Tak mau bergelung dalam rangkaian kejadian yang selalu terulang, kuputuskan untuk fokus saja kepada hidup dan nafkah kedua anakku.Sore itu kami sampai di depan rumah, kami turun dan langsung membongkar bagasi tetangga yang kebetulan melihat kami langsung kaget ketika menatap Mas Imam juga turun dari mobil yang sama.Tetangga nampak kali membisiki dan berkomentar. Aku paham betul bahwa mereka sedang membicarakan ketidakkonsistenanku dalam mengambil keputusan.mYa, aku sudah dianiaya dan menuntut namun tiba-tiba membawa si pelaku pulang ke rumah, itu mengejutkan dan tidak bisa habis dipikirkan."Silakan masuk Mas,"suruh ku ketika melihatnya yang masih terpaku mencengkeram kuat tas miliknya."Kamu yakin mau ngajakin aku masuk?""Memangnya Mas mau tidur di luar?"Wajah suram Mas Imam yang masih di payungi luka-luka akibat keputusan istri mudanya, nampak jelas. Ia menjatuhkan diri duduk di teras rumah lalu tiba-tiba menangis begitu saja.Mungkin ada mendung di hatinya, gumpalan rasa kecew
Seperti biasa selalu drama yang sama terulang kembali, wanita itu meradang berusaha memasang air mata buayanya di depan Mas Imam agar suamiku turun iba dan berusaha mengambil hatinya. Iya, berhasil Mas Imam dengan penuh kegigihan dan cintanya lantas mengejar dia ke depan sana."Sayang, tunggu, aku bisa jelaskan," ucapnya.Mas Imam menarik tangan wanita itu dan berusaha mencengkeram bahunya untuk memberitahu yang sebenarnya."Jangan terburu-buru untuk memutuskan perceraian, terlebih pernikahan bukanlah hal yang mudah diputuskan. Apakah semudah itu kau ingin meninggalkanku? setelah begitu lama kita saling mencintai?""Kalau begitu ayo pulang kamu tidak pantas berada di sini setelah memutuskan untuk menceraikan Mbak Yanti!" ucap wanita itu dengan tegasnya."Apa?""Ya, kemasi barangmu," perintahnya.Aku tidak bisa mengatakan apa-apa menyaksikan kegiatan dua manusia itu, hanya diam dan memperhatikan saja."Tapi aku juga sedang tinggal bersama Yanti." Imam nampak ragu-ragu, dia sepertinya
*Malam harinya tidak kusangka dan juga tiba-tiba Mas Imam datang dan menemuiku yang saat itu sedang mengaji di ruang tengah. Mati dengan menggunakan mukena kubukakan pintu dan melihat dia disana."Aku tidak akan masuk jadi kau tidak perlu khawatir," ucapnya pelan setelah melihat ekspresi tidak suka di wajahku."Oh, bagus, mau apa ke sini?""Aku ingin minta maaf atas sikap Sari di pasar tadi.""Tidak apa-apa, tapi aku kasihan padamu karena kau harus mendidik seorang wanita mulai dari nol lagi, seperti guru TK yang mengajarkan adab kepada murid-muridnya.""Maafkan aku," balasnya lirih."Tapi, sungguhkah, kau telah menyandingkan aku dengan wanita itu? Kupikir dengan menikah lagi kau telah mendapatkan yang terbaik, tapi ternyata dia tidak lebih baik. Kupikir kau telah mendapatkan wanita yang lebih unggul yang lebih pandai, lagi beradab dan lebih elegan dariku, ternyata dia hanya menang cantik saja." Aku melipat kedua tangannya di dada sambil melecehkannya."Aku sungguh malu," jawab Mas I
Telah kutemukan rumah mungil di sebuah desa permai, di kaki bukit, ketika membuka pintu, sawah berundak dan pancuran air menyambut pemandangan mata, dan ketika angin berdesir, daun padi bergelombang layaknya lautan berwarna hijau, nyaman sekali rasanya berada jauh dari hiruk pikuk kota dna segela kerepotan tentang orang kang kusebut, Suami.Anak anak berkendara 20 kilo meter ke kota untuk seperti biasa meneruskan pendidikan mereka. Agak sulit untuk mengurus mereka pindah karena sebentar lagi ujian akhir sekolah.Memang untuk bulan berapa hari aku tidak membiarkan mereka ke sekolah demi melindungi dari pencarian Mas Imam. Sepulang sekolah mereka juga aku suruh mengendap-ngendap dan langsung pergi untuk menjaga kalau kalau ayahnya sudah menunggu."Gimana lancar sekolah, Nak?" tanyaku ketika mereka tiba di rumah sore harinya."Ada ayah yang nampak mencari, tapi kami kabur," Jawa Erwin."Sebenarnya aku juga tidak mengerti Kenapa kita harus kabur dari orang tua sendiri namun demi kenyam
Karena aku dibawa ke kantor polisi yang tidak sama dengan kantor polisi di mana aku memberikan laporan tentang perbuatan Mas Imam maka tanpa banyak bicara dan pikir panjang lagi aku langsung menghubungi orang yang sempat membantuku, pengacara yang menjadi kuasa hukum atas kasus itu."Pak, Mas Imam kembali berulah dia membuat fitnah bahwa saya sudah mencuri dan menggelapkan hartanyaBisakah Anda datang dan menguruskan perkara ini?""Berarti saya harus pergi ke kantor di mana anda pernah melaporkan suami anda, kita tinggal meminta polisi untuk menghubungkan link kasus kemarin dengan yang sedang terjadi sekarang.""Ya, sebenarnya petugas sudah memberikan masa uji apakah kita akan melanjutkan perkara atau memutuskan berdamai, tapi karena dia sudah mencari gara-gara maka aku tidak akan mengampuninya, Pam.""Baiklah, saya akan mengurusnya, Ibu Yanti tenang aja. Sekarang ibu Yanti di kantor polisi mana?""Taman Sari, Pak.""Oke, saya akan meluncur ke sana, tapi ibu sabar ya."Iya, siap."Mu
"Mohon maaf, saya pun ingin menuntut karena ayah, karena pernah memukul saya demi istrinya," ucap anakku Erwin yang datang tiba tiba.Putraku terlihat nampak khawatir dambil menggenggam bungkusan makanan dan baju di tangannya. Orang orang yang kebetulan ada tersentak dan mengalihkan perhatian memandang kedua anakku "Anak-anak jangan ikut campur!" bentak Mas Imam."Tidak apa, Pak, kami juga butuh kesaksian," sela seorang angggota polisi membuat Mas imam mati kutu."Pak Polisi, umur saya sebentar lagi delapan belas tahun, meski begitu saya pun adalah warga negara yang berhak atas perlindungan hukum. Dari itu, saya menuntut ayah saya atas aksi kekerasan yang dia lakukan karena penolakan kami.""Saya pun demikian hendak memberi kesaksian, ayah sudah sering bertindak kasar dan mengancam kami. Di tambah lagi, ayah sudah mementingkan belanja istrinya dengan melalaikun tugasnya membayar sekolah saya, saya jadi dipermalukan di hadapan teman teman, dan saya menuntut itu!" balas Vito berapi-
"Bunda, jika ayah meminta kembali uangnya, maka kembalikan saja, daripada kita terus diteror," ucap Erwin ketika kami menghadapi makanan di meja makan."Uang itu sudah Bunda gunakan untuk membeli rumah ini dan membeli motor kalian, ada sisanya sebagai simpanan.""Buat apa menyimpan uang Bun, jika hidup kita tidak aman," timpal Vito."Ayah kalian yang gila, dia berikan rumah untuk kita, tapi berusaha mengambilnya lagi," balasku kembali kesal mengingat tentang Mas Imam."Jika uang itu bikin kita celaka dan Bunda di penjara, buat apa Bund? Kasih aja ke ayah, biarlah dia yang jahat akan dapat akibatnya.". Erwin nampa begitu kesal dari sorot matanya."Yang diinginkan ayah kalian adalah kita bersama lagi, itulah sebabnya dia menuntut Bunda karena tahu Bunda tidak akan bisa mengembalikannya," jawabku menerawang jauh."Kalo misalka Bunda terima dan pura pura bahagia kayak kemarin gimana?""Hidup kita tak akan senyaman dulu Anakku, karena Sari pasti akan iri dan terus datang untuk membuat mas
Tring ....Suara ponselku berdering ketika aku sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Segera kuraih gawai dan menggeser tombol hijau."Assalamualaikum, saya Edi," ucap pengacaraku dari seberang sana."Iya, Pak Edi, ada apa Pak?""Ini ada surat dari pengadilan, surat panggilan persidangan, tolong temui Pak imam dan pastikan dia menanda tangani kesediaaan untuk mengikuti persidangannya.""Oh, begitu ya, Pak, baiklah saya akan mencobanya," jawabku meski dalam hati ini merasa malas.Sungkan sekali rasanya pergi ke kantor polisi dan menemui Mas Imam, terlebih setelah rangkaian pemeriksaan panjang polisi, rasanya badan dan hati ini sudah begitu lelah.Aku hanya berdoa semoga persidangan segera digelar agar kami bisa mendapatkan keadilan yang paling memuaskan.**"Ibu Yanti Mau bertemu Pak Imam ya?"Pertanyaan petugas piket sebenarnya membuatku jengah, mungkin saking seringnya aku datang ke kantor ini mereka sampai tahu namaku dan Mas Imam."Iya, Pak, saya bawa surat gugatan cerai," jawab