LOGIN**
Clara tercengang. Daniel Addams benar-benar serius dengan penawaran yang ia buat. Pria itu masih memandang lurus. Wajah rupawannya tenang dan percaya diri. Sama sekali tidak ada raut bercanda di sana.
“Malam ini?” Clara bergumam lirih. Mata birunya bergetar, jelas sekali ia sedang panik.
Daniel yang menangkap gestur ketakutan itu menjawab, “Aku tidak sedang memaksamu. Jika kau menolak–”
“Tidak, tidak Tuan. Baik, saya akan melakukannya malam ini.” Gadis itu memberanikan diri mengangkat wajah dan membalas pandangan tajam Daniel.
“Kau sepakat, kalau begitu?”
“Akan saya lakukan apapun selama saya mendapatkan uang itu.”
Daniel berdecih pelan. Sepasang mata hitamnya memandang penuh penghakiman kepada Clara.
Pria itu membenarkan pemikirannya sendiri, tentang Clara yang adalah gadis murahan nan hedonis. Lihat, ia menyetujui penawaran itu dengan begitu mudah untuk mendapatkan uang, kan?
“Hanya jika kau berhasil membuatku merasa puas malam ini, aku akan membayarmu penuh.” Daniel menjeda kalimatnya sejenak. Pandangannya kepada Clara kian buruk sekarang. “Jika servismu payah, bukan tidak mungkin aku akan menurunkan harganya.”
“Tuan Addams, itu keterlaluan,” tukas Clara cepat. Ia merasa sangat tersinggung. Sekalipun Daniel memiliki harta tak terhitung, Clara pikir ia tetap tidak berhak memperlakukan orang lain seperti itu.
“Itu persyaratanku. Terserah kau mau mengambilnya atau tidak.”
Nyaris saja Clara menghentakkan kaki dan menangis saking putus asanya. Meski ternyata yang bisa ia lakukan hanya menghela napas dan menerima keputusan Daniel mentah-mentah. Gadis itu menunduk, merasa kalah.
“Baiklah, Tuan. Anda bisa menilainya sendiri nanti.”
“Bagus.”
Tanpa Clara sadari, Daniel sedang melayangkan seringai diam-diam. Wajah dingin tanpa ekspresi miliknya masih sama, namun sepasang netra hitamnya seolah menyala bagai bara api.
Daniel mengambil ponsel mahalnya dari atas meja dan melakukan percakapan telepon selama beberapa saat. Kedengarannya sedang membuat reservasi hotel atau semacam itu. Mendadak saja, Clara merasa begitu naif.
“Apa yang sedang aku lakukan?” batinnya putus asa. “Menukar tubuhku dengan lima ratus ribu dollar milik pria arogan dan angkuh ini? Apa aku sudah kehilangan akal sehat? Ya, sepertinya memang begitu.”
Maka beberapa saat kemudian, Clara sudah duduk dengan luar biasa gelisah di dalam Cadillac Escalade milik Daniel. Mobil itu melaju dengan anggun di tengah senja yang tengah memeluk kota dengan cahaya jingga nan hangat.
Suasana sedamai itu sama sekali tidak bisa menentramkan hati Clara. Benaknya dipenuhi banyak hal. Bagaimana keadaan tunangannya di rumah sakit saat ini? Apa yang harus ia lakukan dengan Daniel nanti?
Jantung Clara seperti akan meledak saat ia sampai di suite presidential room yang sudah dipesan Daniel. Pintu ruangan itu terbuka, menampakkan pemandangan spektakuler di dalamnya. Sebuah kamar mewah dengan dinding kaca yang menampilkan hamparan city light di baliknya. Dekorasi mewah dan cahaya redup yang nyaman seperti menegaskan, bukan sembarang orang bisa memasuki kamar ini.
“Apa yang kau lakukan? Aku tidak akan pernah membayarmu jika kau hanya berdiri seperti patung.”
Clara hampir menangis. Ia melangkah pelan, mendekati Daniel yang sudah lebih dulu duduk bersandar di headboard ranjang besar di tengah ruangan.
“Tanggalkan bajumu sekarang! Apa yang kau tunggu?”
“Tuan Addams, izinkan saya mandi sebentar. Saya—emm ... agak berkeringat.”
Clara meremas-remas ujung blusnya. Itu kebiasaan yang sulit ia hapus ketika sedang gugup.
Gadis itu sesekali mencuri pandang ke arah sang atasan yang hanya diam, menatapnya dengan sepasang mata menyipit penuh curiga. Barangkali ia berpikir Clara hanya akan mempermainkannya dan berencana kabur lewat jendela kamar mandi. Maka, sebelum sang tuan mengatakan sesuatu yang mungkin menyakitkan, Clara buru-buru mengkonfirmasi.
“Saya hanya akan mandi sebentar, Tuan Addams. Saya tidak akan lari atau sesuatu. Kita … sudah membuat kesepakatan, kan?”
“Cepatlah!”
Clara tidak menunggu Daniel berubah pikiran. Ia berlari ke kamar mandi untuk mengguyur kepalanya yang berisik. Air mata menetes seiring derasnya shower yang mengalirkan air ke sekujur tubuh.
“Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Aku tidak percaya aku akan menyerahkan tubuhku kepada orang asing demi uang. Gerard, maafkan aku. Jika kau sembuh nanti, tolong jangan jijik kepadaku ....”
Entah berapa lama Clara menghabiskan waktu di kamar mandi. Sebab ketika ia keluar dari sana, Daniel sudah menyambutnya dengan tatapan dingin penuh amarah.
“Jangan membuatku menunggu,” desis Daniel tajam. “Kau pikir dirimu siapa? Kau pikir siapa yang sedang kau hadapi?”
Pria tampan itu tidak memberi Clara kesempatan. Ia merampas tali bathrobe hingga fabrik putih itu terbuka dan terhempas ke lantai. Menampakkan pemandangan luar biasa yang membuatnya lupa bernapas.
Sang direktur tidak mengira, di balik penampilannya yang sangat sederhana dan bahkan nyaris lusuh, Clara menyimpan harta karun seperti itu. Lekuk tubuhnya terbentuk sempurna, dibalut kulit putih mulus tanpa cela. Sepasang buah ranum yang menggiurkan tampak menonjol, berusaha Clara tutupi dengan tangan kosong. Tentu saja itu sia-sia.
“Sial!”
Daniel merasa monster pada bagian bawahnya bangun dan hidup sempurna. Gejolak panas memenuhi tubuhnya dengan cepat.
Pria itu menarik simpul dasinya hingga lepas, kemudian membuka kancing kemeja dengan serampangan. Sebelum Clara bisa berpikir apa yang harus ia lakukan, tubuh polosnya sudah dihempaskan jatuh ke atas ranjang oleh Daniel.
“Argh ... Tuan— Tuan, jangan!” Clara meronta. Panik dan ketakutan, ia sama sekali tidak mengira Daniel akan melakukannya begitu saja tanpa pemanasan atau hal-hal semacam itu.
“Diam!”
“Tu-Tuan, bisakah anda pelan-pelan … i-ini sangat sakit ….”
Dua tetes air bening jatuh menuruni pelipis Clara seiring rasa sakit menyengat yang ia rasakan pada bagian bawahnya kala Daniel bergerak masuk. Gadis itu mencengkeram seprai erat-erat, menggigit bibirnya sendiri untuk mencegah dirinya menjerit.
Seumur hidup, baru kali ini Clara merasakan sakit yang demikian. Ia ingin bergerak menjauh dan merangkak pergi, namun Daniel sedang menindihnya dengan sekuat tenaga.
"Tuan ... sakit sekali ...."
Dan bersamaan dengan itu, Daniel Addams menerima kejutan yang mungkin tidak akan ia lupakan seumur hidup.
Sepasang mata hitamnya menatap tak berkedip pada noda merah menyala yang mengotori seprai sutra di bagian bawah tubuh Clara. Pandangan itu lantas bergulir kepada wajah si gadis yang merah padam berurai air mata.
“Clara Anderson,” desisnya dengan suara menggeram, “Kau masih perawan?”
***
**Clara menangis tersedu-sedu di depan wastafel toilet. Ia tidak peduli dengan beberapa pengunjung yang melemparkan pandangan ingin tahu kepadanya. Air matanya terus mengalir tak bisa ditahan, seiring dengan sesak hati yang terasa menghimpit. Yang ia tahu hanya ingin meluapkan emosi dan rasa sedih ini. Clara tidak bisa membohongi perasaannya. Ia merindukan Daniel. Ia tidak tahu apa dosa yang sudah ia perbuat di kehidupan yang lalu, hingga hari ini Tuhan mengutuknya dengan cara seperti ini. Jika saja perasaan cinta itu bisa dibeli, ia bersedia membayar untuk mengalihkan rasa itu kepada Gerard saja. Berapapun akan Clara bayar. Daripada menanggung rasa sakit karena cinta sepihak yang tidak terbalas seperti ini."Seharusnya aku membencimu bukannya malah menyukaimu," isaknya tertahan. "Aku sudah sakit karena berdusta kepada Gerard, sekarang masih harus menanggung patah hati karena dirimu, Tuan. Bukankah itu jahat sekali? Memangnya apa salahku sampai kau membuatku merasa seperti ini?""Ti
**"Kau berani melakukan hal sebusuk itu kepadaku? Kau benar-benar sudah bosan hidup?"Aidan tahu, bagaimanapun Daniel tidak akan mungkin benar-benar membunuhnya. Tapi tetap saja, nada suara dan sorot mata yang sedingin serpihan es kutub itu membuatnya gentar. Daniel bukan tipe yang meledak-ledak saat marah, namun percayalah, orang-orang yang marahnya tenang itu jauh lebih menakukan."Kau pikir kenapa? Kau mengkhianati Hailey, Dan! Gadis sebaik itu kau sia-siakan, apa itu namanya kalau bukan bodoh?""Tahu apa kau?" balas Daniel, masih dengan nada dingin yang penuh ancaman. "Kau pikir kau siapa, bisa ikut campur urusanku?""Aku hanya tidak tega melihat Hailey! Dia mendatangiku dan memohon bantuanku untuk memisahkanmu dengan gadis pengganggu itu. Kau dan Hailey sudah hampir menikah, Dan!""Kalau begitu kenapa tidak kau ambil saja dia, sana? Daripada kau melakukan hal busuk seperti ini, kenapa tidak kau nikahi sendiri saja dia?"Aidan tidak percaya Daniel akan mengatakan ini. Ia terngang
**Daniel masih mengingat-ingat, di mana kiranya ia pernah bertemu dengan wajah buruk ini. Pria tambun dan pendek dengan wajah penuh bekas luka itu familiar dalam ingatannya, tapi ia lupa siapa dia. Hingga kemudian si pria mengoceh lagi."Kau masih memelihara gadis itu, ha? Yah, dia memang cantik dan enak dilihat. Tapi tetap saja, kau itu kebagusan untuk gadis seperti itu. Nah, tapi jika kau sudah bosan dan berniat ganti mainan, kau bisa melungsurkannya kembali kepadaku."Mendengar itu, mendadak saja ingatan Daniel berputar dengan cepat. Ia sudah mengingat dengan baik siapa sosok mengganggu yang berdiri di luar mobilnya itu. Ia adalah bandit tua yang mana Daniel sempat menyelamatkan Clara darinya dulu. Markus Flint."Sedang apa kau di sini, ha?" Pria itu bertanya lagi dengan gayanya yang luar biasa memuakkan. Daniel sama sekali tidak berniat menjawab dan sudah hampir menghidupkan mesin mobilnya kembali ketika Markus menambahkan. "Tidak bersama Clara, eh? Ya, ya, mau bagaimana lagi. Ma
**"Dia terlihat mengerikan, sungguh. Seperti bisa mencekik siapapun yang dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Percayalah, orang-orang sekantor tidak ada yang berani cari masalah dengannya belakangan ini. Yang berani berurusan dengannya cuma Mr. Killian, sekretarisnya. Nah itu juga masih dapat masalah yang tidak terduga."Clara mengerutkan alis mendengar cerita Em hari ini sepulang kantor. Waktu itu Clara sedang merapikan resume yang akan ia kirim untuk melamar pekerjaan di perusahaan lain. "Tapi bukankah dia memang tukang marah ya, Em?"Em menggeleng. "Tidak. Daniel Addams sebelum ini hanya tidak ramah saja, bukannya temperamental. Makanya seluruh penghuni kantor sekarang seperti kebakaran jenggot. Apapun yang kami lakukan tidak pernah benar. Beberapa artis bahkan memilih tidak datang ke perusahaan untuk sementara waktu."Clara mengalihkan pandangan dari Em. "Tapi Hailey tetap datang, kan?"Diamnya Em seperti mengkonfirmasi jawaban untuk Clara. Mendadak saja gadis itu merasa aneh. Sed
**"Aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Aku tidak punya pekerjaan."Hening sejenak antara dua insan itu, hingga suara kicau burung-burung kecil yang beterbangan di taman belakang ruang rawat Gerard terdengar jelas. Clara menghela napas sesaat dan menunduk. Entah mengapa tidak ingin tahu dengan bagaimana ekspresi sang tunangan saat ini."Aku melakukan kesalahan dan perusahaan tidak bisa memberikan dispensasi," lanjutnya, "Mereka menginginkan aku berhenti bekerja, maka aku harus berhenti."Clara menunggu apapun yang akan keluar dari bibir Gerard, tapi ternyata ia justru ditarik ke dalam pelukan hangat. Pria itu mendekapnya dan mencium puncak kepalanya berkali-kali."kupikir kenapa. Ternyata hanya itu?""Ini bukan hanya itu, Ger." Clara melepaskan pelukan. Ia mendongak, sepasang alisnya berkerut tidak setuju ketika bertukar pandang dengan satu yang lain. "Aku sekarang pengangguran dan kau bilang hanya itu?""Tidak, bukan begitu maksudku, Sayang. Tapi tolong jangan terlalu memikirkan
**Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tebal yang sedikit terbuka di ruang tamu apartemen Aidan. Ruangan itu terasa tenang, hanya terdengar suara samar mesin kopi yang baru menyala dan detak jam dinding di sisi kanan. Daniel terbangun perlahan di atas sofa panjang berlapis kulit abu-abu, dengan kepala berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Aroma kopi bercampur dengan wangi sabun dan uap air yang menguar dari arah kamar mandi membuatnya semakin bingung. Apartemen itu terasa asing—ruangannya modern dan rapi, terlalu bersih untuk ukuran milik seseorang yang baru saja melewati malam yang kacau.Daniel bangkit setengah duduk, menatap sekeliling. Di meja kecil di depannya ada segelas air putih dan selembar kain hangat yang tampak baru dipakai untuk mengompres sesuatu. Ia mengernyit, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Potongan gambar berkelebat di kepalanya—suara keras, amarah, dan Aidan yang menah







