"Maya..." panggil mantan suamiku dengan mata yang sendu. Pria yang memakai jas putih menggengam lenganku cukup erat. Aku bisa merasakan tangannya yang tremor, entah karena apa. Aku tak menyangka David sudah berada di belakangku, padahal beberapa waktu lalu aku melihatnya keluar dari ballroom ini."A-aku-""Lepas," ucapku tegas. "Dengarkan aku sebentar." David memohon dengan tatapan penuh harap. Segera kugelengkan kepala. "Lepaskan tanganku. Aku tidak ingin mendengar apapun!" Kali ini aku mengatakannya dengan sorot yang tajam.David menggenggam tanganku lebih erat, seolah takut aku akan pergi sebelum ia selesai bicara. Aku menatapnya dengan tajam, mencoba melepaskan diri, tetapi genggamannya terlalu kuat."Maya, kumohon dengarkan aku sebentar saja," suaranya bergetar dengan akhir yang tercekat.Aku menarik napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. "Dengar apa, David?"David menghela napas panjang, matanya berkabut. "Aku salah, Maya. Aku benar-benar salah."Aku terkekeh sinis
Kubekap wajah putraku dengan sapu tangan yang sudah kuolesi obat bius. Ini adalah cara terakhir yang bisa kulakukan. Namun, belum selesai putraku bereaksi, seseorang keluar dari pintu lift. Sontak aku menoleh dan mendapati atasanku mendekat dengan kedua alis terangkat."Akhirnya kamu membawa Bimo," puas Tristan melihat putra yang kudekap. Kini hanya salah satu alisnya yang terangkat, "Ada apa?"Jantungku berdegup kencang. Apa dia tau apa yang kulakukan pada putraku?"Bimo tantrum, Pak.""Oh ya?" Ia melirik anakku yang sudah lemas.Segera kupamerkan senyum tipis. "Sepertinya dia sudah lelah." Aku berniat merebahkan putraku di tikar, tetapi CEOku mencegah. "Bawa saja ke ruaganku, di sana ada sofa tidur." Tristan mendekat, dan langsung menggendong Bimo penuh perhatian. "Biar aku yang membawanya, kamu cukup siapkan tempat tidurnya."Langkah kakiku sedikit berlari ke dalam. Aku tak ingin atasanku itu menunggu terlalu lama. Sofa yang bisa dijadikan tempat tidur itu segera kutata. Kemudian
"Kalau begitu, sekarang keluar dan selesaikan pekerjaanmu." Tristan kembali ke tempat duduknya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Sekarang, aku hanya bisa mengepalkan tangan. Pria itu benar-benar membuatku serba salah. Namun, statusku yang sebagai sekretarisnya, membuatku harus menahan diri.Aku langsung meninggalkan ruangan CEO itu dengan emosi membara. Pak Jacson yang baru saja keluar segera menghampiriku. "Pastikan, Pak Tristan ikut rapat setelah makan siang," ujarnya sebelum pergi. "Yang sabar, May."Lagi-lagi pria itu memberikan ucapan semangat atau sarkas dikala gundahan hatiku. Aku bisa mengingat, dia adalah orang yang menyemangatiku di lift setelah tragedi labrakan Gita di lobi kantor. Perhatiannya kala itu memang menghangatkan hatiku, tapi kali ini aku seakan dipaksa untuk bersabar. Rasanya tidak adil.Dengan sisa kesabaran yang kupunya, aku meraih dokumen yang perlu dipersiapkan untuk rapat siang nanti. Jemariku bergerak cepat di atas keyboard, mengirim beberapa email penting. N
Bu Ayu menghela napas pelan, tangannya mengelus punggung Bimo dengan lembut. “Tadi waktu saya ajak turun dari mobil, ada suara klakson yang cukup keras. Dia kaget dan langsung menangis, Maya. Saya coba menenangkan, tapi dia masih sedikit ketakutan.”Aku mengusap kepala putraku dengan lembut. “Sayang, Ibu di sini. Nggak apa-apa, ya? Itu cuma suara mobil, Bimo aman.”Bimo masih menggigit bibirnya, napasnya tersengal. Aku tahu dia butuh waktu untuk memproses ketenangannya. Pelan-pelan, aku mengulurkan tangan dan membiarkannya menyentuh jemariku lebih dulu sebelum menariknya ke dalam pelukan.“Bimo, tarik napas dulu, ayo,” bisikku, membimbingnya dengan suara pelan. “Pelan-pelan aja. Kita hitung, ya? Satu… dua…”Bimo akhirnya mengikuti, meski masih terisak kecil.Aku menghela napas lega ketika napasnya mulai stabil. Tapi kemudian, aku menyadari sesuatu.Tristan berdiri tak jauh dari kami.Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sana, tapi ekspresinya sulit ditebak. Tangannya dimasukkan ke da
Kenzo yang melihat reaksiku langsung terkejut dan refleks menekan tombol lift berulang kali. "Bimo? Bimo ada di dalam?" tanyanya cepat.Aku mengangguk panik. "Iya! Aku tadi keluar tanpa sadar, dan-! Ya Allah, kenapa aku bisa ceroboh begini?" Jantungku berdegup kencang, kuremas kepalaku sendiri karena rasa frustrasi menderai kepalaku. Pikiranku langsung dipenuhi ketakutan. Bimo masih kecil, dan dia bisa panik kalau sendirian, apalagi di dalam lift yang tertutup. Lift yang tadi membawa Bimo naik akhirnya berhenti di lantai atas. Aku menggigit bibir, perasaan cemas semakin menguasai. "Kenzo, aku harus ke atas!" Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arah tangga darurat."Heh, May! Tunggu, jangan lari!" Kenzo mengejarku, tapi aku sudah lebih dulu menaiki anak tangga dua-dua. Nafasku mulai berat, tapi aku tak peduli. Bimo lebih penting.Setibanya di lantai atas, aku mendapati pintu lift terbuka, dan di sana kosong! Tidak ada siapapun. Aku menenangkan diri menggeledah di seluruh ruangan lanta
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangkit dengan tubuh gemetar. "Bimo di rooftop, aku harus ke sana!" Aku berlari menaiki tangga secepat mungkin. Tristan masih di belakangku, langkah kakinya menggema di tangga darurat yang sempit. Aku berusaha secepat mungkin untuk sampai ke atas, tapi tubuhku sudah terlalu lelah setelah panik mencari anakku sejak tadi. "Bertahan, May! Kita harus cepat!" suara Tristan terdengar dari bawah. Aku menguatkan diri, memaksakan langkah meskipun nafasku semakin berat. Setiap anak tangga terasa seperti hukuman karena kecerobohanku sendiri. Begitu sampai di lantai 30, pintu tangga darurat sedikit terbuka. Aku mendorongnya dengan paksa, dan angin kencang langsung menyambut kami. Begitu aku tiba di rooftop, mataku langsung mencari sosok kecil itu. Bimo berdiri di ujung pembatas atap, tangannya mencengkeram pagar besi setinggi pinggangnya. Angin kencang menerpa tubuh kecilnya, membuat bajunya berkibar. Dia tampak kebingungan, matanya menatap kosong ke
Tristan menatapku penuh arti, sedangkan aku menelan saliva dengan paksa. Kenapa dia memberitahuku jika yang menelpon adalah Mas David, mantan suamiku? Lalu, kenapa dia meminta pendapatku untuk mengangkat telepon itu atau tidak? Sekarang, aku dibuat mati kutu olehnya. Aku menjadi serba salah untuk merespon pertanyaannya. Tristan masih menunggu jawaban dariku, tapi aku hanya bisa terdiam. Aku tidak ingin bicara dengan Mas David, tapi aku juga tidak bisa mengabaikannya begitu saja."Saya tidak tahu, Pak," jawabku akhirnya dengan suara pelan. "Terserah Bapak saja, mau diangkat atau tidak."Tristan mendengus kecil, tampaknya tidak puas dengan jawabanku. Ia mengangkat ponselnya dan menatap layar sebentar sebelum akhirnya menekan tombol terima panggilan."David," ucapnya santai, tapi sorot matanya tetap mengarah padaku.Aku menggigit bibir bawahku, menunggu apa yang akan dikatakan Mas David."Ya, dia ada di sini," Tristan melirikku sekilas. "Kenapa?"Aku menahan napas.Beberapa detik kemudi
Aku hampir tersedak air putih yang baru saja kuteguk. "Apa?" Tristan menyandarkan punggungnya di kursi. "Kamu tidak menjawab pertanyaanku." Pipiku terasa hangat. Kenapa dia menanyakan hal seperti itu? Ditambah ekspresinya membuatku tak bisa berkutik. Dingin tapi perhatian! Pesona macam apa ini. Ya Tuhan, rasanya aku ingin berlari sekencang-kencangnya dari sini."Saya... tidak punya," jawabku pelan. Tristan mengangguk, entah puas atau justru semakin penasaran. "Kenapa?" Aku menghela napas. "Saya sudah cukup sibuk mengurus anak saya. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu." Tatapan Tristan melembut. Aku tidak pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Maya." Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Tristan benar-benar aneh hari ini. Kenapa tiba-tiba dia jadi perhatian seperti ini? Aku tidak bisa memahami maksudnya. Apa mungkin... dia menyukaiku? Tidak, tidak mungkin. Aku menggeleng pelan. Tidak boleh berpikir yang aneh-
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d