"Apa yang terjadi di sini, Bunda?" tanya Vito dengan wajah heran sementara Erwin kakaknya seperti biasa selalu bersikap tenang.
Semua yang ada di sana hanya terdiam, wajah Mas Imam juga nampak malu pada kedua anaknya."Siapa dia?" tanya Vito sambil mencolekku."Istri ayah dan adik kalian," jawabku pelan."Apa?""Iya, ayah sudah menikah sejak lama tanpa sepengetahuan kita," jawabku getir. Menjelaskan itu aku tak tega menatap mata anakku, aku tak takut tak sanggup menahan air mataku."Kenapa Ayah?" tanyanya pelan.Mas Imam mendongak, tidak ada jawaban sepatah kata pun dari bibirnya. Karena kecewa tak mendapat pernyataan apa-apa dari anggota keluarga, Vito merangsek pergi dengan cepatnya sedabg Erwin menyusul dia secepatnya."Vito, tunggu!"Para tetangga kembali bergumam, mereka riuh rendah mengomentari kehancuran keluarga kami dan menyesalkan tindakan Mas Imam yang tidak jujur dan mengecewakan anak anaknya."Ish, anaknya kecewa," ujar seorang tetangga."Jangan jangan si anak pergi melampiaskan kekesalan dan terlubat pergaulan bebas, biasanya anak-anak kayak gitu hidup mereka pasti frustrasi." Komentar seorang ibu sontak membuatku khawatir."Jadi bagaimana Mas? Kau akan ikut pulang denganku dan meminta maaf pada anak-anak lalu meninggalkan wanita ini, atau kau pilih dia?" tanyaku dengan tatapan tegas."Jangan menekan dengan pilihan semacam itu, masih ada cara untuk memperbaiki semuanya, jika kita bisa berdamai mengapa harus bermusuhan?" tanya Mas Imam dengan nada seolah olah dia sungguh naif."Aduh si Bapak enak banget ngomong damai-damai, makanya Pak, jangan asal kawin aja," timpal seorang Ibu bertubuh tambun yang langsung ditegur Pak RT agar tidak menyela."Aku menunggu jawaban, Mas?""Maaf, pulanglah kamu, aku akan menyusul.""Tidak bisa! kamu harus pulang sekarang, kutekankan sekali lagi, jika kau tidak pulang hari ini maka tidak perlu pulang sekalian," ungkapku tegas."Lalu bagaimana dengan Sari dan anaknya? jangan egois Nak, dia juga wanita dan punya anak sepertimu, bagaimana pun Imam adalah suami yang mencintai kalian," ungkap ibu mertua yang kini membuka suara."Jangan membicarakan cinta saat ini Bu, aku hanya ingin ketegasan, jika dia memang mencintaiku, tentu akan dijaganya perasaanku. Sekarang aku mau tahu, dia pilih aku atau wanita ini?""Kau dan anak anak sudah dewasa, mestinya kalian mengertilah," gerutunya."Kau ingin kami menerima perbuatan nikah dibawah tangan ini?""Kami nikah dengan sah!""Kau sudah memalsukan dokumen, aku bisa menuntutmu!""Kalo begitu lakukan saja!" teriaknya kalap, aku terkesiap di depan orang banyak, kaget dengan ucapannya sementara sesaat dia tersadar tersadar dengan kekasarannya lalu terduduk lesu sambil mengusap wajah."Ayo, Pak, Bu, kita pulang saja." Aku mengajak kedua orang tuaku pergi." ... Ibu dan Bapak mertua, terima kasih karena kalian sudah mengungkapkan kebenarannya," ucapku sambil menahan buliran air mata. Kukuatkan hati agar tangisanku tidak tumpah di depan warga.Kuraih ibu dan memapahnya pergi, sementara orang orang semakin riuh memberi komentar dengan opini iba dan sebagian lain menyakiti."Maaf Bu, jika aku harus membuat ibu ada di sini," bisikku sambil membantu ibu duduk ke dalam mobil taksi."Tidak apa, kamu yang kuat ya," jawabnya menggengam tanganku."Ibu pulanglah, aku akan berkunjung besok," ujarku sambil menutup pintu mobil itu."Kamu tidak ingin kami menyusul ke rumahmu dan membantu membujuk anakmu?""Tidak usah, Bu. Kami akan baik-baik saja," jawabku memaksakan senyum."Sabar ya, ini ujian rumah tangga." Mata ibu nampak berkaca-kaca, namun ia tak lupa menyunggingkan senyum terbaik, aku pun tersenyum meski hati ini hancur tidak bersisa.Sesampainya di rumah, tidak ada siapapun, lengang, dan sunyi. Kucoba menghubungi vito namun ponselnya tidak aktif, jadi, aku menelpon Erwin dan anakku membalas jika mereka sedang pergi ke rumah temannya, dia meyakinkanku bahwa mereka akan baik-baik saja.Setelah menutup telepon aku langsung beralih ke kamar dan menyalakan steker lampu. Kuedarkan pandanganku pada tempat tidur kami yang masih tersusun rapi. Aku tahu persis bahwa Mas Imam sangat menyukai kebersihan dan kerapian jadi aku selalu berusaha untuk menciptakan suasana rumah yang nyaman untuknya.Tempat tidur yang selalu rapi dan wangi, di dekat rak buku ada kursi baca yang selalu selalu menjadi tempat santai Mas Imam untuk menghabiskan waktunya, aku seolah melihat bayangan suamiku sedang duduk dan tersenyum di sana. Ada lemari pakaian dengan kaca panjag dan kaca rias yang selalu menjadi tempat favorit kami ketika akan pergi ke suatu tempatm Dia selalu memberikan pujian terbaik manakala melihat pantulan wajah istri yang menurutnya sangat dia cintai."Kau adalah ciptaan Tuhan Yang terindah Yang pernah kumiliki," bisiknya ketika aku mengenakan anting-anting mutiara."Jangan menggombal," ujarku menusuk tuksedonya dengan ujung jari."Sungguh, Andai perasaan cinta ini berbelok maka aku sudah tidak waras lagi," jawabnya sampai membingkai wajahku dan mendaratkan kecupan paling indah.Tapi, ah, tapi ... semua itu hanya ilusi, apa yang diucapkan tidak sejalan dengan kenyataan. Dia berbohong padaku, mendustaikui dan mencederai janji suci kami.Di pantulan kaca panjang itu seakan-akan aku melihat suamiku dan wanita itu saling berbagi kasih, saling memberi kehangatan dengan cara paling liar sehingga kucabut sepatu dan melemparnya ke kaca itu."Enyah kalian!" teriakku.Prang!Kaca pecah berkeping-keping, berserakan ke lantai, aku tergugu pilu dan menyaksikan kepingan kaca-kaca itu layaknya hatiku yang tidak akan pernah terobati sakitnya. Rasanya dunia ini sudah berakhir, kebahagiaanku sudah sirna, tidak ada lagi harapan, tidak akan ada lagi tawa atau senyum selain kelam dan gelap yang panjang. Semuanya berakhir sampai di sini."Kalau tak hendak kembali padaku, untuk apa aku menunggu?" batinku meronta, sat sisi ingin berusaha sabar dan tegar sementara sisi lain sebaliknya, berapi, murka dan ingin menggila.Kubuka lemari, kucabut semua pakaiannya dari gantungan, begitu pun yang tertata rapi,. Kulempar semuanya dengan acak tanpa sisa.Kuambil gunting di laci kaca rias lalu menggunting dan mengoyak semua pakaiannya dengan sakit hati yang bertambah-tambah. Aku menangis sambil menghitung tiap sobekan kemeja suami yang mengandung banyak kenangan dan peristiwa.Aku menagis pilu sampai-sampai tak bisa mengembalikan tarikan napasku, sesak sekali, sesak dalam definisi yang sebenarnya. Dan pada titik terakhir aku mengerti bahwa sekuat apapun kemarahanku, mereka yang di sana saling menghibur dan menguatkan hati, saling memeluk dalam kesyahduan malam, dan aku iri sekali.Sementara aku meringkuk, meluluhkan air mata yang tak henti-hentinya, mencoba meraup kembali hatiku yang berderai seperti pecahan kaca. Dan ah, aku dan potongan pakaiannya saling peluk-memeluk dalam kepahitan yang sempurna.Part lima bentar lagi ya.â¤ď¸Mendengar ucapan Mas Hamdan yang sangat lugas tentu saja ibu mertua merasa tidak enak kepada calon menantunya yang kini menangis tersedu dan putus asa ibu mertua segera bangkit dan mencegah mas hamdan melanjutkan perkataannya sambil mendekati Haifa dan merangkul wanita itu."Cukup Hamdan, cukup!""Ibu, biarlah Haifa tahu kenyataan sebenarnya agar dia tersadarkan dan bisa membuka hatinya untuk cinta yang baru. Wanita itu adalah wanita yang cantik dan sukses, dia bisa dapatkan laki-laki manapun yang dia inginkan.""Sudah cukup Mas, Kamu sudah menikah jantungku dengan kalimat-kalimatmu ucap wanita itu sambil merangkum tangisannya yang melolong sedih kedua anak kami yang baru saja pulang sekolah juga kaget melihat drama yang terjadi di ruang tamu. Mereka memandang kami dengan kernyitan dahi yang begitu heran."Ada apa Bunda?""Pergilah ke dalam.""Gak bisa Bund, kami juga berhak tahu," jawab Erwin."Ini masalah kami berempat, pergilah ke dalam," tegasku.Setelah memastikan anak-anak be
âMas, aku sungguh minta maaaf atas apa yang terjadi Mas, situasinya memanas, Yanti mulai melawan ibu dan menyerang mental beliau, Yanti mulai menunjukkan taring dan keberaniannya untuk mendominasi di dalam rumah ini. Aku sungguh tidak menyangkanya Mas," ujar Haifa yang segera saja ingin mendapatkan pembelaan, dengan panik dan memasang wajah polos dia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Mas Hamdan.Dia pikir suamiku akan percaya semudah itu padanya. "Aku dengar percakaan kalian dari luar.'âTapi itu hanya sebagian kan Mas? kau pasti tidak dengar dengan detil dari awal?â ucap haifa yang terus be rusaha meracuni pikiran suamiku.Sekuat apapun dia berusaha untuk meyakinkan mas hamdan wanita itu tetap dijauhi, jangankan mau disentuh, dihampiri daja suamiku langsung menjauh menjaga jaraknya.âMas kamu kok hindarin aku?ââKita ini bukan mahram! jaga sikapmu, kau bersikap seperti anak kecil di hadapan ibu dan istriku, apa kautak sadar?ââSaya masih tunangannya MasâŚ" Ada bola bening yang t
"Apa?!"Kedua wanita itu kompak berteriak dengan mata terbelalak Haifa sendiri sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatapku dengan tatapan melotot.""Apa kau yang menghasut Hamdan untuk memutuskan semua ini, Yanti?""Sudah ku bilang aku tidak berminat ikut campur, tapi aku hanya akan berdiri sesuai dengan batasan dan tugasku. Aku mengikuti apa saja kehendak mertua dan suami .... tapi semenjak mengetahui bahwa suamiku sendiri tidak setuju dengan sandiwara yang kalian buat dan pernikahan settingan ini, aku jadi punya kekuatan untuk membela Mas Hamdan," jawabku."Kau pikir kau hebat? kau pikir pengaruhmu telah mengubah Hamdan sepenuhnya dan membuat dia tidak akan mendengarkan orang tuanya, hah?" Ibu berteriak, tapi setelahnya Dia terpaksa mendudukkan diri karena akhirnya wanita itu tersengal-sengal capek dengan emosinya sendiri.Sebenarnya aku sama sekali tidak mempengaruhi Mas Hamdan tapi prinsip dan kemampuan lelaki itulah yang membuat dia akhirnya mengambil keputusan untuk men
"Oh iya? sok jago sekali kamu ingin menunjukkan dominasi dan betapa hebatnya kau di rumah ini, padahal kamu hanya orang datangan yang tidak pernah tahu apa-apa," ucap Ibu Syaimah sambil mengacungkan jemarinya ke wajahku."Saya memang orang datang dengan ibu namun saya terikat secara emosional dan secara hukum dengan keluarga ibu. Hamdan adalah suamiku dan ibu adalah mertuaku di mana aku harus memperlakukannya dengan pantas sebagai orang tua. Jadi harusnya Ibu pun memperlakukan aku seperti anak.""Dirimu jadi anakku? Sejak kapan? Sejak kapan kau punya pemikiran seperti itu. Selama ini hanya aku yang bersikap baik padamu, sementara kau, acuh tak acuh saja, kadang aku melihat bahwa kau tidak pernah tulus dalam mengurusiku!"Astagfirullah, tega-teganya Ibu mengatakan hal demikian padahal aku selalu tulus mengurusnya, penuh cinta kasih menyiapkan makanannya dan selalu memberinya perhatian yang pantas ia dapatkan. Tega-teganya Ibu mengatakan itu di hadapan Haifa dan mempermalukanku."Jadi
"Saya pergi dulu, permisi ya Pak, Bu, saya minta maaf dan memohon perngertiannya."Klik.Akhirnya ponsel pun di matikan, dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku paham betul posisi mas Hamdan yang telah dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberanian dan ketenangan dirinya untuk bicara pada keluarga yang emosional itu. Nampaknya mereka semua sangat tidak terima dengan keputusan Mas Hamdan dan merasa kecewa sekali serta tidak mampu menyembunyikan kemarahannya.Sekarang setelah suamiku mengumpulkan keberanian untuk menemui keluarga Haifa maka aku sendiri juga akan bertindak untuk menyelesaikan masalah yang ada di rumah ini. Masalah itu harus diperselesaikan bersama tidak boleh hanya di bebankan pada satu bahu saja.Segera kurapikan diriku dan jilbabku lalu turun ke ruang tamu di mana Ibu dan Haifa masih sibuk berbincang dan membicarakan masa depan mereka.Aku ketuk pintu sambil mengumpulkan nafas, aku tarik dalam-dalam nafas lalu membuangnya, kemudian mendorong pintu dan masuk
"Tapi Nak Hamdan, sudah terlanjur bahagia dengan pertunangan itu, semua keluarga juga sama, terutama Nenek Haifa yang kini sakit sakitan, kami khawatir mengetahuinya cucu dicampakkan Ibuku akan sangat syok dan kena serangan jantung.""Saya bisa memaklumi itu, tapi tidak bisa memaksakan keadaan, kalaupun saya tetap berpura-pura jadi tunangan Haifa maka itu akan melahirkan kebohongan demi kebohongan berikutnya. Saya bukan tipe orang yang suka berbohong dan bersandiwara."Tiba-tiba dari seberang sana aku bisa mendengar ibunda Haifa menangis terisak dengan kesedihannya. Di sisi lain di rumah ini Haikal dan ibu mertua sedang tertawa-tawa di ruang tamu khusus wanita. Mereka bersenda gurau layaknya ibu dan anak, sementara diri ini dan Mas Hamdan berada di tengah-tengah kegalauan dan kebingungan itu."Ibu tolong maafkan saya ya, saya mau pergi dulu," ucap Mas Hamdan."Baiklah, Nak Hamdan. Jika itu keputusanmu, maka kami akan pasrah, tapi tolong, jika ibumu mengharapkan Haifa jadi menantunya,