Beberapa ibu-ibu julid pada berkumpul didepan pintu rumah Alana, beberapa diantara mereka sibuk membuat konten demi mendapatkan followers dengan menuliskan caption “Ada yang lagi ribut nih”
"Pasti bakalan ramai konten ini!" Ucap yang lainnya.
Mendengar suara kegaduhan diluar pintu, Wina memutuskan untuk berhenti marah-marah kepada Alana dan bergegas berjalan ke arah depan pintu, menyelidiki suara kegaduhan apa yang berada diluar rumahnya? Wina mulai membuka pintu dengan cepat sehingga mereka para ibu-ibu yang bersenderan dipintu tersebutpun ikut terjatuh dan meringis kesakitan, "Aduhh sakit!“"Eh, Bu Wina! Kalau membuka pintu yang pelan dikit kenapa sih?!” protes salah satu ibu-ibu yang jatuh tersungkur.
Wina tersenyum sinis lalu berteriak dengan suara menggelegar hingga membuat mereka kabur tunggang langgang, "Dasar... Cuma segitu doang pada kabur"
Wina menutup kembali pintu depan rumahnya dan menghampiri Alana yang masih terdiam di lantai.
“Cepat bereskan semuanya!”
Alana mengangguk lalu segera meraih pecahan-pecahan piring tersebut. Tidak sengaja, tangannya terkena pecahan piring hingga mengeluarkan darah segar. Wina melihat putrinya terluka bukanya langsung mengobati luka putrinya ia malah melontarkan kata-kata kejam kepada Alana dengan mengatakan bahwa Alana ceroboh dan bodoh. Wina yang kesal memutuskan untuk meninggalkan Alana, dengan memilih masuk kedalam kamar tidur dan tidak lupa menutup pintu dengan sangat keras.
"Aku pakai kain ini untuk memberhentikan aliran darah ini", ucap Alana dalam hati.
Alana yang berhasil membereskan semua pecahan piring tersebut kini memutuskan untuk pergi ke salah satu warnet. Ia ingin membuka hp miliknya yang berbulan-bulan belum ada paket data. Sehingga, setiap hari Alana terpaksa pergi ke warnet hanya untuk membuka wifi gratis yang telah diberikan izin oleh pemilik warnet yang sangat merasa kasihan kepada Alana. Ditambah lagi, Alana membuka wifi juga untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah yang harus ia kerjakan sampai selesai dengan tepat waktu. Karena merasa terbantu, sesekali Alana bersih-bersih disekitar warnet sebagai bayaran karena pemilik warnet telah memberikan izin untuk menumpang wifi disana.
“Permisi, Bang. Alana mau menumpang” kata Alana dengan sopan saat sudah berada dipintu kaca warnet tersebut.
Terlihat, pria ganteng yang kira-kira usianya sekitar 20 tahunan itu membuka pintu warnet lalu tersenyum kepada Alana sembari berkata, “Eh... Alana. Ayo, silahkan... Semangat mengerjakan tugas ya!” serunya dengan menyemangati Alana.“Terimakasih, Bang. Bang, nanti Alana bersihkan tempat ini biar bersih bang” ujar Alana kepada Rafael.
Rafael mengiyakan, lalu Alana mulai fokus mengerjakan tugas sekolahnya. Tidak lama kemudian, Alana melihat story wa dari teman-teman sekelasnya dan mereka begitu riang gembira membuat video tiktok ramai-ramai dan tidak mengajak Alana, padahal mereka adalah teman satu kelas Alana. Alana sedikit merasa sedih karena ia diasingkan oleh teman-temannya di sekolah namun ia tetap tegar dan optimis kalau ia bisa mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin walaupun tanpa dibantu oleh mereka.
Jam sudah menuju pukul 17:00 Sore, Alana bersiap-siap menutup buku tugas yang sudah selesai ia kerjakan. Alana kembali mengingat janjinya yang akan bersih-bersih. Tempat diwarnet selalu ramai sehingga Rafael terkadang kewalahan meladeni pelanggan-pelanggannya yang cenderung bermain game di tempat tersebut.
Alana menghampiri Rafael dan mengatakan bahwa ia ingin menyapu lantai. Rafael mengiyakan dan Alana pun tersenyum sumringah. Setelah selesai bersih-bersih, Alana berniat untuk pamit pulang kepada Rafael.“Bang, aku pulang dulu soalnya hari sudah semakin sore dan aku kasihan sama Mama yang sendirian di rumah” kata Alana dengan sopan.
Rafael mengangguk lalu ia meraih dompet dan mengambil beberapa selembaran uang, “Alana, kebetulan aku ada rezeki hari ini, jadi ambilah dan maaf jika sedikit”
Alana menolak uang pembelian dari Rafael namun Rafael tetap bersikukuh memberikan uang tersebut. Karena itu, Alana pun mau menerimanya dan tidak henti-hentinya Alana berterimakasih kepada cowok yang satu-satunya paling peduli kepadanya. Alana merasa sangat berhutang budi kepada Rafael, tanpa kehadiran Rafael mungkin Alana tidak bisa melanjutkan sekolahnya hanya gara-gara tidak punya uang untuk membeli paket data. Alana lalu pergi dan perlahan menghilang dari hadapan Rafael.
Di jalan, Alana berjalan kaki sendirian sambil memegangi perutnya yang sudah mulai lapar dan ia melihat warung di seberang jalan dan berniat juga untuk membelikan nasi uduk untuk Mamanya juga.
“Permisi, Bu. Saya mau beli dua nasi uduk 40.000 jadi dua” kata Alana saat sudah berada di warung makan buk asih dan pemilik warung makan itu langsung melayaninya.
Buk asih menghampiri Alana sembari berkata, “Ini neng nasi uduknya” Alana mulai membayar, "Kembaliannya 10.000 ambil saja Buk" ucap Alana, ia merasa kasihan melihat warung tersebut sepi pembeli.
"Terimkasih Nak, semoga tuhan membalas kebaikkanmu" ucap Buk Asih.
Dijalan sembari membawa dua bungkus nasi uduk, Alanapun bergumam, “Aku yakin, Mama pasti senang sekali aku belikan nasi uduk ini”
Sesampainya di rumah, Alana mengetok pintu dan berharap ibunya membukakan pintu untuknya.
Melihat pintu tidak kunjung dibukakan, Alana mencoba memanggil Mamanya. “Ma, Alana pulang” Namun, pintu tersebut tidak kunjung dibuka. Alana memeriksa pintu belakang dan betapa terkejutnya saat ia melihat ibunya sedang bercumbu dengan pria asing dimata kepalanya sendiri.Nasi uduk yang ia bawapun tidak sengaja jatuh, Alana tidak kuasa melihat kelakuan kedua orang dewasa itu dan Alana pun berlari tanpa arah tujuan. Orang-orang yang dilaluinya semuanya meminggirkan tubuhnya dan merasa bahwa orang yang lewat tersebut adalah orang hina dan tidak pantas menyentuh tubuhnya. Alana yang sudah terbiasa diasingkan seperti itu, tidak memikirkannya lagi. Hanya saja, sekuat-kuatnya ia menahan rasa sedih, ia tetaplah manusia yang mempunyai hati. Hati siapa yang tidak sesakit yang Alana rasakan? Melihat ia terlahir tidak mempunyai ayah? Diasingkan? Dan melihat Mamanya bercumbu dengan pria asing... Sungguhlah menyakiti perasaan Alana dengan begitu bertubi-tubinya.
“Tuhan, aku malu... Aku hina dan kepada siapa aku mengeluh tuhan? Aku lelah”
Alana duduk didekat pantai sendirian, tampak disekelilingnya sangat sepi. Kesempatan ini, membuat Alana mampu mengeluarkan unek-unek pilu yang sangat ingin ia keluarkan. “Aku tidak kuat untuk hidup, aku malu tuhan... Sungguh, aku benar-benar malu” Matanya yang berkunang-kunang itu seakan merasakan bahwa pantai merespon kesedihannya dengan suara ombak yang terdengar begitu jelas. Ditambah lagi matahari terbenam berbarengan dengan tangisan Alana benar-benar mewakilkan perasaan Alana.
“Aku tidak yakin bahwa aku bisa untuk melaluinya, namun apa salah bila aku tetap berharap bahagia? Iya, suatu saat aku pasti bahagia!”
Alana beranjak dari tempat duduk dan mulai tersenyum dan perlahan mengusap kedua air mata yang telah membuat kedua matanya sembab. Lalu mendekati ombak dan mencoba bermain-main bersama ombak. Ia tersenyum dan tertawa-tawa sendiri. Mungkin, bagi orang lain yang melihatnya merasa aneh melihat tingkah laku Alana, namun hal itu berbeda dengan Alana. Bagi Alana, ombak tersebut telah cukup untuk menghiburnya hingga ia bisa melupakannya sejenak rasa sakitnya itu.
Setelah berjam-jam bermain dengan ombak, Alana memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan pakaian yang ia kenakan telah basah dan tercampur lumpur, Alana merasa puas.Sesampainya di rumah, Alana mencoba mengetuk pintu dengan penuh rasa keraguan. tidak lama kemudian, pintu terbuka dan terlihat Wina memancarkan wajah garangnya, dalam hati Alana, ia merasa bersyukur bahwa pria asing itu telah tidak ada di rumahnya.
“Kemana saja kamu' ah?!” tanya Wina kepada Alana.
Alana yang terlihat lemas itu tersenyum sesaat lalu mengatakan bahwa ia habis bermain dengan ombak. Alana lalu masuk kedalam tanpa menghiraukan Wina yang kembali memaki-maki dirinya yang menganggap bahwa Alana adalah beban bagi kehidupannya sehingga ia sangat membenci darah dagingnya sendiri.
Matahari perlahan muncul dari peraduannya, menandakan pagi yang cerah telah kembali. Kehidupan mulai bergerak, hiruk-pikuk aktivitas kembali memenuhi sudut-sudut kota, termasuk di lingkungan sekolah. Para siswa dengan penuh semangat memasuki ruang kelas mereka, siap menghadapi hari yang baru.Di Sekolah Widya Piki Negeri Nusantara, suasana ramai terdengar di setiap sudut. Beberapa siswa-siswi terlihat asyik mengobrol, di antaranya Anik dan Ayuna."Ayuna, kemarin aku senang banget! Ayang beliin aku boneka!" seru Anik dengan wajah berbinar.Ayuna tersenyum ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya. Tak lama, Bagas datang bersama teman-temannya. Ayuna, yang sudah lama menyimpan perasaan padanya, merasa salah tingkah. Anik, yang selalu peka terhadap perasaan sahabatnya, langsung menggoda."Cieee... Ada yang lagi deg-degan nih!"Ayuna semakin tersipu saat Bagas menyapa mereka. Anik membalas sapaan dengan santai, sementara Ayuna tampak gugup. Melihat ekspresi Ayuna, Bagas langsung bertanya, "Ay
Bagas teringat nomor WhatsApp Alana dan ia mencoba memberikan pesan singkat kepada Alana. Didalam isi pesan tersebut, Bagas menuliskan bahwa ia menanyakan apakah Alana juga diajak ke mixue oleh Dewi?Setelah mengirim pesan singkat, Bagas memutuskan untuk tidur sejenak. Matanya dipejamkan dan tidak lama terdengar pesan masuk yang membuat kedua bola mata pemuda itu membuka, "Hai Bagas, kebetulan aku diajak kok" balas Alana lewat pesan.Lalu Bagas mencoba menawarkan diri untuk membonceng Alana, awalnya Alana menolak tawarannya namun akhirnya Alana mengiyakan ajakannya tersebut. Mereka janjian untuk ketemuan di jam tujuh malam, "Tapi jangan jemput di depan rumahku, cukup kita ketemuan di tempat yang tadi aku turun dari motor kamu” tulis Alana di pesan tersebut.Sebenarnya ada rasa penasaran, namun Bagas memilih untuk tidak memikirkan hal yang belum tentu benar, "Paling tidak, malam ini aku bisa barengan bersama dia" gumamnya pelan.Alana menaruh ponselnya ke atas kasur dan menoleh kearah
Perjalanan menuju pulang di malam yang sudah sepi terasa lebih tenang bagi Alana. Angin malam berembus pelan, menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi beban harian. Namun, ketenangan itu sedikit terusik ketika Bagas tiba-tiba berbicara, suaranya terdengar lembut namun tegas."Alana, kita singgah dulu di warung makan, yuk. Aku yang traktir."Alana terkejut. Ia menggigit bibirnya, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menunduk, mencoba mencari alasan. "Maaf, aku sudah makan," jawabnya cepat, berbohong.Bagas menoleh sekilas, menatapnya dengan tatapan penuh arti, lalu tersenyum kecil. "Ayo makan lagi, nanti aku yang bayar."Alana menggeleng cepat, namun Bagas tetap memaksanya dengan nada lembut. "Aku tidak bisa makan sendirian, temani aku, Alana."Setelah beberapa kali menolak, akhirnya Alana mengalah. Mereka berhenti di sebuah restoran binta lima dan tentunya menjadi restoran favorit. Terlihat ada banyak pengunjung yang masih berdatangan ke restoran ini, walaupun sudah larut m
“Ibu, aku...” Alana terdiam sejenak, terlihat ia sedang menggigit bibir bawahnya.Wina yang tengah sibuk merias diri tidak memperdulikan Alana, lalu Alana tetap berpamitan kepada ibunya. “Ibu, aku berangkat ke sekolah dulu” ujar Alana, sembari berniat untuk meraih tangan ibunya namun Wina tetap tidak menoleh.“Sana saja... Jangan ganggu Ibu!” seru Wina dengan nada tinggi. Alana mengangguk lalu pergi secara perlahan.Ia kembali berjalan sembari memikirkan uang SPP yang belum ia lunasi hingga berbulan-bulan. Ia takut, jika gurunya memberikan skor hanya gara-gara SPP tersebut. Sembari berjalan, tiba-tiba seseorang melemparinya botol Aqua yang masih berisi setengah air, sehingga Alana meringis kesakitan.Saat Alana menengok, ternyata yang melemparkan botol berisi air tersebut adalah Dewi yang sedang berangkat ke sekolah yang diantar oleh super menggunakan mobil. Dari kejauhan, nampaknya Dewi merasa puas telah melemparkan botol Aqua tersebut kearah Alana.Sambil berusaha menenangkan perasa
Seorang ibu muda berdiri di hadapan putrinya dengan sorot mata tajam, seolah siap menerkam gadis itu kapan saja."Dasar anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kamu bersyukur bisa makan dan tidur enak, bukan malah menggurui saya... Dasar anak sok suci!" Wina berteriak, menjambak rambut putrinya dengan kasar.Alana meringis kesakitan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Ampun, Ma... Sakit... Hiks..."Tanpa peduli, Wina melemparkan ember berisi pakaian kotor ke lantai. "Sekarang juga, cuci semua ini!"Dengan napas tersendat, Alana mengangguk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi. Dengan tangan gemetar, ia menyeka wajahnya, berusaha menelan kepedihan yang menggumpal di dadanya. Tanpa kata, ia meraih ember penuh pakaian kotor, mengangkatnya dengan susah payah, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah tertatih. Punggungnya yang ringkih seakan menanggung beban yang jauh lebih berat dari sekadar cucian kotor—beban yang menekan hatinya
“Ibu, aku...” Alana terdiam sejenak, terlihat ia sedang menggigit bibir bawahnya.Wina yang tengah sibuk merias diri tidak memperdulikan Alana, lalu Alana tetap berpamitan kepada ibunya. “Ibu, aku berangkat ke sekolah dulu” ujar Alana, sembari berniat untuk meraih tangan ibunya namun Wina tetap tidak menoleh.“Sana saja... Jangan ganggu Ibu!” seru Wina dengan nada tinggi. Alana mengangguk lalu pergi secara perlahan.Ia kembali berjalan sembari memikirkan uang SPP yang belum ia lunasi hingga berbulan-bulan. Ia takut, jika gurunya memberikan skor hanya gara-gara SPP tersebut. Sembari berjalan, tiba-tiba seseorang melemparinya botol Aqua yang masih berisi setengah air, sehingga Alana meringis kesakitan.Saat Alana menengok, ternyata yang melemparkan botol berisi air tersebut adalah Dewi yang sedang berangkat ke sekolah yang diantar oleh super menggunakan mobil. Dari kejauhan, nampaknya Dewi merasa puas telah melemparkan botol Aqua tersebut kearah Alana.Sambil berusaha menenangkan perasa
Perjalanan menuju pulang di malam yang sudah sepi terasa lebih tenang bagi Alana. Angin malam berembus pelan, menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi beban harian. Namun, ketenangan itu sedikit terusik ketika Bagas tiba-tiba berbicara, suaranya terdengar lembut namun tegas."Alana, kita singgah dulu di warung makan, yuk. Aku yang traktir."Alana terkejut. Ia menggigit bibirnya, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menunduk, mencoba mencari alasan. "Maaf, aku sudah makan," jawabnya cepat, berbohong.Bagas menoleh sekilas, menatapnya dengan tatapan penuh arti, lalu tersenyum kecil. "Ayo makan lagi, nanti aku yang bayar."Alana menggeleng cepat, namun Bagas tetap memaksanya dengan nada lembut. "Aku tidak bisa makan sendirian, temani aku, Alana."Setelah beberapa kali menolak, akhirnya Alana mengalah. Mereka berhenti di sebuah restoran binta lima dan tentunya menjadi restoran favorit. Terlihat ada banyak pengunjung yang masih berdatangan ke restoran ini, walaupun sudah larut m
Bagas teringat nomor WhatsApp Alana dan ia mencoba memberikan pesan singkat kepada Alana. Didalam isi pesan tersebut, Bagas menuliskan bahwa ia menanyakan apakah Alana juga diajak ke mixue oleh Dewi?Setelah mengirim pesan singkat, Bagas memutuskan untuk tidur sejenak. Matanya dipejamkan dan tidak lama terdengar pesan masuk yang membuat kedua bola mata pemuda itu membuka, "Hai Bagas, kebetulan aku diajak kok" balas Alana lewat pesan.Lalu Bagas mencoba menawarkan diri untuk membonceng Alana, awalnya Alana menolak tawarannya namun akhirnya Alana mengiyakan ajakannya tersebut. Mereka janjian untuk ketemuan di jam tujuh malam, "Tapi jangan jemput di depan rumahku, cukup kita ketemuan di tempat yang tadi aku turun dari motor kamu” tulis Alana di pesan tersebut.Sebenarnya ada rasa penasaran, namun Bagas memilih untuk tidak memikirkan hal yang belum tentu benar, "Paling tidak, malam ini aku bisa barengan bersama dia" gumamnya pelan.Alana menaruh ponselnya ke atas kasur dan menoleh kearah
Matahari perlahan muncul dari peraduannya, menandakan pagi yang cerah telah kembali. Kehidupan mulai bergerak, hiruk-pikuk aktivitas kembali memenuhi sudut-sudut kota, termasuk di lingkungan sekolah. Para siswa dengan penuh semangat memasuki ruang kelas mereka, siap menghadapi hari yang baru.Di Sekolah Widya Piki Negeri Nusantara, suasana ramai terdengar di setiap sudut. Beberapa siswa-siswi terlihat asyik mengobrol, di antaranya Anik dan Ayuna."Ayuna, kemarin aku senang banget! Ayang beliin aku boneka!" seru Anik dengan wajah berbinar.Ayuna tersenyum ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya. Tak lama, Bagas datang bersama teman-temannya. Ayuna, yang sudah lama menyimpan perasaan padanya, merasa salah tingkah. Anik, yang selalu peka terhadap perasaan sahabatnya, langsung menggoda."Cieee... Ada yang lagi deg-degan nih!"Ayuna semakin tersipu saat Bagas menyapa mereka. Anik membalas sapaan dengan santai, sementara Ayuna tampak gugup. Melihat ekspresi Ayuna, Bagas langsung bertanya, "Ay
Beberapa ibu-ibu julid pada berkumpul didepan pintu rumah Alana, beberapa diantara mereka sibuk membuat konten demi mendapatkan followers dengan menuliskan caption “Ada yang lagi ribut nih”"Pasti bakalan ramai konten ini!" Ucap yang lainnya. Mendengar suara kegaduhan diluar pintu, Wina memutuskan untuk berhenti marah-marah kepada Alana dan bergegas berjalan ke arah depan pintu, menyelidiki suara kegaduhan apa yang berada diluar rumahnya? Wina mulai membuka pintu dengan cepat sehingga mereka para ibu-ibu yang bersenderan dipintu tersebutpun ikut terjatuh dan meringis kesakitan, "Aduhh sakit!“"Eh, Bu Wina! Kalau membuka pintu yang pelan dikit kenapa sih?!” protes salah satu ibu-ibu yang jatuh tersungkur.Wina tersenyum sinis lalu berteriak dengan suara menggelegar hingga membuat mereka kabur tunggang langgang, "Dasar... Cuma segitu doang pada kabur"Wina menutup kembali pintu depan rumahnya dan menghampiri Alana yang masih terdiam di lantai.“Cepat bereskan semuanya!”Alana mengan
Seorang ibu muda berdiri di hadapan putrinya dengan sorot mata tajam, seolah siap menerkam gadis itu kapan saja."Dasar anak tidak tahu diuntung! Seharusnya kamu bersyukur bisa makan dan tidur enak, bukan malah menggurui saya... Dasar anak sok suci!" Wina berteriak, menjambak rambut putrinya dengan kasar.Alana meringis kesakitan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Ampun, Ma... Sakit... Hiks..."Tanpa peduli, Wina melemparkan ember berisi pakaian kotor ke lantai. "Sekarang juga, cuci semua ini!"Dengan napas tersendat, Alana mengangguk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi. Dengan tangan gemetar, ia menyeka wajahnya, berusaha menelan kepedihan yang menggumpal di dadanya. Tanpa kata, ia meraih ember penuh pakaian kotor, mengangkatnya dengan susah payah, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah tertatih. Punggungnya yang ringkih seakan menanggung beban yang jauh lebih berat dari sekadar cucian kotor—beban yang menekan hatinya