Share

7

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-02-20 14:20:27

“Bu Maya?” panggil seseorang yang membuyarkan konsentrasi ku saat bekerja di depan komputer.

“Ya?” sahutku yang langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita bertubuh sintal sedang tersenyum. Mataku melebar melihatnya, siapa yang tidak terkejut didatangi HRD.

“Tolong ke ruangan saya,” pintanya. Badanku terasa panas dingin mendengar ucapan itu. Ini berada di luar nalar. Apalagi saat pemeriksaan kinerja kemarin aku tak membuat kesalahan apa pun. Aku mengikuti perempuan itu, semua rekan kerja langsung bergunjing melihat kepergian kami. Namun, aku masih mendengar beberapa percakapan dari mereka.

“Si Maya kayaknya mau dipecat. Kan sempat buat masalah sama istri Pak Kenzo,” ucap Tina dengan lirikan sinis.

“Jelaslah. Apalagi kalau tidak dipecat! Janda gatal begitu pantas disingkirkan dari kantor. Bikin sepat mata saja. Iya tidak Ros?” sahut Putri sembari mencolek Rosa yang duduk di sebelahnya. Wanita itu hanya tersenyum tipis mendengar celoteh teman-temannya.

Ketika sampai di ruang HRD, aku pun duduk dengan risau. Dada ini berdetak sangat cepat, sulit dikendalikan. Berbagai pikiran negatif berseliweran di otak, entah apa yang akan di bicarakan pihak HRD padaku.

“Baik, saya memiliki beberapa hal yang disampaikan. Bu Ada berita baik dan buruk, Bu Maya memilih berita mana yang disampaikan terlebih dahulu?”

‘Ya Gusti! Ada apa ini!?’ keringat dingin mulai bercucuran di dahi.

“Emm... berita buruk dulu Bu,” jawabku gugup.

“Baiklah. Jadi mulai besok, Bu Maya sudah tidak bekerja di divisi pemrasara.”

Alamak! Berita ini sangat buruk, mataku terasa panas mendengarnya. Kaki yang sebelumnya menekuk kokoh kini lemas tak berdaya.

“Tapi... Karena kinerja Bu Maya yang cekatan, bahkan bisa mengerjakan tugas Manajer Kenzo. Kami pihak perusahaan mengalihkan tugas Bu Maya menjadi sekretaris CEO perusahaan ini,” jelas HRD. Otakku menelaah semua ucapannya, loadingku sangat lama.

“Maksudnya Bu?”

“Mulai besok,Bu Maya menjadi sekretaris CEO.”

“CEO? Bukannya perusahaan ini hanya memiliki direktur utama?”

“Tidak, kami juga memiliki CEO. Dan beliau segera datang ke kantor ini sehingga membutuhkan sekretaris untuk membantunya.”

“Oh begitu.”

“Apa Bu Maya bersedia menerima tawaran ini?” tanya HRD.

“Maaf Bu. Soal gajinya bagaimana?” Ini adalah aspek penting untuk menentukan apakah aku menerima pekerjaan ini atau tidak.

“Em, Pak CEO memberikan 8 juta perbulan. Tapi itu belum termasuk intensif, karena kemungkinan besar Bu Maya akan diminta untuk menemani dinas ke luar kota bahkan luar negeri. Itu semua tergantung CEO, beliau hanya mengatakan gaji pokok saja.”

Tawaran yang sangat bagus, tapi untuk 8 juta rasanya sedikit. Meskipun aku hanya karyawan biasa di divisi marketing dengan gaji pokok 4 juta. Namun, bonus yang diberikan Kenzo bisa mencapai 15 juta. Rata-rata pendapatanku selama setahun lebih adalah 10juta.

“Bolehkah saya meminta waktu untuk berpikir? Ini sangat mendadak untuk saya,” pintaku. Tawaran ini adalah pilihan yang sulit.

“Emm... Baiklah. Saya beri waktu sampai nanti jam 1 siang. Tolong segera beri jawaban secepat mungkin.”

“Baik Bu.”

Semua orang menatap penuh antusias, mereka nampak begitu ingin mendengar hasil dari pertemuanku dengan HRD. Itu bisa dirasakan lewat tatapan setiap rekan kerja di sini. Tina yang duduk di sampingku langsung memberikan senyuman licik.

“Gimana May? Jadi dipecat karena menjadi pelakor?” sinis wanita itu. Putri dan beberapa rekan lainnya sedang menahan tawa mendengar sarkas Tina.

“Makanya jadi perempuan jangan gatal May. Contoh Rosa, si malaikat divisi pemasara. Iya tidak Ros?” sahut Putri yang membandingkanku dengan pelakor sesungguhnya.

Kuputuskan untuk diam dan mengerjakan tugas terakhir di divisi ini. Mendapat olokan dari beberapa orang membuatku sadar, jika menjadi sekretaris CEO adalah pilihan terbaik. Meskipun aku harus menghemat kebutuhan sehari-hari karena gajinya belum tentu sebesar ketika berada di sini, tapi keputusan ini akan membuat mentalku lebih aman.

***

Keesokan harinya, aku membereskan barang-barang di meja kantor. Kardus berukuran besar ku angkat dengan susah payah.

“Akhirnya pergi juga si biangkerok! Kesucian tempat ini tak akan tercemar lagi,” seloroh Putri.

“Khihihi... janda gatal cepat-cepat keluar! Hus hus...” usir Tina dengan mengibas-ngibaskan tangannya. Rosa nampak semringah.

Hatiku teriris melihatnya, semua orang di sini persis iblis duniawi. Tak ada belas kasihan sama sekali. Bahkan seseorang yang sebelumnya kuanggap dewi berani menusuk dari belakang.

Kaki yang sebelumnya terasa berat meninggalkan ruang divisi pemrasara, kini melangkah dengan ringan tanpa beban. Pundak terasa terangkat tinggi, kehormatan perlahan kupulihkan, dan kebenaran gosip yang beredar segera terbuktikan.

“Bu Maya, silakan tempati meja ini,” ucap HRD. Aku menganggukkan kepala. Kemarin sempat ada kendala masalah gaji, tapi pada akhirnya HRD mau menambah jumlah gaji pokokku menjadi 9 juta. Tanpa pikir panjang aku pun menandatangi kontrak kerja.

“Untuk beberapa hari ini, Pak CEO tidak bisa datang ke kantor karena masih di Singapura. Jadi Bu Maya bisa bersantai terlebih dahulu.”

“Baik Bu, terima kasih,” jawabku dengan penuh semangat. Informasi itu terasa liburan setelah terjadinya bencana. Ini adalah waktu yang pas untuk mencuatkan kebenaran fitnah terhadapku di kantor.

Sayangnya setelah seminggu berada di kursi sekretaris, CEO yang kutunggu tak kunjung datang. Karena rasa bosanku, akhirnya kuputuskan datang ke ruang HRD.

“Selamat siang Bu.”

“Siang, silakan masuk Bu Maya.” Wanita itu mempersilakan aku duduk di kursi. Dia langsung mencondongkan tubuhnya akan lebih dekat denganku.

“Ada apa?” tanyanya penasaran. Aku tersenyum kikuk.

“Sudah seminggu ini saya hanya duduk di meja sekretaris. Apakah saya boleh tau kapan CEO akan datang ke kantor?”

“Saya sendiri pun tidak tau.”

“Huhhh...” aku hanya bisa menghela napas. Perempuan yang kuharap bisa memberikan jawaban pasti pun tak bisa memuaskanku.

“Em kalau begitu, apa saya boleh meminta satu hal?”

“Katakan dulu apa permintaanmu.”

“Saya ingin membawa anak saya, Bimo.”

HRD itu mengerutkan dahi mendengar kalimatku. “Tapi dia anak yang baik kok Bu. Tidak akan menimbulkan keributan di kantor.” Ku gigit bibir bawahku saat kedua manik wanita itu melihatku dengan seksama. “Dia anak yang pendiam. Sangat pendiam, karena... Bimo mengidap autis, jadi ketika saya memberikan sesuatu dia hanya fokus pada hal tersebut.”

“Boleh.”

Aku terbelalak mendengar jawaban itu.

~

Keesokan harinya, aku sangat senang. Kugendong buah hatiku dengan semangat. Hari ini aku bisa menghabiskan waktu seharian bersama Bimo.

“Nanti waktu di atas, Bimo jadi anak yang pintar ya Sayang. Soalnya ini di kantor, jadi Bimo jangan berisik. Okey!” ucapku penuh semangat.

Seperti biasa aku langsung mengeluarkan beberapa mainan yang sudah ku bawa. Sayangnya Bimo rewel dan melempar mainan itu. Aku sangat kebingungan karena anak itu tak ingin bermain dengan mainan kesukaannya.

“Ini mainannya Sayang...” kucoba sodorkan lagi mainan itu padanya. Lagi-lagi Bimo melemparnya bahkan sampai terdengar bunyi... PRAKKK!!!

Dinosaurus yang utuh kini terbelah menjadi beberapa bagian. Saat memungut beberapa bagian mainan tersebut, tiba-tiba mataku menyadari ada sesuatu yang menarik perhatian. Yakni sepasang sepatu berwarna hitam.

Aku langsung mendongakkan kepala melihat siapa gerangan orang yang berada di depanku.

“K-kamu!?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   94

    Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   93

    Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   92

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   91

    Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   90

    Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   89

    Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   88

    "Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   87

    Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   86

    Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status