**
Clara hanya mendengar suaranya saja, namun seluruh tubuhnya terasa bergetar karena serangan panik. Mendadak saja kilasan-kilasan kejadian buruk di masa lalu menyerbu benaknya tanpa ampun. Clara mencengkeram kusen jendela lorong rumah sakit untuk menahan tubuhnya agar tidak limbung.
Pria itu bernama Markus. Seorang rentenir kejam yang membuat kedua orang tua Clara bangkrut. Clara belum lupa, bagaimana ayah dan ibunya berusaha melunasi hutang-hutang mereka agar Markus tidak mengambilnya sebagai jaminan. Itu terjadi lima atau enam tahun silam sebelum Gerard datang sebagai pahlawan.
Puncaknya, hutang itu hanya tersisa sedikit ketika kedua orang tua Clara wafat karena kecelakaan. Markus jelas tidak mau peduli dan tetap memberlakukan denda keterlambatan di tengah suasana berkabung. Gerard Reese yang adalah putra dari sahabat orang tua Clara, menjual apartemen miliknya untuk melunasi sisa pinjaman itu.
Maka, Clara merasa bukan hanya berhutang harta kepada Gerard, melainkan juga berhutang budi dan nyawa.
Sekarang ketika berada di tengah keadaan darurat seperti ini, tidak ada lagi jalan yang bisa Clara ambil. Apapun yang terjadi, Clara merasa harus bisa menyelamatkan nyawa Gerard untuk membalas budi.
“Mengapa diam saja, Sayang? Kau menelepon karena merindukanku, kan? Ah, memang sudah lama sekali kita tidak berjumpa.”
Clara merinding, ia tidak ingin berlama-lama mendengar suara itu. Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan.
“Aku ingin meminjam sejumlah uang kepadamu, Markus.”
Jeda hening sejenak sebelum suara tawa menggelegar dari seberang terasa menusuk gendang telinga. Clara menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis.
“Astaga, setelah sekian lama, kau menghubungiku kembali hanya untuk itu, Sayang? Tidakkah seharusnya kau mengatakan kau merindukanku dulu?”
“Aku tidak mau berbasa-basi. Katakan kau bisa memberikan pinjaman kepadaku atau tidak?”
Tawa Markus semakin keras, penuh ejekan. Suara paraunya terasa menusuk. “Baiklah, baiklah. Butuh uang, ya? Seorang Clara yang selalu angkuh itu akhirnya jatuh juga ke jurang? Berapa besar yang kau minta dariku, hm?”
Clara menutup matanya erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Lima ratus ribu dollar.”
Di ujung sana, Markus terdiam sejenak, lalu lagi-lagi meledak tertawa. “Lima ratus ribu? Kau bercanda? Kau pikir uang sebanyak itu bisa jatuh dari langit begitu saja? Hahaha … dasar perempuan liar. Untuk apa memangnya uang sebanyak itu, hah?”
“Untuk operasi tunanganku, Gerard,” jawab Clara lirih, suaranya nyaris pecah. “Nyawanya bergantung pada uang itu. Aku mohon, Markus. Aku
tidak tahu harus meminjam ke mana lagi.”Markus mendengus, kedengarannya sangat puas. “Ah, jadi begitu. Rupanya cinta membuatmu benar-benar buta. Menarik sekali. Clara yang dulu menolak semua tawaranku, sekarang rela merendahkan diri, memohon-mohon demi lelaki lain.”
Clara terdiam, menahan perasaan perih yang menghantam dadanya. “Aku tidak peduli apa pun yang kau tuduhkan. Katakan saja, apakah kau bisa meminjamkan uang itu padaku atau tidak.”
Suara Markus terdengar pelan, namun penuh nuansa licik. “Tentu saja aku bisa. Uang sebanyak itu sebenarnya bukan masalah besar bagiku. Tetapi, Clara … kau tahu, setiap pinjaman ada syaratnya. Kau tahu aturanku.”
Clara menggenggam ponselnya lebih erat dengan telapak tangan yang basah berkeringat. bagaimanapun ia menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, ia tetap gugup.
“Apa syaratmu?” tanyanya dengan suara yang dipaksakan tetap tenang, meski tubuhnya gemetar. “Katakan, Markus!”
“Temui aku besok. Akan aku kirimkan lokasinya.”
Clara menahan napas sementara ponsel pelan-pelan merosot dari telinganya. Ia tidak percaya akan melakukan ini, berhubungan kembali dengan pria seperti iblis yang sudah susah payah berhasil ia hindari. Namun, adakah jalan lain? Daniel Addams sebagai satu-satunya harapan, sudah tidak lagi bisa diharapkan.
*
“Operasinya sudah selesai dilaksanakan. Dokter bilang mereka perlu mengangkat pembuluh darah di otak Gerard yang pecah dan banyak hal lain yang tidak aku mengerti. Tapi sejauh yang aku tahu, semuanya berjalan lancar.”
Perawat bernama Amy itu menyampaikan dengan wajah penuh senyum kepada Clara pagi ini. Ia memandang tidak percaya kepada di gadis yang berdiri gemetaran itu. Wajahnya pucat, matanya sembab bekas tangis.
“Kau berusaha sekeras itu, Clara?” Amy merengkuh gadis itu dalam pelukan. “Aku bisa melihat betapa besarnya cintamu untuk tunanganmu. Dia akan segera sembuh.”
Clara mengangguk dan membalas pelukan itu. Tidak, sebenarnya bukan cinta, tapi rasa hutang budi yang begitu besar yang membuatnya demikian. “Terima kasih sudah menyelamatkan dia. Dia orang baik.”
“Pihak rumah sakit berusaha sebaik mungkin. Tapi ini juga karena usahamu, Clara. Aku tahu bagaimana kau bekerja tanpa henti siang dan malam.”
Gadis itu mengulas senyum tipis. Pandangannya jatuh kepada sosok di balik dinding kaca yang terbaring lemah. Setelah dua bulan penuh koma akibat kecelakaan mobil itu, hari ini untuk pertama kalinya Clara melihat ada sinar harapan pada wajah Gerard. Pria itu belum sadar, tapi setidaknya hidupnya bisa dipertahankan.
Suara dering ponsel terdengar dari dalam saku mantel. Clara minta izin kepada Amy untuk mengangkat telepon. Ia menjauh ke koridor sepi. Begitu melihat nama si pemanggil, jantung Clara seperti mencelos. Ia tidak bisa mengabaikan panggilan itu, maka ia terpaksa menerimanya.
“Halo ….”
“Darling ….” Suara parau di seberang terdengar menusuk gendang telinga. “Aku hanya mau mengingatkan, jatuh tempo hutangmu adalah satu bulan dari sekarang. Jika kau tidak membayarnya kembali, kau tahu sejauh apa yang bisa kulakukan kepadamu, kan?”
***
**Clara tercekat. Selama beberapa saat ia terdiam dengan bingung, hendak menjawab bagaimana. Ia berdehem, mencoba menampakkan sikap biasa-biasa saja.“Aku tidak tahu. Mungkin mereka hanya salah lihat saja.”Em terlihat tidak yakin.“Mana mungkin aku bersama direktur kita, kan? Itu … tidak masuk akal. Kau tahu, aku hanya pegawai biasa di perusahaan ini.”Rasanya Clara mau menghilang dari tempat itu saja saat melihat pandangan Emmeline yang penuh tuduhan.Sesudah ini, Clara semakin yakin untuk tidak berteman dengan gadis ini di kantor. Biarlah ia sekedar kenal sebagai rekan kerja saja.“Aku hanya ingin mengatakan ini kepadamu,” kata Em akhirnya setelah sekian menit. Ia menatap Clara dengan lurus dan tidak ragu-ragu. “Berhati-hatilah dengan langkahmu. Kau tahu kantor ini tempat seperti apa. Bahkan sebatang pulpen pun memiliki mata dan telinga.”Gadis bersurai hitam itu kemudian berlalu, meninggalkan Clara yang masih terpaku di dalam kubikelnya. Ingin rasanya memanggil kembali Em dan ber
**“Benar itu bos kamu di kantor, ya?”Clara menelan saliva. Sedikit rasa panik mulai merambat naik sebelum kemudian Gerard melanjutkan, “Padahal ini akhir pekan, tapi kamu masih dikejar-kejar pekerjaan ya, Sayang? Kasihan sekali. Boleh tidak kalau tidak usah diangkat saja teleponnya?”Rasa panik itu mendadak turun lagi. Clara membalas pandangan tulus Gerard dengan senyum simpul.“Tidak enak, Ger. Mungkin saja ada hal yang penting sampai harus menghubungiku selarut ini. Aku akan menjawabnya di luar, ya? Lanjutkan makan apelnya.”Gadis itu melesat keluar sebelum Gerard sempat memberi jawaban. Ia menjauh dari pintu dan memelankan suara ketika menjawab panggilan.“Ya, Tuan Addams?”‘Kau pikir jam berapa sekarang ini?’Clara membuka mulut namun batal menjawab. Ia menengok layar ponselnya untuk melihat jam. Sekarang masih jam sembilan lebih empat puluh menit.“Saya akan segera kembali, Tuan.”‘Aku tidak suka orang yang tidak disiplin.’“Ya, ya maafkan saya. Tapi ini masih belum jam sepuluh
****Tapi Daniel memutuskan tidak usah mencari tahu saja saat ini. Ia pikir barangkali Clara masih repot dengan urusan apartemen lama yang mendadak harus ia tinggalkan. Gadis sepolos itu, mana mungkin punya urusan aneh-aneh di luar sana, kan? Kecuali mungkin bisa berurusan dengan anomali tua bangka seperti kemarin itu. Nah, Daniel cukup yakin Clara sudah tidak berhubungan lagi dengan rentenir itu sekarang.Akhirnya sang direktur hanya melangkah kembali memasuki kamar depan penthouse-nya yang biasanya kosong. Ia memandang berkeliling ruangan luas itu. Atensinya kemudian jatuh pada rak kayu di samping nakas. Semula tidak apa-apa di sana, karena Daniel tidak terlalu menyukai ornamen atau pajangan kecil. Namun baru saja, Clara meletakkan sesuatu. Sebuah frame foto kecil.Daniel mendekat dan mengangkat frame putih itu untuk melihat lebih jelas. Objek yang tercetak di sana adalah seorang pria, seorang wanita, dan di tengah-tengah keduanya jelas adalah Clara sendiri. Daniel mengasumsikan it
**Clara tersinggung, tentu saja. Meski mungkin penampilannya terlalu sederhana, tapi keterlaluan jika seseorang menyebutnya asisten rumah tangga. Gadis itu mengatupkan mulut dan mengalihkan pandangan. Sakit hati yang terpaksa ia telan mentah-mentah rasanya pahit sekali.“Oh, bukan. Ini adalah Nona Clara … salah seorang bawahan Tuan Addams di kantor.”Clara terpaksa sekali mengalihkan pandang kembali kepada gadis secantik bidadari di luar mobil itu. Ia tersenyum dan menyapa demi kesopanan. “Selamat siang, Nona Williams.”Sialnya, Hailey mengabaikannya.“Oh, begitu?” katanya tak tertarik. “Kalau kau akan pergi ke apartemen, aku ikut ya? Daniel sudah lama sekali tidak membalas pesan atau menjawab teleponku. Aku tahu dia pasti merindukanku. Hanya sedang sibuk saja.”Clara tahu sopirnya keberatan. Tapi seperti halnya ia sendiri, tidak memiliki kesempatan untuk bersuara. Untung saja si artis cantik membawa kendaraan sendiri, sehingga tidak harus satu mobil dengan Clara.Setelah menempuh p
**"Tuan, sebentar ...." Clara berhasil melepaskan diri. Ia segera menjauh setelah berhasil mendorong dada bidang Daniel dengan kedua tangan.Pria ini memang agak gila, Clara rasa. Beberapa saat bersamanya, ia kini tahu ada sisi lain dari Daniel yang sangat berbeda dengan apa yang ia lihat di kantor sehari-hari. Selama ini yang Clara tahu, Daniel adalah laki-laki dingin dan seorang pemimpin yang perfeksionis. Kendati sering diterpa gosip miring dengan banyak wanita cantik, Clara sama sekali tidak mengira Daniel 'sebuas' ini.“Kau tidak dengar kata-kataku? Mengapa diam saja?”Clara terhenyak saat mendengar suara dingin itu lagi.“Lepaskan sendiri bajumu.”“Ta-tapi Tuan—”“Lupa dengan perjanjiannya?”Kali ini, Clara dengan mantap menambahkan, selain dingin dan perfeksionis, Daniel juga sangat brengsek.….Clara pergi beberapa saat kemudian, setelah Daniel berhasil mencuri kesempatan untuk 'mengerjainya' sekali lagi. Gadis itu berkata akan pulang dan mengemasi barang-barangnya. Maka Dani
**“Apa kau tidak salah alamat? Bisa-bisanya kau membawaku ke tempat kumuh seperti ini!”Daniel melayangkan protes dingin kepada sopirnya. Pria itu berdecak sebal ketika sekali lagi melihat ke luar mobil. Dalam mimpi pun ia tak pernah menginjakkan kaki ke tempat seperti ini.Pria itu jujur saja, agak heran dengan keputusannya sendiri yang memaksakan diri mendatangi tempat tinggal Clara hari ini, setelah si gadis tidak bisa dihubungi sama sekali. Daniel merasa dirinya nekat dan bodoh dalam waktu bersamaan.“Ini adalah alamat yang anda sebutkan tadi, Tuan. Saya sudah berkali-kali mencocokkan dengan maps. Kita tidak salah alamat.”Kernyitan dalam segera menghiasi kening Daniel. Apakah mungkin divisi personalia kantornya yang salah memberikan informasi tentang alamat Clara?Sekali lagi pria itu mengecek ponselnya, dan ternyata tidak salah.“Gadis itu tinggal di tempat seperti ini? Yang benar sajalah!”Sebenarnya, agak berlebihan jika Daniel bersikap seperti itu dan mengatakan bahwa tempat