"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga