LOGIN**
Daniel tidak bisa mempercayai penglihatannya, juga rasa sesak luar biasa yang mencengkeram inti tubuhnya di bawah sana. Ia mengernyit saat mencoba melepaskan diri dan menjauh dari tubuh gadis yang lebih muda darinya itu.
“Kenapa kau tidak mengatakannya?” Pria menawan itu bertanya dengan kesal, Hasratnya yang semula menggebu-gebu hingga ubun-ubun dan nyaris meledak, mendadak lenyap seperti balon gas yang bocor.
“Me-mengapa saya harus mengatakannya?” Clara bertanya dengan kebingungan. Ia meringis saat menggeser tubuh sebab sengatan rasa nyeri yang masih tersisa pada bagian bawahnya.
Gadis itu mengangkat wajah, memberanikan diri memandang sang atasan. Daniel hanya diam, namun netra hitamnya menyorot semakin gelap dengan sepasang alis berkerut. Ia tidak mengatakan apapun, namun tampaknya kecewa sekali.
“Tuan Addams?” Clara memanggilnya pelan. Ia ragu mengucap kata. “Apakah saya melakukan kesalahan?”
Sesungguhnya, Clara tidak mengerti apa yang membuat Daniel bereaksi seperti itu. Mengapa pria itu sangat kaget ketika mengetahui Clara masih perawan? Ah, apa yang Daniel pikirkan? Tentu saja Clara masih perawan. Sekalipun sudah berpacaran selama tiga tahun dan bahkan hampir menikah, Clara dan Gerard Reese tidak pernah melampaui batas. Percintaannya hanya sejauh berciuman dan berpelukan saja. Itu pun tidak terlalu intens.
Perempuan itu lantas menggeleng lirih untuk mengusir lamunan. Ia mengalihkan perhatian kembali kepada sang tuan.
“Tuan … lakukan saja. Anda bisa melanjutkannya sekarang. Saya tidak apa-apa.”
“Apa maksudmu tidak apa-apa?”
Clara semakin heran saat Daniel bukannya melanjutkan, namun justru meraih bathrobe untuk menutupi tubuhnya dan melangkah pergi ke kamar mandi. Dengan sabarnya –atau dengan bodohnya– Clara menunggu hingga Daniel selesai. Pria itu sudah mengenakan kembali pakaiannya ketika keluar dari sana.
“Tuan–”
“Perjanjian batal. Pakai bajumu lagi dan keluar dari sini!”
“Apa?” Clara terbelalak. Ia panik, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut dan turun dari ranjang untuk menyusul Daniel.
“Tuan, maaf. Tapi apa maksud anda perjanjiannya batal? Bagaimana dengan uangnya?”
“Tidak ada perjanjian, maka tidak ada uang.” Daniel menatap Clara sekilas dengan mata hitamnya.
“Tapi saya–”
“Lupakan saja dan anggap tidak pernah terjadi.”
Ia lalu melangkah pergi, keluar dari ruangan dan meninggalkan Clara sendirian yang terpana tak bisa bergerak. Kejutan buruk seperti ribuan jarum tajam yang menghujani seluruh tubuhnya.
“Anda tidak bisa seperti ini, Tuan. Kita sudah membuat kesepakatan. Tuan Addams ….” Clara tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab punggung Daniel baru saja menghilang di balik pintu.
Daniel meninggalkan Clara tanpa sepatah pun kata lagi. Ia membatalkan kesepakatan itu secara sepihak, tanpa peduli bagaimana nasib Clara selanjutnya.
Tanpa pernah gadis itu tahu, sebenarnya sang tuan juga sedang menghadapi kejutan yang sangat buruk.
“Sial!” Daniel mengumpat pelan sepanjang koridor hotel yang sepi. Ia berdecih sesekali. “Apa aku salah menilainya atau bagaimana?”
Daniel sungguh berpikir bahwa Clara hanya gadis murahan yang sangat menyukai uang hingga rela menukar tubuhnya.
Setelah sekian lama memperhatikan gadis itu diam-diam di kantor, Daniel pikir sifat lembut dan malu-malu itu hanya kedok untuk menutupi perilakunya yang buruk.
Namun detik ini, semesta seperti mematahkan anggapannya dengan sempurna ; Clara masih suci dan belum tersentuh. Daniel merasa dirinyalah yang begitu brengsek karena sudah memperlakukan gadis itu seperti pelacur.
“Sial! Apa yang aku lakukan?”
*
Clara keluar dari hotel itu dengan pikiran kosong mengawang hingga ia tidak sadar sudah melangkah ke arah mana. Tahu-tahu saja ia sudah duduk di kursi bis kota yang melaju tenang dalam keremangan malam. Kilasan lampu-lampu jalan bergerak teratur seperti permainan cahaya. Clara tenggelam dalam lamunan berat.
“Tuan Addams membatalkan semuanya, jadi sekarang aku harus bagaimana?” Gadis itu berujar lirih sementara mengusap sudut matanya yang basah. “Aku tidak tahu harus mencari uang ke mana lagi. Selama ini perusahaan adalah tempat meminjam yang paling aman.”
Gadis itu mengerjapkan mata, menolak mentah-mentah ide liar yang baru saja melintas dalam kepalanya yang penuh sesak.
Ia teringat pada seorang kreditur gelap, tetangganya ketika masih tinggal dengan orang tuanya dulu. Clara diam-diam memeriksa ponselnya, dan mendapati nomor kreditur itu masih ada di daftar kontaknya.
“Aku tidak mau meminjam kepada lintah darat itu. Sama saja membunuh diriku sendiri pelan-pelan jika aku melakukannya.” Clara menggeleng kuat. Ia diam sejenak, pandangannya yang kosong jatuh pada kelebatan cahaya di luar jendela. “Tapi nyawa Gerard tidak bisa ditawar dengan apapun. Aku harus melakukannya, tidak bisa tidak.”
Maka kemudian Clara mengangkat ponselnya. Air matanya jatuh perlahan ketika dengung nada sambung terdengar dari seberang.
Nah, sebelum panggilan tersambung, Clara buru-buru membatalkan panggilan.
“Aku akan memikirkan cara yang lain dulu,” keluhnya lesu sembari beranjak. Bis kota sudah berhenti di halte yang paling dekat dengan rumah sakit.
Apa yang dilihat Clara selanjutnya, tidaklah membuat perasaannya membaik. Melalui dinding kaca ruang ICU, ia menatap nyalang pada sosok yang berbaring di antara hidup dan mati itu.
“Waktu kita tidak banyak, Clara.” Seorang perawat datang mendekat dan berkata pelan. “Jika kau ingin Gerard selamat, maka operasi harus segera dilakukan.”
Clara mengangguk lirih. Ia masih memandang kosong kepada pria di dalam ruangan itu.
Pria yang sudah menyelamatkannya dari kehancuran setelah kedua orang tuanya berpulang dengan mendadak karena kecelakaan mobil juga.
Gerard memberikannya tempat yang aman untuk berlindung dan berbagi rasa, mencintainya, menjaganya. Maka apa alasan Clara untuk tidak membalas kebaikan pria itu?
“Aku akan mengusahakan secepatnya.” Clara menghapus air mata yang tanpa sadar jatuh menuruni pipi. “Aku akan mendapatkan uangnya segera untuk operasi Gerard. Aku perlu menelepon seseorang, tunggu sebentar, ya?”
Perawat itu mengangguk sementara Clara melangkah pergi.
Ia menggenggam ponsel dengan hati remuk. Mendial nomor yang semula batal ia telepon.
“Ah, Clara ….” Suara parau menjawab dari seberang sana. “Kau masih mengingatku, Darling?”
***
**Clara menangis tersedu-sedu di depan wastafel toilet. Ia tidak peduli dengan beberapa pengunjung yang melemparkan pandangan ingin tahu kepadanya. Air matanya terus mengalir tak bisa ditahan, seiring dengan sesak hati yang terasa menghimpit. Yang ia tahu hanya ingin meluapkan emosi dan rasa sedih ini. Clara tidak bisa membohongi perasaannya. Ia merindukan Daniel. Ia tidak tahu apa dosa yang sudah ia perbuat di kehidupan yang lalu, hingga hari ini Tuhan mengutuknya dengan cara seperti ini. Jika saja perasaan cinta itu bisa dibeli, ia bersedia membayar untuk mengalihkan rasa itu kepada Gerard saja. Berapapun akan Clara bayar. Daripada menanggung rasa sakit karena cinta sepihak yang tidak terbalas seperti ini."Seharusnya aku membencimu bukannya malah menyukaimu," isaknya tertahan. "Aku sudah sakit karena berdusta kepada Gerard, sekarang masih harus menanggung patah hati karena dirimu, Tuan. Bukankah itu jahat sekali? Memangnya apa salahku sampai kau membuatku merasa seperti ini?""Ti
**"Kau berani melakukan hal sebusuk itu kepadaku? Kau benar-benar sudah bosan hidup?"Aidan tahu, bagaimanapun Daniel tidak akan mungkin benar-benar membunuhnya. Tapi tetap saja, nada suara dan sorot mata yang sedingin serpihan es kutub itu membuatnya gentar. Daniel bukan tipe yang meledak-ledak saat marah, namun percayalah, orang-orang yang marahnya tenang itu jauh lebih menakukan."Kau pikir kenapa? Kau mengkhianati Hailey, Dan! Gadis sebaik itu kau sia-siakan, apa itu namanya kalau bukan bodoh?""Tahu apa kau?" balas Daniel, masih dengan nada dingin yang penuh ancaman. "Kau pikir kau siapa, bisa ikut campur urusanku?""Aku hanya tidak tega melihat Hailey! Dia mendatangiku dan memohon bantuanku untuk memisahkanmu dengan gadis pengganggu itu. Kau dan Hailey sudah hampir menikah, Dan!""Kalau begitu kenapa tidak kau ambil saja dia, sana? Daripada kau melakukan hal busuk seperti ini, kenapa tidak kau nikahi sendiri saja dia?"Aidan tidak percaya Daniel akan mengatakan ini. Ia terngang
**Daniel masih mengingat-ingat, di mana kiranya ia pernah bertemu dengan wajah buruk ini. Pria tambun dan pendek dengan wajah penuh bekas luka itu familiar dalam ingatannya, tapi ia lupa siapa dia. Hingga kemudian si pria mengoceh lagi."Kau masih memelihara gadis itu, ha? Yah, dia memang cantik dan enak dilihat. Tapi tetap saja, kau itu kebagusan untuk gadis seperti itu. Nah, tapi jika kau sudah bosan dan berniat ganti mainan, kau bisa melungsurkannya kembali kepadaku."Mendengar itu, mendadak saja ingatan Daniel berputar dengan cepat. Ia sudah mengingat dengan baik siapa sosok mengganggu yang berdiri di luar mobilnya itu. Ia adalah bandit tua yang mana Daniel sempat menyelamatkan Clara darinya dulu. Markus Flint."Sedang apa kau di sini, ha?" Pria itu bertanya lagi dengan gayanya yang luar biasa memuakkan. Daniel sama sekali tidak berniat menjawab dan sudah hampir menghidupkan mesin mobilnya kembali ketika Markus menambahkan. "Tidak bersama Clara, eh? Ya, ya, mau bagaimana lagi. Ma
**"Dia terlihat mengerikan, sungguh. Seperti bisa mencekik siapapun yang dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Percayalah, orang-orang sekantor tidak ada yang berani cari masalah dengannya belakangan ini. Yang berani berurusan dengannya cuma Mr. Killian, sekretarisnya. Nah itu juga masih dapat masalah yang tidak terduga."Clara mengerutkan alis mendengar cerita Em hari ini sepulang kantor. Waktu itu Clara sedang merapikan resume yang akan ia kirim untuk melamar pekerjaan di perusahaan lain. "Tapi bukankah dia memang tukang marah ya, Em?"Em menggeleng. "Tidak. Daniel Addams sebelum ini hanya tidak ramah saja, bukannya temperamental. Makanya seluruh penghuni kantor sekarang seperti kebakaran jenggot. Apapun yang kami lakukan tidak pernah benar. Beberapa artis bahkan memilih tidak datang ke perusahaan untuk sementara waktu."Clara mengalihkan pandangan dari Em. "Tapi Hailey tetap datang, kan?"Diamnya Em seperti mengkonfirmasi jawaban untuk Clara. Mendadak saja gadis itu merasa aneh. Sed
**"Aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Aku tidak punya pekerjaan."Hening sejenak antara dua insan itu, hingga suara kicau burung-burung kecil yang beterbangan di taman belakang ruang rawat Gerard terdengar jelas. Clara menghela napas sesaat dan menunduk. Entah mengapa tidak ingin tahu dengan bagaimana ekspresi sang tunangan saat ini."Aku melakukan kesalahan dan perusahaan tidak bisa memberikan dispensasi," lanjutnya, "Mereka menginginkan aku berhenti bekerja, maka aku harus berhenti."Clara menunggu apapun yang akan keluar dari bibir Gerard, tapi ternyata ia justru ditarik ke dalam pelukan hangat. Pria itu mendekapnya dan mencium puncak kepalanya berkali-kali."kupikir kenapa. Ternyata hanya itu?""Ini bukan hanya itu, Ger." Clara melepaskan pelukan. Ia mendongak, sepasang alisnya berkerut tidak setuju ketika bertukar pandang dengan satu yang lain. "Aku sekarang pengangguran dan kau bilang hanya itu?""Tidak, bukan begitu maksudku, Sayang. Tapi tolong jangan terlalu memikirkan
**Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tebal yang sedikit terbuka di ruang tamu apartemen Aidan. Ruangan itu terasa tenang, hanya terdengar suara samar mesin kopi yang baru menyala dan detak jam dinding di sisi kanan. Daniel terbangun perlahan di atas sofa panjang berlapis kulit abu-abu, dengan kepala berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Aroma kopi bercampur dengan wangi sabun dan uap air yang menguar dari arah kamar mandi membuatnya semakin bingung. Apartemen itu terasa asing—ruangannya modern dan rapi, terlalu bersih untuk ukuran milik seseorang yang baru saja melewati malam yang kacau.Daniel bangkit setengah duduk, menatap sekeliling. Di meja kecil di depannya ada segelas air putih dan selembar kain hangat yang tampak baru dipakai untuk mengompres sesuatu. Ia mengernyit, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Potongan gambar berkelebat di kepalanya—suara keras, amarah, dan Aidan yang menah







