Baru hendak melangka pergi dan ingin melaporkan perbuatan Mas Imam ke atasannya, tiba tiba wanita itu muncul dari balik gerbang dan membawa anaknya.
Seketika urat syarafku tegang, aku murka dengan keberaniannya sekaligus cemas, khawatir kedua anakku datang dan mendapati gundik ayahnya ada di rumah.Bersegeralah diri ini turun untuk mengusirnya."Apa maumu di sini?" Wanita itu terkesiap melihatku membuka pintu, tangannya yang hendak mengetuk masih menggantung di udara."Aku ingin bicara baik-baik," jawabnya tegas.Beraninya wanita ini menatap mataku!"Aku tidak punya waktu!"jawabku dingin."Tapi, aku ingin kau meluangkan waktu, karena ini tentang kita semua, Mbak.""Jika kau seberani ini, untuk apa kau menyembunyikan diri selama itu untuk jadi istri simpanan? Kenapa tidak datang tunjukkan dirimu dari dulu._?""Aku tak mau membahas itu, aku ingin mengajukan sidang isbat nikah untuk mendapatkan pengesahan hukum, aku ingin Mbak memberi kesaksian untuk itu," ucapnya tanpa malu.Betapa panasnya hati ini, seolah dia menyiramkan bensin di atas kepulan api dadaku langsung terbakar mendengar permintaannya yang tidak tahu malu."Beraninya kau meminta persetujuanku, enyah kau dari rumah ini!" Aku langsung bangkit dan menyuruhnya pergi."Itu adalah cara terbaik," ungkanya tersenyum, " atau aku dan Mas Imam akan menempuh jalan yang lain untuk memisahkan pernikahan kami, yaitu, Mas Imam akan menceraikan Mbak Yanti," jawabnya pelan, setengah mengancam, mencoba menakut-nakuti diriku."Pergi keluar dari rumah ini atau aku akan memecahkan kepalamu dengan asbak!" teriakku.Anak perempuan Sari nampak ketakutan, dia menyembunyikan wajahnya ke pelukan ibunya. Melihat itu mau tak mau aku harus menurunkan tensi kemarahanku."Kamu gak khawatir kalo mas imam melihat perlakuan kasarmu Mbak?""Persetan dengan kalian! Aku tidak peduli, dia mau menceraikanku atau tidak, pergi dan beritahu suamimu aku siap ditinggalkan!" teriakku menjauh.Menyadari bahwa aku tak hendak memanjangkan percakapan akhirnya wanita itu memutuskan untuk pergi membawa anaknya dari rumahku.**Sore hari, pukul empat Mas Imam datang, dia berjumpa anaknya di taman depan, kedua pemudaku saat itu sedang duduk di kursi taman menikmati udara sore seusai menyiram tanaman.Mas imam datang dan menutup gerbang, seperti biasa di tanggal gajian dia selalu pulang membawa bungkusan, entah itu makanan atau hadiah, tapi itu adalah ritual bulanannya untuk membahagiakan kami.Dia mendekat dan menyapa putranya,"Hai, Nak, ayo masuk, Ayah bawa martabak," ajaknya tersenyum lebar.Menanggapi ucapan ayahnya kedua anakku tidak memberikan ekspresi apa-apa hanya menatap lalu membuang pandangan mereka ke arah lain. Aku tahu persis kedua anakku sangat marah dan kecewa, namun mereka tidak mau menyulut pertengkaran karena kami tidak pernah mendidik mereka untuk melawan atau mendebat orang tua. Melihat sikap anaknya yang begitu dingin, Mas Imam lantas terdiam lalu masuk ke dalam rumah.Dia melihatku berdiri di jendela dan tentu paham bahwa aku menyaksikan yang baru saja terjadi."Aku bawa makanan, ini martabak telur kesukaanmu," ucapnya ramah.Mungkin keramahannya adalah sikap yang dipaksakan untuk berusaha mengambil hatiku, aku muak dengan itu."Jangan bawa apa-apa lagi ke rumah ini, kau sudah punya istri dan anak lakukan hal itu untuk mereka.""Aku tidak ingin mengubah kebiasaan," ucapnya sambil melepas sepatu dan kaus kaki lalu meletakkannya rapi di rak sepatu."Kau sudah makan, Bund, aku lapar sekali,", ucapnya menuju wastafel dan mencoba menemukan makanan di balik tudung saji. Namun sayang tidak ada apa-apa di sana."Kamu gak masak Bund?"Aku tidak menjawabnya melainkan hanya menatapnya dengan tajam dan dia menelan ludah melihat tatapanku."Baiklah, tidak usah marah, tidak apa, aku akan malam martabak saja," balasnya."Jangan mencoba untuk terus menyalahkan aku tidak akan pernah luluh!""Mungkin tidak sekarang, tapi seiring berjalannya waktu, kau pasti akan memaafkanku."Dia mengambil plastik berisi martabak lalu membawanya ke meja makan dan mulai menyantapnya.Setelah selesai makan suamiku lalu mencuci tangan dan menghampiriku di sofa ruang tamu."Aku ingin memberikan uangmu," ucapnya sambil menyodorkan uang ke atas meja, kulirik tumpukan itu, dan tahu pasti, gajinya sudah dibagi dua."Tidak usah, aku tak butuh uangmu! jangan beri aku uang lagi, aku bisa cari uang sendiri," balasku ketus."Tapi ini hakmu sebagai istriku!""Asal kau tahu ya, uang itu sebenarnya tidak cukup untuk kebutuhan sebulan, tapi dengan kecermatanku, aku berusaha untuk mengelola sebaik mungkin dan tetap memastikan kalian makan enak, apapun caranya! kau tahu kapan terakhir kali aku membeli pakaian? Kapak terkahir kali aku beli perhiasan?""Maaf ....""Gaji pas-pasan saja kau berani beristri dua! Ambil uangmu, aku tidak butuh!" Kutepis uang yang ada di atas meja kaca dan kertas kertas bernilai itu berterbangan ke lantai."Nanti kalo gaji bonus keluar akan kuserahkan semuanya padamu untuk kau membeli baju baru dan emas," bujuknya."Aku tetap menolaknya! aku menolak kebaikan, dan semua perhatianmu, menjauhlah dariku!""Yanti Mana mungkin aku menceraikanmu dan meninggalkan anak-anakku, menikah lagi bukan berarti aku tidak mencintai kalian, aku hanya kasihan pada wanita itu dan merasa bertanggung jawab atas hidupnya.""Bagus, kau merasa bertanggung jawab kepada hidup wanita lain, mungkin kau orang tuanya," ujarku sinis."Tolonglah, hentikan kemarahan ini," bujuknya lembut."Sampai kapanpun, aku tidak mau memaafkanmu! Pergi dan pulanglah ke rumah istri barumu yang katanya kalau aku tidak segera menyetujui surat izin pernikahanmu, maka dia mengancam untuk menceraikan kita!"Dia terkesiap, mendengar perkataanku, sedang aku menjauh, dia mengejarku dan mencekal pergelangan tangan ini."Kapan dia bilang begitu?" tanyanya dengan raut cemas."Tadi pagi! Sampaikan salamku bahwa aku sangat salut dengan keberaniannya!" Ku tepis tangan Mas Imam lalu meninggalkannya masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.Ya, meski sesungguhnya aku membutuhkan uang itu tapi sakit hatiku mengalahkan segalanya, sekarang aku harus memutar kepalaku atau meneruskan bisnis menerima pesanan kue atau laundry, aku harus bertahan dan membuktikan padanya bahwa aku bisa hidup tanpa dia. Aku tak butuh uangnya!Mendengar ucapan Mas Hamdan yang sangat lugas tentu saja ibu mertua merasa tidak enak kepada calon menantunya yang kini menangis tersedu dan putus asa ibu mertua segera bangkit dan mencegah mas hamdan melanjutkan perkataannya sambil mendekati Haifa dan merangkul wanita itu."Cukup Hamdan, cukup!""Ibu, biarlah Haifa tahu kenyataan sebenarnya agar dia tersadarkan dan bisa membuka hatinya untuk cinta yang baru. Wanita itu adalah wanita yang cantik dan sukses, dia bisa dapatkan laki-laki manapun yang dia inginkan.""Sudah cukup Mas, Kamu sudah menikah jantungku dengan kalimat-kalimatmu ucap wanita itu sambil merangkum tangisannya yang melolong sedih kedua anak kami yang baru saja pulang sekolah juga kaget melihat drama yang terjadi di ruang tamu. Mereka memandang kami dengan kernyitan dahi yang begitu heran."Ada apa Bunda?""Pergilah ke dalam.""Gak bisa Bund, kami juga berhak tahu," jawab Erwin."Ini masalah kami berempat, pergilah ke dalam," tegasku.Setelah memastikan anak-anak be
“Mas, aku sungguh minta maaaf atas apa yang terjadi Mas, situasinya memanas, Yanti mulai melawan ibu dan menyerang mental beliau, Yanti mulai menunjukkan taring dan keberaniannya untuk mendominasi di dalam rumah ini. Aku sungguh tidak menyangkanya Mas," ujar Haifa yang segera saja ingin mendapatkan pembelaan, dengan panik dan memasang wajah polos dia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Mas Hamdan.Dia pikir suamiku akan percaya semudah itu padanya. "Aku dengar percakaan kalian dari luar.'“Tapi itu hanya sebagian kan Mas? kau pasti tidak dengar dengan detil dari awal?” ucap haifa yang terus be rusaha meracuni pikiran suamiku.Sekuat apapun dia berusaha untuk meyakinkan mas hamdan wanita itu tetap dijauhi, jangankan mau disentuh, dihampiri daja suamiku langsung menjauh menjaga jaraknya.“Mas kamu kok hindarin aku?”“Kita ini bukan mahram! jaga sikapmu, kau bersikap seperti anak kecil di hadapan ibu dan istriku, apa kautak sadar?”“Saya masih tunangannya Mas…" Ada bola bening yang t
"Apa?!"Kedua wanita itu kompak berteriak dengan mata terbelalak Haifa sendiri sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatapku dengan tatapan melotot.""Apa kau yang menghasut Hamdan untuk memutuskan semua ini, Yanti?""Sudah ku bilang aku tidak berminat ikut campur, tapi aku hanya akan berdiri sesuai dengan batasan dan tugasku. Aku mengikuti apa saja kehendak mertua dan suami .... tapi semenjak mengetahui bahwa suamiku sendiri tidak setuju dengan sandiwara yang kalian buat dan pernikahan settingan ini, aku jadi punya kekuatan untuk membela Mas Hamdan," jawabku."Kau pikir kau hebat? kau pikir pengaruhmu telah mengubah Hamdan sepenuhnya dan membuat dia tidak akan mendengarkan orang tuanya, hah?" Ibu berteriak, tapi setelahnya Dia terpaksa mendudukkan diri karena akhirnya wanita itu tersengal-sengal capek dengan emosinya sendiri.Sebenarnya aku sama sekali tidak mempengaruhi Mas Hamdan tapi prinsip dan kemampuan lelaki itulah yang membuat dia akhirnya mengambil keputusan untuk men
"Oh iya? sok jago sekali kamu ingin menunjukkan dominasi dan betapa hebatnya kau di rumah ini, padahal kamu hanya orang datangan yang tidak pernah tahu apa-apa," ucap Ibu Syaimah sambil mengacungkan jemarinya ke wajahku."Saya memang orang datang dengan ibu namun saya terikat secara emosional dan secara hukum dengan keluarga ibu. Hamdan adalah suamiku dan ibu adalah mertuaku di mana aku harus memperlakukannya dengan pantas sebagai orang tua. Jadi harusnya Ibu pun memperlakukan aku seperti anak.""Dirimu jadi anakku? Sejak kapan? Sejak kapan kau punya pemikiran seperti itu. Selama ini hanya aku yang bersikap baik padamu, sementara kau, acuh tak acuh saja, kadang aku melihat bahwa kau tidak pernah tulus dalam mengurusiku!"Astagfirullah, tega-teganya Ibu mengatakan hal demikian padahal aku selalu tulus mengurusnya, penuh cinta kasih menyiapkan makanannya dan selalu memberinya perhatian yang pantas ia dapatkan. Tega-teganya Ibu mengatakan itu di hadapan Haifa dan mempermalukanku."Jadi
"Saya pergi dulu, permisi ya Pak, Bu, saya minta maaf dan memohon perngertiannya."Klik.Akhirnya ponsel pun di matikan, dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku paham betul posisi mas Hamdan yang telah dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberanian dan ketenangan dirinya untuk bicara pada keluarga yang emosional itu. Nampaknya mereka semua sangat tidak terima dengan keputusan Mas Hamdan dan merasa kecewa sekali serta tidak mampu menyembunyikan kemarahannya.Sekarang setelah suamiku mengumpulkan keberanian untuk menemui keluarga Haifa maka aku sendiri juga akan bertindak untuk menyelesaikan masalah yang ada di rumah ini. Masalah itu harus diperselesaikan bersama tidak boleh hanya di bebankan pada satu bahu saja.Segera kurapikan diriku dan jilbabku lalu turun ke ruang tamu di mana Ibu dan Haifa masih sibuk berbincang dan membicarakan masa depan mereka.Aku ketuk pintu sambil mengumpulkan nafas, aku tarik dalam-dalam nafas lalu membuangnya, kemudian mendorong pintu dan masuk
"Tapi Nak Hamdan, sudah terlanjur bahagia dengan pertunangan itu, semua keluarga juga sama, terutama Nenek Haifa yang kini sakit sakitan, kami khawatir mengetahuinya cucu dicampakkan Ibuku akan sangat syok dan kena serangan jantung.""Saya bisa memaklumi itu, tapi tidak bisa memaksakan keadaan, kalaupun saya tetap berpura-pura jadi tunangan Haifa maka itu akan melahirkan kebohongan demi kebohongan berikutnya. Saya bukan tipe orang yang suka berbohong dan bersandiwara."Tiba-tiba dari seberang sana aku bisa mendengar ibunda Haifa menangis terisak dengan kesedihannya. Di sisi lain di rumah ini Haikal dan ibu mertua sedang tertawa-tawa di ruang tamu khusus wanita. Mereka bersenda gurau layaknya ibu dan anak, sementara diri ini dan Mas Hamdan berada di tengah-tengah kegalauan dan kebingungan itu."Ibu tolong maafkan saya ya, saya mau pergi dulu," ucap Mas Hamdan."Baiklah, Nak Hamdan. Jika itu keputusanmu, maka kami akan pasrah, tapi tolong, jika ibumu mengharapkan Haifa jadi menantunya,