya. Berpura-pura mencari cermin. Salah satu karyawan datang dan menyodorkan sebuah cermin bundar. Setelahnya, pemuda itu menatap Tara dengan dagu terangkat tinggi."Jangan salah, Tara! Aku nggak melihat kamu untuk mengagumi kamu atau apa pun itu, aku cuma sadar kalau kamu nggak ada apa-apanya sama artis-artis kenalanku di luar
Menjelang pukul sepuluh malam, Tara merasakan kedua kakinya nyaris mati rasa. Terlalu lama berdiri dalam tumpuan heels setinggi sepuluh sentimeter, memang definisi merepotkan diri sendiri. Wanita muda itu mengambil segelas air mineral, lalu mendudukkan diri di sisi ruangan yang menyediakan beberapa sofa.Mata lentik Tara menyapu sepenjuru ballroom yang ramai dan saling bersahut-sahutan bagaikan latar suatu drama urban yang sedang ditontonnya. Dia tidak sabar untuk pulang dan merebahkan diri. Sekembali dari negeri tetangga, seharusnya dia mengistirahatkan diri di balik rumah kecilnya, menikmati malam dengan secangkir kopi sembari membaca buku. Atau barangkali langsung tertidur sampai keesokan harinya. Akan tetapi, gara-gara kebohongan menyebalkan yang diperbuat Noah, Tara masih harus menjelma sebagai manusia robot."Capek, Tara?"Tara memejamkan mata, enggan mendongak untuk mengetahui rupa si penanya. Dia sudah tau suara siapa itu. Yang jelas, lelahnya makin bertambah saat dia harus be