“Aku menikahi wanita itu secara siri. Beberapa minggu setelah kita menikah.”
Ucapan tenang sang suami bagaikan petir yang langsung menyambar tubuh Aira. “Menikah?” tanya wanita itu dengan suara gemetar. Jati sudah tak pulang dua hari. Pria itu beralasan menginap ke luar kota untuk menyelesaikan masalah bisnis. Tapi, Aira malah mendapat kabar bahwa pria itu menghabiskan waktunya dengan wanita lain di hotel. Dan begitu dikonfrontasi, Jati justru mengaku bahwa sudah menikahi wanita itu? Bagaimana bisa? “Senja dan aku sudah berpacaran sejak lama, tapi Ibu tidak setuju dan justru memaksaku menikah denganmu. Aku tak ingin mengecewakan Ibu, sehingga aku terpaksa menyetujui. Tapi, aku juga tak bisa meninggalkan Senja begitu saja,” ungkap Jati, "aku sangat mencintainya." Deg! “Brengsek kamu, Kak,” geram Aira. Tangannya terkepal dengan seluruh tubuh bergetar. “Kamu tidak ingin mengecewakan Ibu, tapi kamu hancurkan hidupku. Begitukah?” “Aku minta maaf, Ra. Aku memang salah,” ucap Jati, “Itulah sebabnya aku tak ingin menyentuhmu, supaya kamu tetap ‘utuh’.” “Maaf?” Aira tertawa pelan. Dia yang awalnya duduk di tepi ranjang, langsung berdiri menghampiri Jati, lalu menampar wajah tampan itu sekeras-kerasnya. Plak! “Kamu pikir, dengan tidak menyentuhku, kamu bisa menyelesaikan semua masalah, hah?!” Aira mendorong kuat-kuat tubuh Jati sampai suaminya itu terhuyung ke belakang. “Harusnya kamu tolak perjodohan ini sedari awal, dan jujur padaku!” pekik Aira nyaring sambil terengah. “Maafkan aku.” Hanya dua kata itu yang Jati ucapkan sejak tadi. “Maaf? Kamu pikir hanya kamu yang berkorban merelakan diri dari orang yang kamu cintai? Aku juga sama, Kak. Tapi, aku mencoba setia," timpal Aira menahan emosi, "Sekarang, apa yang harus kita lakukan dengan pernikahan ini? Yang jelas, aku tak sanggup dimadu.” “Aku tak bisa melepaskan Senja. Aku sangat mencintainya,” ujar Jati sedemikian yakin. Mendengar ucapan itu, Aira tersenyum getir. “Baiklah, aku paham. Secepatnya, kita akan mengurus perceraian,” putusnya sembari berjalan cepat keluar kamar. Jauh di dalam hati, dia berharap Jati mencegahnya. Namun, pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu hanya diam terpaku tanpa sedikitpun menoleh ke arah Aira. Bahkan, Jati tak pernah mencarinya selama tiga bulan setelahnya. Pria itu baru hadir di hari terakhir persidangan saat ketukan palu oleh hakim ketua menyatakan Aira resmi menyandang status janda di usia muda. Tak tanggung-tanggung menyakiti, Jati bahkan istri sirinya ke ruang sidang. Keduanya berpelukan dengan raut lega dan bahagia. "Kurang ajar ...." Dua kata yang seharusnya diucapkan dengan lantang. Akan tetapi, kenyataannya Aira tak kuasa berteriak. Energinya sudah habis terkuras. "Sudah, jangan dilihat! Kita pulang sekarang!" titah Ibunda Aira itu selalu mendampingi sejak awal proses persidangan. Sejujurnya, dia menyesal meminta sang putri menikahi anak sahabatnya. Tak pernah ia sangka semua akan berakhir seperti ini. Kartika menarik tangan putrinya sedikit kasar kala melihat Jati mulai mengejar. Namun, apa dikata. Postur Jati tinggi tegap dan menjulang, tentu berbeda jauh dari Kartika dan Aira yang mungil. Langkah Jati pun jauh lebih lebar, sehingga berhasil menyusul Aira. Dia bahkan menghalangi jalan ibu dan anak tersebut. "Ra, aku minta maaf," ucap pria itu bersungguh-sungguh. Aira tak menanggapi. Dia menatap Jati lekat-lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Untuk apa?" "Maafkan aku sudah menyakiti dan mengecewakanmu. Tapi, sadarlah. Perceraian ini adalah yang terbaik untuk kita berdua," tutur Jati sembari menghela napas panjang. "Seenaknya saja kamu ngomong, ya!" sentak Kartika dengan muka merah padam. "Ma, sudah!" bujuk Aira berusaha menenangkan. Bagaimanapun, mereka masih berada di area publik. Tak pantas rasanya marah-marah di depan banyak orang. "Kak Jati ...." Aira mengatur napas. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu benar. Pernikahan berat sebelah memang tak bisa dipaksakan. Aku juga lelah mencintaimu sendirian. Memang aku yang terlalu bodoh dan naif, mengira suatu saat kamu bisa membalas cintaku." Sesaat kemudian, dia menoleh ke arah Senja yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Dapat Aira rasakan raut tak suka yang terpancar dari wajah ayu istri mantan suaminya itu. "Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan, kami pulang dulu. Lagipula, sudah ditunggu istrimu, tuh!" ucap Kartika ketus. Dia langsung menyeret putri bungsunya tanpa aba-aba. Meninggalkan Jati yang hanya diam terpaku. Entah kenapa, pengakuan Aira tadi berhasil mengusik relung hati Jati yang terdalam. Sayangnya, Aira sudah tak mau tahu tentangnya. Ia bahkan bertekad untuk pergi jauh dan menenangkan diri. Brisbane, ibukota negara bagian Queensland, Australia, menjadi pilihannya. Dia memilih kota ini atas saran Mira, adik kandung ibunya. Selain karena Mira juga tinggal di Brisbane, tantenya itu juga memberikan informasi lowongan pekerjaan yang sesuai dengan hobi Aira, yaitu fotografi. "Kamu bebas ngapain aja di sini. Nggak ada jam malam atau apapun. Yang penting bertanggung jawab," tutur Mira sesaat setelah tiba di kediamannya. "Aku menyiapkan kamar di lantai dua,supaya kamu lebih leluasa menenangkan diri," ujarnya seraya tersenyum lebar. "Terima kasih. Tante Mira memang yang terbaik," ucap Aira tulus. "Ah, biasa saja, kok." Mira mengibaskan tangan, sedikit salah tingkah atas pujian sang keponakan. "Oh, ya! Ini!" Mira buru-buru merogoh saku jaketnya, lalu memberikan sebuah kartu nama. "Ini alamat kantor yang bisa kamu datangi besok untuk wawancara. Jangan lupa, katakan pada resepsionisnya kalau kamu sudah ada janji atas nama Lauren Smith," jelas Mira. "Lauren Smith? Siapa itu?" tanya Aira. "Temanku. Dia yang memberi informasi tentang lowongan itu, Sayang," jawab Mira. "Oh." Aira mengangguk. Tatapannya tertuju pada kartu kecil itu dengan sorot menerawang. Keesokan harinya, Aira mendatangi alamat sesuai yang tertera di kartu nama. Dia sempat grogi dan gugup, sebab gedung yang dituju terlihat begitu megah. "Pemimpin redaksi sudah menunggu Anda di lantai tujuh," ujar seorang resepsionis. "Thank you," ucap Aira sopan. Dia pun bergegas menuju lift dan menekan tombolnya. Pintu lift terbuka di lantai yang dituju. Jantung Aira berdebar kencang seiring dengan kakinya yang melangkah cepat, hingga tiba di depan sebuah pintu bercat coklat. Aira sudah mengangkat tangan, hendak mengetuk. Namun, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Seorang wanita cantik berambut pirang keluar dari sana. Dia tersenyum ramah pada Aira. "Janji atas nama Nona Lauren Smith?" terka wanita itu dalam bahasa Inggris Australia yang khas. "Iya, betul," jawab Aira gugup. "Silakan masuk. Tuan Naradipta sudah menunggu," ujar si wanita. Mendengar nama itu, refleks Aira menahan napas. Jantung yang tadi bertalu-talu, kini seolah berhenti berdetak. Nama itu, mengingatkannya pada Manggala. Manggala Naradipta, sang mantan. "Mari," ajak wanita itu lagi saat memperhatikan Aira yang masih bergeming di tempatnya. "Ah, iya. Maaf." Aira memberanikan diri untuk masuk ke ruangan. Namun, langkahnya seketika membeku tatkala melihat penampakan pria yang duduk berwibawa di balik meja kerjanya. "Ma-Manggala?" ucap Aira terbata. Mengapa mantan kekasih yang diputuskannya dulu, ada di sana?"Hei, Manggala. Kau datang?" sapa Cynthia dengan suara yang sengaja dibuat manja dan menggoda. "Ya, bersama Aira. Dia sedang ke toilet." Manggala mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dari wanita yang sampai detik itu masih menyimpan rasa cinta untuknya. "Hm, anakmu tampan," sanjung Cynthia sambil iseng menyentuh pipi gembul Enzo. "Terima kasih," ucap Manggala singkat. "Di mana William dan Sammy?" tanyanya mengalihkan perhatian Cynthia. "Sedang bersiap bersama kru event organizer," jawab Cynthia dengan tatapan tak lepas dari wajah tampan Manggala. "Kalau begitu, aku permisi hendak menyusul Aira ke toilet," pamit Manggala. Sejak awal, dia merasa tak nyaman dengan interaksi Cynthia. Sebisa mungkin, Manggala akan berusaha mati-matian untuk menjauh dari ibunda Sammy itu. "Minggu depan adalah sidang pertama ayahku!" seru Cynthia, mencegah langkah Manggala agar tak buru-buru menjauh. "Baguslah!" sahut Manggala singkat. "Banyak saksi baru yang memberatkan ayahku. Ditambah m
Aira mengajak Catherine ke ruang tamu. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati taman belakang. Masih ada Ibra dan Arka yang betah nongkrong di bangku taman. "Kak," sapa Arka dengan sorot penuh arti. Aira yang memahami maksud adik iparnya, langsung tersenyum lebar. "Cat, kenalkan, mereka adik-adikku yang tampan!" Merasa dirinya dipanggil, Catherine yang awalnya berjalan dengan tatapan lurus ke depan sambil menggendong Enzo, segera menoleh. Sementara Ratri yang berada di gendongan Aira, mulai rewel. Bayi cantik itu merengek ingin bersama ibunya. "Ibra, Arka. Kalian berdua mengobrol dulu saja dengan Catherine. Aku mau mengantar Ratri ke ibunya," pamit Aira. Dia langsung pergi tanpa menunggu tanggapan ketiga orang itu. Beberapa langkah menjauh, Aira bisa mendengar gelak tawa dan obrolan ringan yang berasal dari Catherine beserta dua adik iparnya. Sesekali, Enzo ikut berceloteh. Aira pun tersenyum lega. Ternyata, tak sulit bagi mereka bertiga untuk saling mengakrabkan di
"Hah, menikah?" Aira terkejut luar biasa. "Bukankah Tante Mira memutuskan untuk melajang seumur hidup?" serunya.Teringat oleh Aira, dulu sang tante mengikrarkan bahwa dirinya tidak akan menikah. Alasannya hanya satu, yaitu ribet. Namun, siapa sangka jika hari ini, prinsip itu roboh."Coba tebak, siapa calonnya?" sela Kartika tak kalah antusias."Alex!" sahut Manggala enteng. "Lho, kok tahu?" Kartika melongo."Kapan hari kami melihat Tante Mira dilamar oleh Alex," beber Manggala sambil tersenyum geli."Ya, ampun!" Aira menepuk dahi."Jadi, kedatangan kami kemari adalah mengundang keluarga Manggala untuk hadir dalam resepsi sederhana yang akan diadakan di rumah," tutur Kartika."Tentu, Jeng. Dengan senang hati, kami akan hadir!" balas Imelda tak kalah antusias."Syukurlah!" Kartika berdiri memeluk Imelda, kemudian menyalami Bayu yang lebih banyak diam dan hanya senyum-senyum saja."Eh, tunggu! Enzo dan Ratri ke mana?" Saking hebohnya, Aira sampai melupakan keberadaan putra semata waya
Manggala menahan napas. Menelan ludah pun terasa sulit. Tak disangka Aira bersedia menuruti keinginan gilanya. "Ra, sudah, Ra. Kamu menang," desis Manggala saat Aira terus meliukkan tubuh yang kini hanya terbalut pakaian dalam. "Nanggung, Sayang." Rupanya Aira terbawa permainan sendiri. Dia begitu menghayati hingga tanpa sadar kini hanya tersisa segitiga hitam berenda yang menutupi inti tubuhnya. "Oke, stop!" Manggala bangkit dari ranjang dan menerjang Aira. Dicumbuinya sang istri dengan sedikit kasar. Manggala lalu mendudukkan Aira di sofa, mengungkung dan menyerangnya dengan ciuman. Ketika Manggala hendak melepas segitiga berenda itu, Aira tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan suaminya. "Tunggu!" pinta Aira. "Lepas, Ra," geram Manggala yang sudah tak dapat menahan gairah. "Kamu masih marah, kan? Masih cemburu?" cecar Aira. Manggala menggeleng lemah. "Aku memaafkanmu, Sayang. Sekarang, ayo kita lanjut!" Manggala mendorong lembut tubuh Aira hingga berbaring di sofa. Dia l
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Mang
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak m