Share

PART 3

JANGAN BANGUNKAN SINGA TIDUR

#JBST

 

PART 3

 

Apa yang dikatakan Diandra membuatku dan Mas Haris termenung. Hanya ada keheningan diantara kami bertiga. Kami berkelana dengan fikiran masing-masing.

 

 

Aku jelas masih ingat. Dulu sewaktu Delisa pertama masuk kuliah aku rutin mengunjunginya sebulan sekali Bersama Diandra. Apalagi jika Mas Idris ada kirim meubel ke Surabaya patsi aku selalu ikut.

 

 

Setiap hari kami bertukar pesan via W******p. Jika ku ingat-ingat sekarang bulan Juli bearti seaktu libur UTS bulan Maret kemarin Delisa sudah hamil tiga bulan. Kenapa aku sampai tak menyadarinya?

 

 

Saat libur UTS Delisa memang pulang. Dia berada di rumah selama satu minggu. Tak ada yang aneh dari sikapnya. Semuanya berjalan seperti biasa. Sampai Delisa kembali ke Surabaya pun aku masih tak menyadari bahwa dia hamil.

 

 

Pada waktu itu aku masih ingat jika aku melihat luka lebam dibetis dan pergelangan tangannya.tapi aku lupa menanyakannya pada Delisa. Aku terlanjur terbuai dengan menghilangkan rasa rindu pada anakku.

 

 

Ya Allah… Kenapa aku bisa selalai ini?

 

 

Apa selama ini Delisa mengalami tindak kekerasan?

 

 

Apa ia diperk*sa?

 

 

Hatiku nyeri membayangkan spekulasi-spekulasi yang berterbangan dibenakku. Sejujurnya sebagai seorang ibu aku tak akan sanggup jika sampai bayanganku itu benar-benar terjadi.

 

 

Sebenarnya aku pun tak percaya jika Delisa mempunyai pacar. Aku mengenal semua teman terdekatnya mulai dari TK sampai kuliah. Sedari sudah baligh Delisa selalu menghindari dari yang Namanya lelaki.

 

 

Ya Allah jika saja Diandra tak menyadarkanku. Pasti ada yang disembunyikan Delisa. Jika saja aku menyadari kejanggalan ini dari awal. Jika saja aku tetap menjenguknya rutin selepas libur UTS kemarin tanpa memperdulikan alasannya yang selalu sibuk dengan acara kampus.

 

 

Seandainya …

 

 

Ya Allah cobaan apa yang kau berikan pada kami ini???

 

 

“Keluarga pasien.”

 

 

Ucapan DOkter yang berdiri diluar pintu ruang UGD itu menyentakku dari lamunan. Kami bertiga serentak berdiri dan menghampirinya.

 

 

“Saya ibunya Dok.”

 

 

Dokter itu tersenyum ke arahku.

 

 

“Mari kita bicarakan di ruangan saya.” Dokter bername tag Hadi Wijaya itu mengajakku dengan sopan.

 

 

“Boleh suami saya ikut?”

 

 

“Silahkan.”

 

 

Aku pamit kepada Diandra melalui isyarat mata yang dijawab dengan anggukan darinya.

 

 

Aku dan Mas Idris mengikuti Dokter Hadi dengan perasaan campur aduk. Perasaanku mengatakan pasti terjadi sesuatu dengan anakku.

 

 

“Silahkan duduk Pak, Bu.”

 

 

“Ada apa dengan anak saya Dok? Anak saya baik-baik saja kan? Cucu saya juga baik-baik saja kan Dok?” cecarku tak sabar.

 

 

Mas Idris menggenggam tanganku. Dengan isyarat matai a mengatakan bahwa aku harus tenang. Tapi sungguh aku sangat gelisah.

 

 

“Sebelumnya saya mohon maaf jika yang saya katakana akan menyinggung Bapak atau Ibu. Setelah saya periksa tadi, saya menemukan seperti bekas luka cambukan dipunggung pasien, namun luka itu sudah mengering. Selain itu, kondisi pasien yang sepertinya selama masa kehamilan ini mengalami stress berat dan banyak tekanan membuat keadaannya sekarang sangat mengkhawatirkan. Ketuban pasien sangat keruh disamping itu, pasien mengalami kontraksi dini, tekanan darahnya pun tinggi dan diperparah dengan kondisi jantung bayinya yang melemah. Saran saya sebaiknya segera dilakukan Tindakan operasi cesar untuk menyelamatkan ibu dan bayinya.”

 

 

Penjelasan DOkter Hadi membuat hatiku mencelos. Yang dikatakan Diandra benar. Delisa apa yang terjadi padamu selama ini nak???

 

 

Aku benar-benar tak percaya cucuku akan lahir premature. Dan disana anakku sedang sekarat.

 

 

Mas Idris menarikku ke dalam pelukannya. Aku menangis sesenggukan didadanya. Ya Allah putriku…

 

 

“Lakukan yang terbaik untuk putri dan cucu saya Dok.” Ucap Mas Idris lirih

 

 

“Saya dan tim medis akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan putri dan cucu bapak. Untuk itu dimohon agar Bapak dan Ibu segera mengurus administrasinya dan pengumpulan data lainnya.

 

 

“Baik Dok. Terimakasih. Kami permisi.” Pamit suamiku

 

 

Aku meninggalkan ruangan Dokter Hadi dengan sesekali mengusap sudut mataku. Air mat aini sungguh rasanya tak akan mengering.

 

 

“Ayah mau urus administrasinya dulu, Ibu disini dulu sama Diandra.”

 

 

Aku hanya mengangguk. Bibirku kelu. Tak tau aku harus berucap apa.

 

 

Diandra menggenggam tanganku. Berusaha menguatkanku. Ya Allah satu lagi putriku harus menjadi dewasa sebelum waktunya.

 

 

“Apa yang dikatakan Dokter tadi Bu?” tanyanya pelan.

 

 

“Kakakmu harus di operasi cesar.” Jawabku pelan.

 

 

Hening taka da sahutan dari Diandra.

 

 

“Sejak kapan Di tau kalau ada bekas luka dipunggung kakak?” tanyaku

 

 

“Tiga hari yang lalu.”

 

 

“Kalau denger kakak mengigau?”

 

 

“Sekitar satu mingguan. Sebenarnya Di mau ngasih tau Ibu tadi tapi malah keduluan kakak kayak gini.” Sesalnya.

 

 

“Ibu… Mungkin menurut Ibu Dii masih kecil. Tapi menurut logika Dii kalau Kak Isa melakukan ini dengan pacarnya kakak nggak mungkin punya bekas luka. Dii juga sering melihat kakak melamun dengan tatapan mata kosong. Apalagi akhir-akhir ini kakak sering mengigau dengan merintih kesakitan. Menurut Dii ada yang enggak beres Bu.”

 

 

Aku mengakui cara putriku menalar masalah ini lebih cepat dariku atau ayahnya. Apa aku benar-benar selalai itu?

 

 

Aku masih termenung tak menanggapi ucapan Dii. Semua yang terjadi membuat dadaku kian tambah sesak. Membuatku kesulitan menghirup udara dengan bebas.

 

 

“Ibu bagaimana keadaan Delisa?”

 

 

Tanpa salam, tanpa sapaan. Pria didepanku yang masih ngos-ngosan ini malah menanyakan keadaan putriku. Melihatnya membuatku membayangkan apa yang sedari tadi aku fikirkan.

 

 

Apa benar dia yang telah membuat bekas luka ditubuh putriku? Membayangkannya saja membuat kepalaku sangat pusing. Kian lama kian tambah sakit. Lalu semuanya gelap.

 

 

“Saputra…..” lirihku.

 

.

.

.

 

❤❤❤

 

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status