Meskipun menghadapi kemarahan demikian tetap datang dan mengetuk pintu kamar dan mengajakku bicara.
"Aku akan tetap meninggalkan uang ini meski kau menolaknya," ujarnya dari balik pintu kamar."Aku tidak mau menerimanya!""Lalu Bagaimana cara agar kau menerimanya, lantas bagaimana cara kalian akan belanja dan kebutuhan anak-anak kita?"Anak-anak kita katanya ... Hmm."Ada caranya aku mau menerima uang itu, berikan semua gajimu dan kau tidak boleh pergi lagi ke rumah wanita itu, kau mau?!""Jangan begitu kejam, Bunda, Kasihan juga dianya.""Kasihan ... kasihan, selalu ngomong kasihan, ada apa sebenarnya, apa yang sudah kau lakukan pada wanita itu hingga kau turun iba begitu besarnya?"'"Duh Bunda ini rumit ... tolong bantu aku dan berdiri di sampingku, dukung aku," ucapnya mengharap."Mendukungmu? Jangan mimpi!""Bund, buka pintunya ..."Karena tidak tahan mendengar bujukannya aku lantas mengambil sebuah parfum dari atas meja rias lalu melempar pintu itu agar dia berhenti menggangguku.Bunyi botol parfum menghantam pintu dan ternyata kedua anakku berada di sana, terbukti mereka langsung menegur ayah mereka."Ayah, hentikan itu, sebaiknya Ayah pergi saja."Erwin mencegahnya."Ayah tahu kalian juga kecewa, tapi ayah butuh waktu untuk menjelaskan semuanya, Ayah jamin tidak akan ada yang berubah di dalam keluarga kita.""Tapi semuanya sudah berubah ...." Terdengar suara Vito langsung menyangkal omongan ayahnya."Ayah minta maaf sekali, minta maaf, Nak," ujar Mas Imam."Terserah ayah saja."Terdengar kedua putraku masuk kedalam kamar mereka dan menutup pintu, mungkin merasa putus asa untuk membujuk kami sehingga dia pun memutuskan untuk menjauh.Kupikir, tidak bisa terus begini keadaannya, aku muak bertemu Mas Imam untuk sementara, aku butuh waktu untuk menenangkan perasaan ku dan memutuskan mana jalan terbaik yang bisa kita ambil. Sebenarnya tidak pernah kuinginkan perceraian, namun jika Mas Imam tidak mau melepaskan wanita itu, maka aku pun tidak mau dimadu.Sesekali aku ingin sekali memberinya pelajaran, sebuah syok terapi atau mungkin musibah yang besar seperti halnya luka yang timbul tiba-tiba di dalam dadaku, akupun ingin dia merasakan hal yang sama.**Pagi ini kuputuskan untuk mengumpulkan keberanian datang ke kantornya.Sesampainya di depan gerbang rasa bimbang menyergapku, khawatir akan respon dari atasannya yang mungkin tidak suka jika aku datang merepotkan mereka.Lama berdiri disana dan menimbang perasaanku hingga aku memantapkan langkah untuk masuk ke dalam kantor itu.Sedikit canggung karena hampir seumur hidup aku tidak pernah datang ke tempat ini, sebuah kantor swasta yang bekerja sama dengan pemerintah dalam membidangi pembangunan dan irigasi.Karena bingung aku langsung menuju meja informasi dan menanyakan pada petugas di sana."Permisi boleh saya bertemu dengan atasan anda?""Atasan yang mana Bu?""Pak Direktur," jawabku."Uhm, Pak direktur jarang sekali berada di kantor cabang," jawabnya menatap wajahku yang mungkin nampak sekali kebingungan."Jadi siapa yang ada di kantor ini, maksudku yang menjadi atasan.""Kepala cabang Bu," jawabnya."Kalau begitu izinkan saya bertemu dengan beliau Ada hal penting yang harus saya sampaikan dan saya tidak bisa menundanya.""Saya tidak tahu persis Apakah beliau akan datang hari ini tapi Ibu menunggu saja biasanya paling lambat jam 9 beliau sudah ada di sini.""Oh, baik, Mbak.""Silakan menunggu di kursi tunggu, Bu," pintanya memberi isyarat dengan tangan menunjuk jajaran kursi yang terbuat dari besi."Baik, Mbak. Terima kasih."Setelah hampir satu jam menunggu, seorang pria berbaju rapi dengan setelan kemeja dan dasi datang. Melihatnya datang para karyawan langsung terlihat membungkuk memberi hormat.Aku yakin pria itu adalah kepala cabang atau manager mereka, tapi entahlah itu tak penting.Petugas bagian informasi langsung mengikuti pria itu masuk ke dalam kantornya dan sesaat kemudian dia kembali dan mempersilakan aku untuk masuk ke sana.Sebenarnya hati ini merasa sangat tegang dan bingung harus memulai dari mana namun ku kuatkan hati untuk berani.Ketuk pintu pelan dan ketika mendengar berita itu mempersilakan aku masuk dan langsung menuju ke depan mejanya."Saya Yanti, istri dari pengawas lapangan yang bernama Imam Haryadi.""Oh, ibu Imam, silakan duduk, jika boleh tahu adakah yang bisa saya bantu?""Saya ingin melaporkan sesuatu Pak," jawabku."Apa itu Bu, apa ini menyangkut pekerjaan?""Tidak, tapi saya ingin mohon bantuan Pak,' balasku."Wah, untuk pertama kalinya istri dari karyawan saya datang untuk meminta bantuan, saya merasa tersanjung tapi mudah-mudahan saya bisa membantu ibu.""Suami saya sudah menikah lagi tanpa sepengetahuan saya. Mungkin bagi perusahaan Anda itu tidak masalah, dan tidak ada seorang pun yang akan masuk ke dalam urusan privasi pegawai, namun, saya bingung saya harus kemana.""Menikah lagi, kok bisa Bu?""Saya tidak tahu pak tapi sudah hampir satu tahun dia hanya memberikan saya setengah dari gajinya sementara saya harus berusaha hidup pribadi mencukupi uang tersebut untuk kebutuhan 2 anak saya yang sudah duduk di bangku SMA.""Lalu?""Saya tidak tahu bahwa dia diam-diam sudah menikah dan punya seorang anak perempuan, teganya dia melakukan itu kepada saya, sementara saya tidak tahu harus bagaimana.""Tapi dari perusahaan selalu memberikan gaji yang lengkap Bu, malah tunjangan dan bonus tahunan."Mendengar ucapan manajer cabang aku langsung kaget dan kekecewaan yang ada di dalam dada langsung bertambah dengan kekecewaan yang baru. Alangkah teganya dia tidak memberikan uang bonus tahunan dan tunjangan itu kepada kami, padahal saat itu anak-anak sedang melakukan praktek kerja lapangan dan membutuhkan uang tambahan."Boleh saya tahu berapa jumlah uangnya Pak?""Sekitar 10 juta untuk pengawas lapangan."Dadaku seketika bak ditimpakan batu yang besar mendengar semua itu.Sepuluh juta? Alangkah besar angkanya, teganya Mas Imam hanya memberikan semua uang itu kepada istri barunya."Saya ingin keadilan, Pak, saya putus asa,.""Ini bukan pengadilan Bu, ini hanya kantor perusahaan konstruksi dan pengadaan."Ya, betul juga, tidak tepat rasanya mengadu ke tempat ini, aku bodoh sekali, dan iya, perlahan penyesalan merangkak dan menguasai perasaanku, aku menjadi malu pada pria yang sedang duduk di hadapanku."Entah apa yang terjadi kepada saya dan masa depan saya haruskah saya mengakhiri pernikahan yang sudah hampir 19 tahun berjalan, haruskah saya menyerah dengan semua ini, saya tidak tahu, Pak.""Saya paham perasaan ibu, saya merasa dihormati karena Ibu telah datang dan mencurahkan kesusahan ibu, namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada kewenangan saya untuk mencampuri urusan pribadi pegawai. Mungkin saya bisa mengajaknya bicara dari hati ke hati tapi untuk memarahi dan mengancamnya dengan pemecatan itu bukan hak saya.""Sa-saya tidak minta suami saya dipecat Pak," jawabku sedih, tatapan mataku mengabur dan air mata ini hendak jatuh begitu saja mendapatkan penolakan itu."Saya tidak punya hak untuk bicara lebih banyak, tapi jika menyangkut pekerjaan maka saya akan lakukan apapun, saya akan sangat tegas sekali.""Tidakkah perbuatan suami saya jika beredar di masyarakat akan mempermalukan perusahaan Bapak?""Selagi hanya omongan dan tidak merugikan perusahaan, mungkin kami akan membiarkannya saja, kecuali apa yang terjadi akan membahayakan kelangsungan dan reputasi perusahaan kami."Mendengar itu paham lah aku akan arah pembicaraan dari atasan Mas Imam Sempat timbul sebuah ide dalam hati untuk merusak pekerjaan suami sehingga dia bisa mendapatkan pelajaran dari pengalaman itu, tapi bagaimana caranya, aku bingung.Andai saja aku bisa seberani Nyonya Sakinah, wanita yang sepak terjangnya melawan kecurangan suami, diliput oleh berita kota ini dan viral saat itu. Andai aku secerdik dia yang berani bertentangan dengan institusi dan mengungkap semua keburukan mereka dengan lantang. Ah, terlalu bernyali dia itu ...."Baiklah, Pak, kalau begitu saya mohon pamit dulu," ucapku yang hendak pergi."Oh, silakan terima kasih sudah datang,"jawabnya tersenyum. " ... Ibu jangan khawatir, saya akan coba bicara dari hati ke hati dengan Pak Imam jika saya sempat berjumpa dengannya.""Terima kasih ya, Pak." Aku berharap sekali bantuan pria itu meski persentasi harapannya sangat tipis.Tinggalkan kantor itu dengan hati yang sedikit kecewa dan kembali ke rumah. Entah apa yang akan kulakukan berikutnya."Bunda, boleh Vito bicara?" Malam ini putraku mendekatiku yang sedang duduk di balkon lantai dua, pemuda itu menggeser kursi sehingga kami duduk berdekatan, memandangi langit malam yang tak lagi berkelipan oleh cahaya bintang."Boleh aja, sayang, ngomong aja," ucapku tersenyum."Apa yang akan Bunda lakukan pada ayah?""Jujur tidak tahu,apa yang harus bunda lakukan dan dimana kemana hubungan ini, bagaimana kita selanjutnya, Bunda masih belum ada bayang-bayang.""Apa Bunda ingin bercerai?"tanyanya dengan tatapan sedih."Kalau kalian keberatan Bunda tidak akan melakukannya," balasku"Apa hanya karena wanita bodoh itu, Bunda harus mengalah? kita akan kehilangan ayah. Mungkin saat ini ayah hanya salah jalan, ayah hanya dimanipulasi dan dibodohi, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini tanpa harus menghancurkan keluarga," ucapnya dengan suara bergetar."Bunda kecewa, makin kecewa karena beberapa tahun belakangan Bunda tidak menyadari apa yang terjadi. Di samping itu, sebuah fakta baru teru
"Pergilah, ada atau tidak adanya dirimu sudah tidak berpengaruh lagi dalam hidupku," jawabku lantang."Aku sudah mencoba sabar dan mengambil hatimu tapi kalau memang berhati batu," ucapnya sambil melangkah, masuk ke kamar, menurunkan koper dari lemari dan memasukkan pakaian ke dalamnya.Sekarang justru dia yang memutar balikkan fakta dan mencoba menyalahkanku, Dia benar-benar tidak punya malu dan perasaan."Kau pikir semudah itu menerima penghianatan orang lain? kau pikir aku senaif itu! jangan khawatir aku tidak akan mencegahmu pergi justru aku akan membantumu berkemas-kemas," jawabku sambil membuka lemari dan melempar pakaiannya ke lantai dengan kasar.Dia memungutnya sambil mendelik padaku lalu memasukkan secara acak ke dalam koper."Mulai hari ini jangan datang lagi ke rumah ini, aku tidak sudi menatap wajahmu!""Kau pikir aku bersenang hati mau bertemu denganmu, kalau bukan demi anak-anak aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini.""Jangan berkata seolah-olah aku memaksamu dalam
"Kak ayo pergi aja, Kak," ucapku pada di sulung, Aku berusaha mengajaknya kabur sebelum Mas Imam menyadari bahwa yang datang adalah kami."Gak usah Bunda, ini kuenya sayang," jawab anakku berusaha menahan perasaan meski matanya mulai berkaca-kaca.Mas Imam perlahan mendekat sementara aku menahan napas menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Dan ketika kami berpapasan di depan pagar rumahnya, suamiku terlihat kaget, syok, dan salah tingkah."Ka-kalian, kalian lagi ngapain di sini?" tanyanya terbata-bata."Ini Pak kuenya, totalnya 560 ditambah ongkir," ucap anakku dengan wajah dan suara yang datar."I-iya, Dek," ujar Mas imam sambil menelan ludah."Buruan Imam, acara mau dimulai," panggil Ibu mertuanya sambil berkacak pinggang."Sayang ... apa perlu aku harus datang ke situ untuk membantumu?" tanya Sari dengan suara lantang yang dengar disengaja untuk memamerkan kemesraan mereka.Sepertinya dia tahu bahwa yang datang mengantarkanku kue adalah aku."Eng-enggak usah, aku baik baik aja." Ia
Melihat tingkah anakku yang tengil, wanita tua itu merasa dipermainkan dan dia tersinggung mendapati perlakuan demikian.Dirogohnya tas lalu mencoba menelpon seseorang."Aku lagi di rumah kamu untuk membersihkan apa yang ada di dalamnya?"Ucap wanita itu sambil melotot kearah Kami bertiga."Rumah mana lagi kalau bukan rumah jalan ?Melati, di sini banyak sekali sampah yang harus disingkirkan," ujar wanita yang gayanya sangat berciri khas wanita tradisional yang masih menjunjung martabat dan gengsinya."Ya, Anda adalah sampah yang harus segera dibersihkan dari rumah kami," timpal anakku dengan santainya sambil melempar kulit kuaci, dan mengenai sasakan rambut wanita itu."Kalian sadarlah bahwa Imam sudah melempar kalian dari hidupnya, kalian juga sudah menantang jadi jika bersikeras untuk tidak mengikuti peraturan Imam maka silakan kalian tinggalkan tempat ini karena ada orang yang lebih berhak masuk ke dalamnya dan menikmatinya.""Oh, jadi yang lebih berhak masuk anakmu yang pelakor
___🍓🍓🍓__"Sayang ... Mas Imam," jerit wanita itu mendekati Mas Imam yang tersungkur.Dia yang terkena hantaman vas bunga menggeliat pelan sambil memegangi kepalanya. Mengerang lalu berusaha bangkit dengan dibantu istri barunya."Aku akan melaporkanmu ke polisi karena sudah menyerang suamiku," ungkap wanita itu marah."Silakan aku tidak takut, tindakan kasar masih Imam sudah tidak bisa kuterima lagi, dia sudah kehilangan akal sehatnya.""Kamu itu yang gila," tuding Ibu mertuanya, " ... andai terjadi sesuatu pada imam, aku akan membuat kamu menyesal," ucapnya mendelik sambil membantu Mas Imam berdiri.Pria itu tidak mengatakan apa-apa hanya berdiri dan menatapku dengan pandangan syok, tentu saja dia tidak menyangka apa yang akan kulakukan."Ayo pulang, Buk, Sari," ajaknya.Karena mendengar keributan, beberapa tetangga terlihat keluar dari rumah mereka, dan nyaris masuk ke dalam rumah kami andai saja Mas Imam tidak segera mengajak istri dan mertuanya pergi."Ada apa ini, Bu Yanti?"Me
___🍓🍓🍓___Tidak terasa gagang telepon terlepas dari tangan dan tubuhku tubuhku tersungkur lemas ke kursi, jiwaku terenggut oleh sesuatu yang tidak bisa kupahami, mendadak pikiranku kosong."Ada apa Bunda, apa yang terjadi?" tanya anak-anak yang langsung mendekat dan mengguncang bahuku."A-ayah, sudah menjatuhkan talaknya," jawabku.Kedua anakku saling pandang, lalu menghampiri dan berusaha menguatkan."Jangan sedih, Bunda, justru bagus karena ayah sudah menerangkan keputusannya, jadi Bunda tidak galau lagi.""Ya, benar juga.""Untuk apa juga meminta ayah tega dengan kita, kalo ayah sendiri tidak mau, percayalah,jika pada akhirnya dia tidak betah dengan istrinya yang itu pasti ujung-ujungnya akan cari Bunda juga," ungkap Vito."Dan di hari ayah mencari bunda di situlah kita pun akan mencampakkan dia," timpal Erwin dengan mata berkilat, terlihat sangat marah dan benci pada Mas Imam."Sudah Bund, yang menangisi orang yang tidak pantas kita tangisi, Dia sedang berbahagia dengan keluarg
___🍓🍓🍓🍓___Semua orang terkejut, menyaksikan makanan kecil yang tumpah ruah ke lantai, mendengar caciannya aku langsung mendongak dan membantah."Nyonya rumah sudah memberi Saya makanan itu," ucapku."Mana mungkin Nyonya akan memberi makanan mahal sebegitu banyaknya, pasti kamu ngambil sendiri kan? Secara makanan itu tergeletak begitu saja di meja dapur," ucapnya."Duh, Tante biarin aja dia pergi," ucap salah seorang wanita."Gak bisa, wanita ini memang biang kerok, dia sengaja datang kemari untuk mengganggu anakku," ucapnya menunjuk wajahku, dengan hebohnya dia berteriak, mengatakan jika aku mengambil kesempatan dan memanfaatkan kebaikan hati orang lain untuk meraup makanan."Kau tidak oercaya tanyakan saja Nyonya rumah, maaf ya, saya bukan pencuri dan tidak akan pernah mencuri. Atau ... Kalian yang saat ini sedang menutupi aib kalian, dasar maling teriak maling!"Plak!Dia menampar wajahku dengan kerasnya, orang orang terkejut, kaget, dan menutup mulut mereka dengan tangan.Sa
__🍓🍓🍓🍓__Dua hari aku habiskan untuk mengemas hati dan memikirkan apa yang akan kulakukan, antara lebih dulu menggugat perceraian atau melaporkan perbuatan Mas Imam pada pihak berwajib.Aku tahu bahwa masalah ini bisa dibawa ke pengadilan agama, bahkan kantor polisi atas pemalsuan dokumen sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 pasal 93 Tentang Perubahan Administrasi Kependudukan yang berbunyi : Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat atau dokumen kepada Instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak lima puluh juta. Ditambah juga Mas Imam bisa dijerat pasal 97 Setiap penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara