Aku terbangun dari ringkukan tubuh di atas potongan sobekan pakaian suami, setelag dia datang dannkenyentuh bahuku lembut.
"Bund, ayo bangun," ucapnya lirih.Menyadari bahwa yang memegang di bawah gua dalam Mas Imam aku langsung tersentak kaget dan menepis tangannya dengan kasar. Jijik rasanya disentuh dia."Lepaskan aku, beraninya kamu!" jawabku kasar."Aku tahu kau masih marah, aku tidak akan bertanya lebih jauh," ungkapnya sambil bangkit dan membersihkan potongan pakaian ke dalam plastik.Aku bangkit dan dengan cepat kurampas plastik itu dari tangannya dan kembali menghamburkan pakaian yang dia pungut tadi hingga potongan-potongan lain itu berserakan ke udara."Jangan coba mengambil hatiku, aku sudah kehilangan rasa hormatku padamu," jawabku."Aku tetap akan berusaha menjadi suami yang baik," balasnya tersenyum tipis dan kembali berjongkok, mengulang lagi memungut pakaian itu.Melihatnya yang berusaha sabar hati ini makin kesal, aku sudah bertekad tidak akan luluh apapun yang terjadi! Tidak akan pernah!"Kenapa kau pulang, aku tidak sudi kau menampakan wajahmu di rumah ini, anak anak juga masih marah dan belum pulang juga, itu semua gara gara kamu!" aku berteriak sambil mulai meneteskan air mata.Bayangkan rasanya, baru terbangun, masih dalam keadaan setengah mengantuk dan pusing, aku harus berjumpa dengan orang yang sudah menyakiti hatiku.Lalu pikiranku, kembali ke memori terakhir semalam, di mana rasa putus asa dan hancur tiba-tiba merebak di dalam dada. Aku menangis lagi, menjatuhkan air mata yang tidak seharusnya bergulir untuk suami pengkhianat."Pergilah, aku tidak siap berjumpa denganmu," ucapku, kujatuhkan diri di sisi pembaringan lalu menangis tersedu-sedu sedang pria itu datang dan menyentuh lututku, dia bersimpuh dan minta maaf."Aku minta maaf," ucapnya pelan."Apakah kata maaf mampu menebus semua kesalahanmu, apakah minta maaf bisa mengganti waktu yang telah kugunakan untuk setia menunggu dan percaya pada ucapanku? Apakah kata maaf bisa mengubah perasaanmu atau memutar masa lalu agar kau tak perlu bertemu wanita itu?" Aku tak kuasa menahan sedih, bahkan saking pedihnya hati, rasanya aku tak mau hidup lagi.Aku putus asa, seakan akan poros hidupku berhenti di titik ini, aku marah dan protes pada Tuhan, mengapa ia memberi kejutan hadiah yang menyakitkan. Lebih parah lagi aku tak punya siapapun tempat untuk berbagi, karena mertua pun sudah membohongi diri ini.Kalau digali lebih dalam, mengapa ayah dan ibu mertua tega sekali sampai-sampai tak mau memberi tahu, mereka sekeluarga seolah kompak menipuku dalam kebungkaman mereka. Mereka tak menilai bahwa pengabdian dan bagaimana seriusnya aku merawat mereka selama sakit adalah sesuatu yang akan membuat mereka membelaku, tapi nyatanya, mereka lebih memilih wanita itu."Kenapa kau diam saja, Bund?" tanya Mas Imam mengguncang bahuku."Lepaskan aku, kemasi pakaianmu dan pergilah dari rumah ini," usirku."Aku akan menuruti apa maumu, tapi aku mohon, jangan ceraikan aku, aku mohon jangan pula kau tuntut aku untuk memyulitkanku," ujarnya pelan. Kata-katanya terdengar santai, tidak berempati padaku yang sedang tersakiti. Ia Masih memikirkan reputasi sementara aku tidak dalam hitungannya sama sekali.Aku mendongak dan tertawa kesal menatap wajah pria itu, melihat balasanku dia nampak malu, juga gugup, namun tetap tersenyum tipis sedang aku makin malas memandangnya." Apa kau sadar bahwa aku akan mengambil rumah, isinya dan anak anak?""Iya, tidak masalah, itu hakmu, ambil saja, tapi tolong jangan ceraikan aku," pinta lirih."Kenapa tidak? apa kau ingin meminjam namaku untuk mengamankan statusmu di kantor agar kau tetap dapat gaji dan tunjangan? Apa kau akan gunakan hubungan bohong ini sebagai alat untuk mengekangku?""Tidak, aku masih mencintaimu dan menghargaimu sebagai cinta pertamaku," jawabnya."Jangan mencoba membujuk dengan dalih cinta, aku muak mendengarnya. Kau sudah memanfaatkan ku selama beberapa tahun lamanya, Pergilah kau dari rumah ini!" Aku mendorongnya."Aku akan pergi, tapi tenangkan dirimu," ungkapnya pelan sambil merangkul tubuhku.Aku yang tidak terima diperlakukan di demikian langsung berbalik badan dan menamparnya dengan keras.Lancang sekali dia berani memeluk tubuh ini sementara di lain waktu dia membagi pelukannya bersama wanita baru."Jauhkan tanganmu yang kotor dariku, sekarang mungkin aku hancur dan bersedih hati tapi lihat besok aku akan bangkit dan membalas perbuatanmu." Aku emngemas air mata dan rambutku yang berantakan."Jangan lakukan itu aku memang bersalah, aku iba pada wanita itu hingga ...."Plak!Belum selesai dia bicara aku sudah memukul wajahnya dengan kasar, aku melotot padanya dengan garang."Siapa yang menyuruhmu untuk bercerita? Aku tidak bertanya kenapa kau menikahinya dan aku tidak akan pernah ingin tahu.""Aku hanya kasihan ....""Kasihan sembari melihat peluang untuk meniduri wanita cantik itu 'kan?""Dia juga baik, Yanti ....""Dia baik karena kau mau menanggungnya!""Aku sudah menabraknya dan membuatnya menderita," ungkapnya pelan. Kini dia yang terlihat putus asa mendudukkan dirinya di dekat meja."Kau bisa menanggungnya tanpa menikahinya, kenapa kau tak bicara? kenapa kau tak jujur?!" Aku melemparnya dengan remote AC hingga benda itu hampir mengenai matanya andai dia tidak mengelak."Karena kau pasti akan marah," jawabnya dengan nada yang amat pelan."Tentu, lihat aku murka, murka sekali, bahkan aku menggila, Mas! Kau puas sekarang?!""Aku tidak memberi tahunya bahwa aku punya istri!""Tapi kini dia sudah tahu, dan siap ditinggalkan, lalu apa yang kau tunggu lagi?"Pria itu terdiam dan menelan ludahnyaBaru hendak melangka pergi dan ingin melaporkan perbuatan Mas Imam ke atasannya, tiba tiba wanita itu muncul dari balik gerbang dan membawa anaknya.Seketika urat syarafku tegang, aku murka dengan keberaniannya sekaligus cemas, khawatir kedua anakku datang dan mendapati gundik ayahnya ada di rumah.Bersegeralah diri ini turun untuk mengusirnya."Apa maumu di sini?" Wanita itu terkesiap melihatku membuka pintu, tangannya yang hendak mengetuk masih menggantung di udara."Aku ingin bicara baik-baik," jawabnya tegas.Beraninya wanita ini menatap mataku!"Aku tidak punya waktu!"jawabku dingin."Tapi, aku ingin kau meluangkan waktu, karena ini tentang kita semua, Mbak.""Jika kau seberani ini, untuk apa kau menyembunyikan diri selama itu untuk jadi istri simpanan? Kenapa tidak datang tunjukkan dirimu dari dulu._?""Aku tak mau membahas itu, aku ingin mengajukan sidang isbat nikah untuk mendapatkan pengesahan hukum, aku ingin Mbak memberi kesaksian untuk itu," ucapnya tanpa malu.Betapa pan
Meskipun menghadapi kemarahan demikian tetap datang dan mengetuk pintu kamar dan mengajakku bicara."Aku akan tetap meninggalkan uang ini meski kau menolaknya," ujarnya dari balik pintu kamar."Aku tidak mau menerimanya!""Lalu Bagaimana cara agar kau menerimanya, lantas bagaimana cara kalian akan belanja dan kebutuhan anak-anak kita?"Anak-anak kita katanya ... Hmm."Ada caranya aku mau menerima uang itu, berikan semua gajimu dan kau tidak boleh pergi lagi ke rumah wanita itu, kau mau?!""Jangan begitu kejam, Bunda, Kasihan juga dianya.""Kasihan ... kasihan, selalu ngomong kasihan, ada apa sebenarnya, apa yang sudah kau lakukan pada wanita itu hingga kau turun iba begitu besarnya?"'"Duh Bunda ini rumit ... tolong bantu aku dan berdiri di sampingku, dukung aku," ucapnya mengharap."Mendukungmu? Jangan mimpi!""Bund, buka pintunya ..."Karena tidak tahan mendengar bujukannya aku lantas mengambil sebuah parfum dari atas meja rias lalu melempar pintu itu agar dia berhenti menggangguku
"Bunda, boleh Vito bicara?" Malam ini putraku mendekatiku yang sedang duduk di balkon lantai dua, pemuda itu menggeser kursi sehingga kami duduk berdekatan, memandangi langit malam yang tak lagi berkelipan oleh cahaya bintang."Boleh aja, sayang, ngomong aja," ucapku tersenyum."Apa yang akan Bunda lakukan pada ayah?""Jujur tidak tahu,apa yang harus bunda lakukan dan dimana kemana hubungan ini, bagaimana kita selanjutnya, Bunda masih belum ada bayang-bayang.""Apa Bunda ingin bercerai?"tanyanya dengan tatapan sedih."Kalau kalian keberatan Bunda tidak akan melakukannya," balasku"Apa hanya karena wanita bodoh itu, Bunda harus mengalah? kita akan kehilangan ayah. Mungkin saat ini ayah hanya salah jalan, ayah hanya dimanipulasi dan dibodohi, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini tanpa harus menghancurkan keluarga," ucapnya dengan suara bergetar."Bunda kecewa, makin kecewa karena beberapa tahun belakangan Bunda tidak menyadari apa yang terjadi. Di samping itu, sebuah fakta baru teru
"Pergilah, ada atau tidak adanya dirimu sudah tidak berpengaruh lagi dalam hidupku," jawabku lantang."Aku sudah mencoba sabar dan mengambil hatimu tapi kalau memang berhati batu," ucapnya sambil melangkah, masuk ke kamar, menurunkan koper dari lemari dan memasukkan pakaian ke dalamnya.Sekarang justru dia yang memutar balikkan fakta dan mencoba menyalahkanku, Dia benar-benar tidak punya malu dan perasaan."Kau pikir semudah itu menerima penghianatan orang lain? kau pikir aku senaif itu! jangan khawatir aku tidak akan mencegahmu pergi justru aku akan membantumu berkemas-kemas," jawabku sambil membuka lemari dan melempar pakaiannya ke lantai dengan kasar.Dia memungutnya sambil mendelik padaku lalu memasukkan secara acak ke dalam koper."Mulai hari ini jangan datang lagi ke rumah ini, aku tidak sudi menatap wajahmu!""Kau pikir aku bersenang hati mau bertemu denganmu, kalau bukan demi anak-anak aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini.""Jangan berkata seolah-olah aku memaksamu dalam
"Kak ayo pergi aja, Kak," ucapku pada di sulung, Aku berusaha mengajaknya kabur sebelum Mas Imam menyadari bahwa yang datang adalah kami."Gak usah Bunda, ini kuenya sayang," jawab anakku berusaha menahan perasaan meski matanya mulai berkaca-kaca.Mas Imam perlahan mendekat sementara aku menahan napas menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Dan ketika kami berpapasan di depan pagar rumahnya, suamiku terlihat kaget, syok, dan salah tingkah."Ka-kalian, kalian lagi ngapain di sini?" tanyanya terbata-bata."Ini Pak kuenya, totalnya 560 ditambah ongkir," ucap anakku dengan wajah dan suara yang datar."I-iya, Dek," ujar Mas imam sambil menelan ludah."Buruan Imam, acara mau dimulai," panggil Ibu mertuanya sambil berkacak pinggang."Sayang ... apa perlu aku harus datang ke situ untuk membantumu?" tanya Sari dengan suara lantang yang dengar disengaja untuk memamerkan kemesraan mereka.Sepertinya dia tahu bahwa yang datang mengantarkanku kue adalah aku."Eng-enggak usah, aku baik baik aja." Ia
Melihat tingkah anakku yang tengil, wanita tua itu merasa dipermainkan dan dia tersinggung mendapati perlakuan demikian.Dirogohnya tas lalu mencoba menelpon seseorang."Aku lagi di rumah kamu untuk membersihkan apa yang ada di dalamnya?"Ucap wanita itu sambil melotot kearah Kami bertiga."Rumah mana lagi kalau bukan rumah jalan ?Melati, di sini banyak sekali sampah yang harus disingkirkan," ujar wanita yang gayanya sangat berciri khas wanita tradisional yang masih menjunjung martabat dan gengsinya."Ya, Anda adalah sampah yang harus segera dibersihkan dari rumah kami," timpal anakku dengan santainya sambil melempar kulit kuaci, dan mengenai sasakan rambut wanita itu."Kalian sadarlah bahwa Imam sudah melempar kalian dari hidupnya, kalian juga sudah menantang jadi jika bersikeras untuk tidak mengikuti peraturan Imam maka silakan kalian tinggalkan tempat ini karena ada orang yang lebih berhak masuk ke dalamnya dan menikmatinya.""Oh, jadi yang lebih berhak masuk anakmu yang pelakor
___🍓🍓🍓__"Sayang ... Mas Imam," jerit wanita itu mendekati Mas Imam yang tersungkur.Dia yang terkena hantaman vas bunga menggeliat pelan sambil memegangi kepalanya. Mengerang lalu berusaha bangkit dengan dibantu istri barunya."Aku akan melaporkanmu ke polisi karena sudah menyerang suamiku," ungkap wanita itu marah."Silakan aku tidak takut, tindakan kasar masih Imam sudah tidak bisa kuterima lagi, dia sudah kehilangan akal sehatnya.""Kamu itu yang gila," tuding Ibu mertuanya, " ... andai terjadi sesuatu pada imam, aku akan membuat kamu menyesal," ucapnya mendelik sambil membantu Mas Imam berdiri.Pria itu tidak mengatakan apa-apa hanya berdiri dan menatapku dengan pandangan syok, tentu saja dia tidak menyangka apa yang akan kulakukan."Ayo pulang, Buk, Sari," ajaknya.Karena mendengar keributan, beberapa tetangga terlihat keluar dari rumah mereka, dan nyaris masuk ke dalam rumah kami andai saja Mas Imam tidak segera mengajak istri dan mertuanya pergi."Ada apa ini, Bu Yanti?"Me
___🍓🍓🍓___Tidak terasa gagang telepon terlepas dari tangan dan tubuhku tubuhku tersungkur lemas ke kursi, jiwaku terenggut oleh sesuatu yang tidak bisa kupahami, mendadak pikiranku kosong."Ada apa Bunda, apa yang terjadi?" tanya anak-anak yang langsung mendekat dan mengguncang bahuku."A-ayah, sudah menjatuhkan talaknya," jawabku.Kedua anakku saling pandang, lalu menghampiri dan berusaha menguatkan."Jangan sedih, Bunda, justru bagus karena ayah sudah menerangkan keputusannya, jadi Bunda tidak galau lagi.""Ya, benar juga.""Untuk apa juga meminta ayah tega dengan kita, kalo ayah sendiri tidak mau, percayalah,jika pada akhirnya dia tidak betah dengan istrinya yang itu pasti ujung-ujungnya akan cari Bunda juga," ungkap Vito."Dan di hari ayah mencari bunda di situlah kita pun akan mencampakkan dia," timpal Erwin dengan mata berkilat, terlihat sangat marah dan benci pada Mas Imam."Sudah Bund, yang menangisi orang yang tidak pantas kita tangisi, Dia sedang berbahagia dengan keluarg