Matahari perlahan muncul dari peraduannya, menandakan pagi yang cerah telah kembali. Kehidupan mulai bergerak, hiruk-pikuk aktivitas kembali memenuhi sudut-sudut kota, termasuk di lingkungan sekolah. Para siswa dengan penuh semangat memasuki ruang kelas mereka, siap menghadapi hari yang baru.
Di Sekolah Widya Piki Negeri Nusantara, suasana ramai terdengar di setiap sudut. Beberapa siswa-siswi terlihat asyik mengobrol, di antaranya Anik dan Ayuna.
"Ayuna, kemarin aku senang banget! Ayang beliin aku boneka!" seru Anik dengan wajah berbinar.
Ayuna tersenyum ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya. Tak lama, Bagas datang bersama teman-temannya. Ayuna, yang sudah lama menyimpan perasaan padanya, merasa salah tingkah. Anik, yang selalu peka terhadap perasaan sahabatnya, langsung menggoda.
"Cieee... Ada yang lagi deg-degan nih!"
Ayuna semakin tersipu saat Bagas menyapa mereka. Anik membalas sapaan dengan santai, sementara Ayuna tampak gugup. Melihat ekspresi Ayuna, Bagas langsung bertanya, "Ayuna, kamu sakit?"
Ayuna menggeleng, dan Anik dengan cepat beralasan, "Dia belum sarapan."
Bagas yang memang hendak ke kantin mengajak Ayuna makan bersama. Anik, dengan wajah penuh arti, langsung mendorong Ayuna agar menerima ajakan itu.
"Anik, kamu mau ikut juga?" tanya Bagas.
"Ah, aku kenyang banget!" seru Anik, lalu berjalan menuju kelas untuk mengerjakan tugas.
Sementara itu, Alana baru saja tiba di sekolah. Langkahnya dipercepat menuju kelas, berharap bisa segera duduk dan menghindari perhatian yang tak diinginkannya. Beberapa siswa menyapanya ramah, bahkan ada yang berusaha mencari perhatian lebih padanya. Namun, sebagian siswi justru pura-pura tak melihatnya, seolah keberadaannya tak cukup penting untuk diakui.
Saat tiba di pintu kelas, sekelompok siswa tengah bercanda di sana, tertawa santai tanpa sadar menghalangi jalannya. Alana menelan ludah, menarik napas sebelum berkata pelan, "Permisi."
Salah satu siswi segera menyingkir sambil tersenyum. “Oh, silakan, Alana.” Yang lain mengikuti, memberikan jalan tanpa masalah.
Namun, di dalam kelas, suasananya berbeda. Dewi, salah satu siswi paling populer, meliriknya dengan senyum tipis penuh arti. Ia tak perlu mengucapkan apa pun—tatapannya saja sudah cukup menusuk. Alana menundukkan kepala, berusaha mengabaikan rasa tak nyaman yang kembali muncul.
Di sisi lain, Anik tengah membantu teman-temannya menyelesaikan tugas sekolah. Setelah selesai, Dewi mengajaknya ikut berkumpul malam nanti, "Eh, Anik... Nanti malam mau ikut ke Mixue bareng kita?" ajak Dewi.
Anik mengiyakan. Sebenarnya, Dewi tidak benar-benar menyukai Anik, apalagi Ayuna. Namun, kecerdasan Anik dan kepopuleran Ayuna menjadi alasan Dewi berteman dengan mereka. Berbeda dengan Alana, yang tidak dianggapnya pantas untuk bergaul dengan mereka.
Saat mendengar rencana mereka, Alana merasa penasaran. Dengan sedikit ragu, ia akhirnya memberanikan diri bertanya, "Apa aku boleh ikut ke Mixue?"
Seketika, suasana hening. Kemudian tawa nyaring Dewi memenuhi ruangan. "Alana, aku nggak ngajak kamu, tahu!" katanya meremehkan.
Namun, Anik berbisik sesuatu di telinga Dewi. Setelah itu, Dewi mengangguk dan berkata, "Oke, kamu boleh ikut... Tapi pakai baju yang bagus, ya? Jangan malu-maluin kita dong!"
Alana mengangguk, merasa senang meskipun ada sesuatu yang janggal dalam nada suara Dewi. Ia pun kembali ke tempat duduknya dan bersiap untuk pelajaran bahasa Inggris.
Di kantin, Ayuna masih tampak canggung. Bagas mencoba mencairkan suasana. "Ayuna, kamu suka kucing?"
"Iya," jawab Ayuna singkat. Sementara itu, Devano dan Relandra asyik bermain game di ponsel mereka.
Bagas mengingatkan mereka untuk makan. Namun, Devano berkilah, "Tunggu, aku lagi battle di Mobile Legends!" Relandra, yang menjadi partnernya, ikut sibuk dalam permainan.
Saat mereka selesai makan, Bagas dan Ayuna kembali ke kelas. Tanpa sadar, Bagas menggenggam tangan Ayuna sebentar saat mereka hendak membayar di kasir. Ayuna merasa jantungnya berdegup lebih kencang.
Di tempat lain, seekor kucing liar mengintai makanan yang ditinggalkan Devano dan Relandra. Dengan lincah, ia melompat ke meja dan melahap habis makanan tersebut. Ketika Relandra kembali, ia terkejut.
"Anjir, ada kucing, bro!" serunya histeris, membuat Devano kehilangan konsentrasi dan kalah dalam permainan.
"Shit!" gerutu Devano kesal.
Saat jam istirahat, Ayuna mengajak Alana keluar kelas. "Alana, ayo duduk di halaman bareng kami."
Alana ragu, lalu tersenyum. "Aku di sini saja."
Ayuna mengangguk. Anik menarik tangan Ayuna keluar. Alana merasa hangat. Hanya Ayuna yang selalu mengajaknya berbicara, meski hanya sebentar, namun sangat berarti baginya.
Di halaman kelas, Bagas ingin meminjam sapu lidi. Ia masuk ke kelas dan terkejut melihat Alana sendirian.
"Hai, Alana," sapanya.
Alana menoleh, tak kalah terkejut. "Bagas? Lagi apa?"
"Mau pinjam sapu. Eh, boleh minta nomor W******p-mu?
Alana terdiam sesaat, ia kembali mengingat saat di sungai dan hanya Bagas yang tahu bahwa ia mempunya Mama mucikari. Melihat Alana yang diam membisu, bagaspun mempertegas maksud dan tujuannya meminta nomor whatshapp.
"Biar nanti aku bisa balikin sapunya."
Alana sedikit bimbang, tapi akhirnya memberikan nomornya, lalu Bagas pergi dari hadapannya. Saat sudah keluar kelas, Bagas berpapasan dengan mantan kekasihnya, terlihat Dewi menyapanya dengan genit.
"Bagas, kok langsung pergi aja sih? Aku kan di sini!"
Bagas terkekeh. "Maaf, nggak lihat. Aku buru-buru."
Melihat kesempatan, Dewi mengajak Bagas ke Mixue. Anik ikut mendukung agar Bagas semakin dekat dengan Ayuna tanpa berpikir yang aneh-aneh.
"Ayo, Bagas! Ikut, ya?" bujuk Anik.
Bagas akhirnya setuju, membuat mereka bersorak senang.
Saat pulang sekolah, Alana berjalan sendirian. Bagas yang melihatnya segera menghentikan motornya tepat di samping Alana.
"Alana, ayo aku antar. Rumahmu jauh, lho."
Alana menggeleng. "Aku nggak mau merepotkan."
Bagas tersenyum. "Aku ikhlas, kok."
Setelah ragu sejenak, Alana akhirnya naik ke motor Bagas dan di sepanjang perjalanan, mereka berbincang-bincang dan perlahan menghapus kecanggungan di hati Alana. Untuk pertama kalinya, Alana merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, "Mungkin Bagas lupa dengan ucapan ibu-ibu itu sewaktu di sungai" gumamnya penuh harapan.
"Bagas, cukup... Aku turun di sini saja," ujar Alana pelan.
Bagas menghentikan motornya, "Apakah sudah dekat dengan rumahmu?' tanya Bagas.
Alana turun tersenyum tanpa menjawab pertanyaan itu. Bagas menatapnya, menyadari bahwa gadis itu memiliki sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya ingin mengenalnya lebih jauh.
Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva
Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva
Alana sudah hampir satu minggu tidak masuk sekolah. Kini, merupakan hari pertama ia mulai masuk sekolahnya lagi. Tidak ada hal yang berbeda pada lingkungan sekolah hanya saja ada yang sedikit berbeda dari rautan wajah teman-temannya. Terutama, Dewi yang terlihat tengah berbisik-bisik.Alana melirik Ayuna yang juga menatapnya. Alana berusaha tersenyum kearahnya. Tanpa disadari, Ayuna juga ikut membalas senyumannya. Terlintas sejenak kenangan mereka sewaktu SMP dulu. Canda dan tawa selalu mereka rasakan.Saat Alana termenung, tiba-tiba guru datang dan membuat lamunannya memudar. Pak guru Rahman sedikit kaget saat melihat Alana telah kembali. "Alana, saya dengar kamu sedang sakit. Apa sekarang kamu sudah membaik?" tanya pak Rahman selaku guru IPA."Iya, Pak. Saya sudah sembuh" ujar Alana dengan ramah."Syukurlah, Alana. Maafkan Bapak bila tidak sempat menengok keadaanmu" ujar pak Rahman."Tidak apa-apa, Pak" sahut Alana.Dewi melihat Alana waktu itu tentu tidak percaya kalau Alana tidak
Wina menerima tumpukan uang dari Alexander dengan mata berbinar. Jemarinya bergetar saat menyentuh lembar demi lembar, seolah tak percaya pada keberuntungan yang tiba-tiba datang menghampirinya.“Ah… begini dong, Tuhan,” gumamnya sambil tersenyum puas. “Kalau ngasih rezeki, jangan setengah-setengah. Biar hidup nggak susah terus.”Dengan mata berbinar dan senyum yang tak bisa disembunyikan, Wina memeluk uang itu seperti harta karun yang akhirnya kembali ke pelukannya. Tak ada rasa peduli dari mana uang itu berasal, atau apa konsekuensinya.Di sisi lain, Alana terbangun dengan tubuh terasa nyeri, terutama di bagian bawah. Dahi berkerut, ia perlahan menarik selimut—Lalu jantungnya serasa berhenti.Noda merah membekas di seprai putih. Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Panik menjalari tubuhnya.“Apa yang... terjadi…?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.Seketika, sebuah suara dingin menghantam keheningan dari balik pintu kamar.“Kamu sudah tidak perawan lagi, Alana.”Itu suara Ale
Terdengar suara klakson mobil dari depan halaman rumah, hati Alana seketika resah, ia menebak bahwa suara mobil tersebut berasal dari suara mobil Alexander yang sudah sampai ke rumah. Alana menghela nafas, lalu mencoba keluar dari pintu kamar tidur untuk melihat situasi di ruang tamu. Alana melihat Wina begitu hangat menyambut kedatangan Alexander dengan seribu senyuman termanis.“Tuan Alexander sangat tampan dan gagah!” puji Wina kepada Alexander.“Terimakasih, Wina!” ujar Alexander dengan puas akan pujian tersebut.Menyadari putrinya tengah mengintip, Wina pun berkata, “Alana, ngapain kamu berdiri saja disitu? Ayo kemarilah dan beri salam sama Tuan Alexander!” perintahnya dengan nada mengatur.Alana menunduk pasrah, menahan gelombang rasa yang sulit dijelaskan. Dengan langkah pelan, ia mendekati mama dan Alexander yang tengah berdiri berdampingan. Wajahnya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Begitu pandangannya jatuh pada Alana, sorot mata Alexa
Di dalam kamar ber-AC yang dipenuhi aroma parfum mahal, Anik berdiri di depan cermin besar dengan tatapan kosong.Ponselnya berkedip. Notifikasi dari grup chat bertuliskan “Target: Alana” baru saja muncul. Anik membuka pesan itu dengan jari yang bergetar, bukan karena takut—melainkan karena marah."Maaf Bos, temanmu kabur karena ada cowok yang bantuin."Anik menutup ponsel dengan cepat dan melemparkannya ke atas kasur. Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah cepat, seperti menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya.“Bagaimana bisa gagal? Aku udah pastikan semua rapi,” gumamnya sendiri, giginya bergemeletuk karena emosi. Pandangan matanya tertumbuk pada foto yang menempel di papan gabus—foto Ayuna, tersenyum polos di tengah taman sekolah. ia teringat awal-awal pertemanannya bersama Ayuna. Saat itu…Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela kaca ruang kelas, memantulkan cahaya hangat ke lantai, tapi suasananya justru terasa dingin dan mencekam. Di sudut ruangan, Dewi dan dua sahab