Pukul delapan tepat, Aira sudah berada di dalam ruangan Manggala. Hawa dingin begitu terasa, membuat wanita pemilik tubuh ramping itu tegang. Ditambah sorot mata Manggala yang tajam dan tak bersahabat.
"Hari ini aku ingin melihat secara langsung hasil jepretanmu," ujar Manggala datar. "Boleh, saya siap!" sahut Aira yakin seraya menunjuk ransel yang berisi peralatan fotografi. "Oke!" Manggala bangkit dari kursi kebesaran, kemudian mengarahkan Aira masuk ke lift. "Studio di lantai dua." Aira mengangguk, mengikuti langkah sang atasan yang juga mantan kekasihnya. Tanpa sadar, jika gerak laku dua orang itu mendapat perhatian tak biasa dari Helen, sang sekretaris. "Anda yang akan turun sendiri, Sir?" tanya Helen, setengah tak percaya. "Kenapa tidak?" jawab Manggala tanpa menoleh kepada Helen. Setibanya di lantai yang dituju, Manggala mengarahkan Aira ke sebuah ruangan bernuansa putih yang Aira ketahui sebagai studio. Suasana sibuk begitu terasa. Banyak kru berlalu lalang, sambil membawa properti masing-masing. Mereka lalu berhenti tiba-tiba saat menangkap keberadaan Manggala. "Mr. Naradipta?" sapa salah seorang kru berambut pirang, dalam bahasa Inggris. "Tumben Anda kemari?" "Aku membawakan kalian fotografer baru untuk pemotretan hari ini," jawab Manggala santai. "Oh, syukurlah. Kami benar-benar kekurangan personil saat ini," timpal kru itu lega. "Mari, silakan, Nona. Sebelah sini," ujarnya seraya menunjukkan arah pada Aira, sampai tiba di sebuah bilik kecil yang berada di sisi dalam ruangan studio. Sesampainya di bilik itu, Aira spontan berdecak kagum. Bagaimana tidak? Bilik itu ternyata dipenuhi oleh peralatan pemotretan lengkap dan canggih. Namun, kekaguman itu berakhir saat ekor matanya menangkap sebuah pintu lain dalam bilik itu terbuka. "A-anjing besar?" Aira melotot melihat penampakan hewan buas berbulu abu-abu. Meskipun binatang itu dilengkapi dengan penutup moncong dan tali pengaman yang dipegang oleh pawang, tapi tetap saja tubuh gadis cantik itu gemetar ketakutan. "Itu serigala abu-abu, atau Grey Wolf. Kebun binatang Brisbane menerbangkannya dari Minnesota, USA untuk dikembangbiakkan di sini," jelas Manggala. "Beruntung majalah kita, Nature Perfect, mendapat kehormatan untuk mengabadikan sang serigala dalam jepretan kamera, sebelum dimasukkan ke kawasan konservasi," lanjutnya. "Ta-tapi ... saya ...." Tenggorokan Aira seolah tercekat, hingga tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Kamu pasti sudah tahu bukan, kalau media yang kupimpin ini khusus memberitakan tentang alam, keanekaragaman fauna dan semua hal yang berkaitan dengannya? Kami bahkan memiliki channel televisi sendiri," jelas Manggala. "Te-tentu saja. Tapi ... itu ...." Raut wajah Aira mendadak pias. Sementara Manggala hanya tersenyum sinis. Sebenarnya, dia mengetahui dengan jelas jika mantan kekasihnya itu memiliki ketakutan berlebih, atau trauma terhadap anjing dan segala spesies yang memiliki bentuk dan kemiripan dengannya. "Apa anda baik-baik saja, Nona?" tanya kru yang mengantarkan Aira tadi. "Sa-saya takut anjing. Dulu waktu masih menjadi mahasiswa, saya pernah dikejar dan digigit," ungkap Aira sambil menggigit bibir. "Itu urusan pribadimu, Aira," tegur Manggala tak berperasaan. "Kuharap kamu bisa bersikap profesional. Ingat, kesempatan untuk bekerja di sini tidak datang dua kali," tegasnya mengingatkan. "A-aku tahu," sahut Aira meskipun jemarinya gemetaran ketika mengeluarkan kamera DSLR-nya dari dalam ransel. Dengan merapalkan mantra dalam hati, dia menyiapkan segala peralatannya. Beruntung, pawang yang bertugas menjaga serigala itu, memahami ketakutan Aira. "Tenang saja, Nona. Ada saya yang menjaga hewan ini. Saya pastikan semua akan aman dan baik-baik saja," jelas si pawang menenangkan. Manggala melihat jelas gerak tubuh Aira yang ketakutan saat itu. Namun, dia memilih untuk tidak peduli. "Baiklah. Apa kita bisa memulai sekarang? Dan ... penutup moncongnya, mungkin bisa Anda lepaskan sekarang," suruh Aira. "Tentu." Pawang itu melaksanakan perintah Aira. Dia melepaskan tali pengekang dan penutup moncong, lalu mundur beberapa langkah, menjauh dari jangkauan kamera Aira. Sementara kru studio langsung memposisikan diri sebagai asisten fotografer. Dia menyiapkan penataan lampu dan latar, serta menata properti. Aira memejamkan mata sejenak. Mengatur degup jantungnya yang tak beraturan, kemudian kembali fokus pada obyek fotonya kali ini. "Tenang, Aira. Kamu pasti bisa," gumamnya sebelum membidik sang serigala. Aira patut bersyukur, sebab hewan itu tampak tenang. Hanya sesekali sang serigala menggeram sambil menggerak-gerakkan kaki depan. Setelahnya, hewan besar berbulu abu-abu itu bertingkah kalem, bahkan duduk di meja properti tanpa disuruh. Setelah puluhan kali jepretan tanpa blitz, Aira mengakhiri sesinya dengan napas lega. "Ya, bagus sekali. Luar biasa." Manggala bertepuk tangan, tanpa merasa bersalah sama sekali. Sedangkan Aira hanya bisa mengelus dada. 'Begini amat mencari kerja', batinnya. Akan tetapi, kelegaan itu tak berlangsung lama. Serigala itu tiba-tiba melompat dari meja, seolah hendak menerkam Aira. "Aarrgh!" pekik Aira spontan. Sang pawang pun sigap meraih serigala, lalu memegang dan mengusap punggungnya. Setelah hewan itu bersikap sedikit tenang, pawang tersebung segera mengalungkan tali pengaman dan memasang penutup moncong. "Tidak apa-apa, Nona. Dia tidak bermaksud menyerang Anda. Serigala ini hanya ingin berkenalan," kelakar sang pawang untuk menenangkan Aira. "A-apa?" Aira meremas dada erat-erat. Tatapannya mendadak kosong. Separuh jiwanya seakan melayang entah ke mana. Tanpa sadar, tubuh ramping itu merosot lalu terduduk di lantai. "Hei, Aira! Kamu tidak apa-apa?" Tak dapat dipungkiri, Manggala kini merasakan khawatir saat melihat paras cantik itu memucat. "Biar kuambilkan minum, ya," tawarnya. Aira tak sempat menjawab. Dia lebih dulu melihat bagian tengah celana jeansnya yang sudah basah. "A-aku mengompol!" ucap Aira lirih. "Bagaimana ini?" tanyanya memelas. Sontak, semua orang yang ada di sana tertawa geli. Terlebih Manggala. Dalam hati, dia merasa puas karena berhasil mengerjai Aira."Hei, Manggala. Kau datang?" sapa Cynthia dengan suara yang sengaja dibuat manja dan menggoda. "Ya, bersama Aira. Dia sedang ke toilet." Manggala mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dari wanita yang sampai detik itu masih menyimpan rasa cinta untuknya. "Hm, anakmu tampan," sanjung Cynthia sambil iseng menyentuh pipi gembul Enzo. "Terima kasih," ucap Manggala singkat. "Di mana William dan Sammy?" tanyanya mengalihkan perhatian Cynthia. "Sedang bersiap bersama kru event organizer," jawab Cynthia dengan tatapan tak lepas dari wajah tampan Manggala. "Kalau begitu, aku permisi hendak menyusul Aira ke toilet," pamit Manggala. Sejak awal, dia merasa tak nyaman dengan interaksi Cynthia. Sebisa mungkin, Manggala akan berusaha mati-matian untuk menjauh dari ibunda Sammy itu. "Minggu depan adalah sidang pertama ayahku!" seru Cynthia, mencegah langkah Manggala agar tak buru-buru menjauh. "Baguslah!" sahut Manggala singkat. "Banyak saksi baru yang memberatkan ayahku. Ditambah m
Aira mengajak Catherine ke ruang tamu. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati taman belakang. Masih ada Ibra dan Arka yang betah nongkrong di bangku taman. "Kak," sapa Arka dengan sorot penuh arti. Aira yang memahami maksud adik iparnya, langsung tersenyum lebar. "Cat, kenalkan, mereka adik-adikku yang tampan!" Merasa dirinya dipanggil, Catherine yang awalnya berjalan dengan tatapan lurus ke depan sambil menggendong Enzo, segera menoleh. Sementara Ratri yang berada di gendongan Aira, mulai rewel. Bayi cantik itu merengek ingin bersama ibunya. "Ibra, Arka. Kalian berdua mengobrol dulu saja dengan Catherine. Aku mau mengantar Ratri ke ibunya," pamit Aira. Dia langsung pergi tanpa menunggu tanggapan ketiga orang itu. Beberapa langkah menjauh, Aira bisa mendengar gelak tawa dan obrolan ringan yang berasal dari Catherine beserta dua adik iparnya. Sesekali, Enzo ikut berceloteh. Aira pun tersenyum lega. Ternyata, tak sulit bagi mereka bertiga untuk saling mengakrabkan di
"Hah, menikah?" Aira terkejut luar biasa. "Bukankah Tante Mira memutuskan untuk melajang seumur hidup?" serunya.Teringat oleh Aira, dulu sang tante mengikrarkan bahwa dirinya tidak akan menikah. Alasannya hanya satu, yaitu ribet. Namun, siapa sangka jika hari ini, prinsip itu roboh."Coba tebak, siapa calonnya?" sela Kartika tak kalah antusias."Alex!" sahut Manggala enteng. "Lho, kok tahu?" Kartika melongo."Kapan hari kami melihat Tante Mira dilamar oleh Alex," beber Manggala sambil tersenyum geli."Ya, ampun!" Aira menepuk dahi."Jadi, kedatangan kami kemari adalah mengundang keluarga Manggala untuk hadir dalam resepsi sederhana yang akan diadakan di rumah," tutur Kartika."Tentu, Jeng. Dengan senang hati, kami akan hadir!" balas Imelda tak kalah antusias."Syukurlah!" Kartika berdiri memeluk Imelda, kemudian menyalami Bayu yang lebih banyak diam dan hanya senyum-senyum saja."Eh, tunggu! Enzo dan Ratri ke mana?" Saking hebohnya, Aira sampai melupakan keberadaan putra semata waya
Manggala menahan napas. Menelan ludah pun terasa sulit. Tak disangka Aira bersedia menuruti keinginan gilanya. "Ra, sudah, Ra. Kamu menang," desis Manggala saat Aira terus meliukkan tubuh yang kini hanya terbalut pakaian dalam. "Nanggung, Sayang." Rupanya Aira terbawa permainan sendiri. Dia begitu menghayati hingga tanpa sadar kini hanya tersisa segitiga hitam berenda yang menutupi inti tubuhnya. "Oke, stop!" Manggala bangkit dari ranjang dan menerjang Aira. Dicumbuinya sang istri dengan sedikit kasar. Manggala lalu mendudukkan Aira di sofa, mengungkung dan menyerangnya dengan ciuman. Ketika Manggala hendak melepas segitiga berenda itu, Aira tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan suaminya. "Tunggu!" pinta Aira. "Lepas, Ra," geram Manggala yang sudah tak dapat menahan gairah. "Kamu masih marah, kan? Masih cemburu?" cecar Aira. Manggala menggeleng lemah. "Aku memaafkanmu, Sayang. Sekarang, ayo kita lanjut!" Manggala mendorong lembut tubuh Aira hingga berbaring di sofa. Dia l
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Mang
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta