Share

PART 2

JANGAN BANGUNKAN SINGA TIDUR

#JBST

 

PART 2

 

Tok Tok Tok

 

 

“Masuk.”

 

 

Kulihat Delisa berdiri diambang pintu kamarku. Berdiri gelisah dengan jari-jemari saling meremas.

 

 

Aku dan Mas Idris saling pandang. Kami hentikan diskusi bagaimana acara akad-an akhir bulan ini.

 

 

“Delisa boleh masuk Yah, Bu?” tanyanya pelan.

 

 

Mas Idris yang akan beranjak meninggalkan kamar segera kucekal tangannya. Kuberi isyarat agar tetap berada di tempatnya semula.

 

 

Perasaanku mengatakan ada yang disembunyikan oleh Delisa. Aku tau benar bagaimana kebiasaannya jika sedang menyembunyikan sesuatu.

 

 

“Ayah jangan pergi izinkan Delisa berbicara seius.” Ucapnya pelan.

 

 

Delisa berjalan mendekat dan duduk disampingku. Berkali-kali ia melirik takut pada Ayahnya.

 

 

“Mau bicara apa kak?” tanyaku lembut.

 

 

“De-lisa—” ucapnya gugup

 

 

“Delisa—”

 

 

“Ngomong aja yang jujur sayang nggak papa kok.” Ucapku meyakinkan keraguannya.

 

 

“Delisa nggak mau menikah dengan Saputra.” Jawabnya lirih.

 

 

BRAK!

 

 

Bantal yang dipegang Mas Idrismelayang menyerempet bahu Delisa. Kutatap dengan Nyalang suamiku yang sekarang wajahnya berubah merah padam.

 

 

“Kurang puas kamu lemparkan kotoran ke wajah Ayah dan Ibu? Dan sekarang kamu ingin melahirkan anakmu tanpa suami? Maumu apa Delisa?” ucapnya mendesis.

 

Kuusap lengan suamiku berupaya untuk menenangkannya.

 

 

“Ayah sabar dulu, dengarkan penjelasan dari Delisa terlebih dahulu Yah.” Ucapku berusaha menenangkannya namun tanganku malah ditepis kasar olehnya.

 

 

“Ayah bukan Ibu yang punya tingkat kesabaran tinggi! Ayah tak bis ajika harus menutupi rasa kecewa Ayah hanya dengan diam! Anak ini sudah sangat kurang ajar! Seharusnya dia dirajam bukan malah dibela seperti ini!” ucapnya berapi-api.

 

 

Delisa yang sesenggukan melihatku dan Ayahnya bertengkar malah mendekat kearah Mas Idris dengan badan bergetar.

 

 

“Ayah dengerin penjelasan Delisa dulu Yah. Delisa mohon maaf.” Ucapnya seraya memegang tangan Mas Idris.

 

 

Plak! Plak!

 

 

“Seharusnya aku tak membesarkanmu! Jika tau akan terjadi seperti ini kubunuh sja sewaktu kau masih bayi!”

 

 

“YAH!”

 

 

Kutarik Delisa kedalam pelukanku yang masih menangis sesenggukan. Bahkan tangisnya malah terdengar lebih pilu.

 

 

“Jangan sakiti anakku! Kamu boleh marah tapi jangan sampai tanganmu menyentuh anakku!” ucapku mendesis.

 

 

“Anak ini lebih baik mati saja! Percuma dibesarkan jika bisanya hanya membuat malu!” ucapnya kasar.

 

 

Mas Idris berusaha menarik Delisa dari pelukanku. Sekuat tenaga kulindungi Delisa dari Ayahnya yang kalap.

 

 

Ya Allah lindungilah Anakku dari kemurkaan Ayahnya.

 

 

“Cukup Yah! Kalau kamu mau pukul Delisa pukul saja aku! Mau tampar? Ayo tampar aku!”

 

 

Wajah Mas Idris sungguh menyeramkan. Wajahnya merah padam dengan gigi saling beradu, kepalan tangannya menunjukkan betapa beliau sangat berusaha keras untuk menahan amarah yang hinggap dijiwanya. Sebenrnya aku juga takut, tapi aku harus kuat agar bisa melindungi putriku.

 

 

Ditengah ketegangan ini aku dikejutkan dengan badan Delisa yang berangsur-angsur bersandar penuh padaku. Badannya lemas. Dan matanya pun terpejam.

 

 

Astaga! Putriku pingsan. 

 

 

“Yah Delisa Yah!” seruku

 

 

“Delisa pingsan!” ucapku panik.

 

 

Mas idris melunak. Aku dibantu membaringkan Delisa dengan perlahan. Melihatnya seperti ini malah membuatku semakin menangis sesenggukan.

 

 

Selamatkan anakku Ya Allah…

 

 

“Kita bawa ke ruamh sakit saja!” putusnya.

 

 

“Kamu panggil diandra aku akan siapkan mobil!” titahnya padaku.

 

 

Fikiranku benar-benar kalut. Aku tak bisa berfikir jernih sekarang. Segera kutinggalkan Delisa dikamar dan menghampiri Diandra di kamarnya.

 

 

Tok tok tok

 

 

“Dii….”

 

 

Tok tok tok

 

 

“Diiii sudah tiduurrr?

 

 

Tok tok tok

 

 

Ceklek! Pintu terbuka dari dalam. Bersyukur Dii belum tidur.

 

 

“Ibu ada apa? Kok mukanya panik gitu?” tanyanya padaku.

 

 

“Kakakmu pingsan.” Ucapku dengan derai air mata.

 

 

“Sekarang ada di kamar ibu.”

 

 

Diandra sontak melebarkan matanya dan berbegas berlari menuju kamarku. Aku mengikutinya dari belakang. Diandra berusaha membangunkan kakaknya yang terbaring lemah dengan menggoyangkan tubuhnya.

 

 

“Ayah kemana Bu?” tanyanya dengan mata berembun.

 

 

“Nyiapin mobil.” Jawabku pelan.

 

 

Mas Idris setengah berlari menuju kamar. Menggendong Delisa seorang diri menuju mobil. 

 

 

Kami memasuki mobil dengan sedikit tergesa. Aku duduk dibelakang memangku kepala Delisa.

 

 

30 menit kemudian kami smpai di Rumah Sakit Kota. Dengan gesit Diandra masuk kedalam memnggil perawat yang sedang bertugas.

 

 

Aku dan Diandra dibantu oleh dua perawat mendorong brankar ke ruang UGD. Sepanjang jalan hatiku gelisah. Aku takut terjadi apa-apa dengan anak dan cucuku.

 

 

“Mohon maaf Ibu, Adik dilarang ikut masuk kedalam. Sebaiknya tunggu diluar.” Ucap seorang perawat berlesung pipit yang tadi ikut menolongku mendorong brankar.

 

 

“Bagaimana dengan Delisa?” tanya suamiku dengan ngos-ngosan.

 

 

Pasti ia berlari dari parkiran kemari.

 

 

“Delisa didalam sedang ditangani Dokter.” Ucapku sesenggukan.

 

 

“Ibu jangan nangis. Sebaiknya kita doakan agar Kak Isa baik-baik saja sekarang.” Ucap Diandra menenangkan.

 

 

“Sebenarnya Di nggak percaya kalau Kak Isa punya pacar. Sedari kecil Di sangat dekat dengan Kak Isa. Kak Isa tidak mungkin berbuat seburuk itu Yah, Bu. Apalagi akhir-akhir ini Di sering mendapati Kak Isa menangis dan merintih kesakitan ditengah tidurnya. Bahkan Di pernah melihat seperti bekas luka cambukan dipunggung Kak Isa.”

 

.

.

.

 

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status