jantungmu DEG-DEG AN GAKKK?? 🤣🤣 aaaak... kapan mulai 2 babnya Thor? hm .... sedang Thor pertimbangkan ⚖️🛵, sementara ini mari berdebar-debar di ujung bab 🫦 avv
Samantha memberontak, meski suaranya tersendat akibat tekanan yang diberikan oleh Erick, ia mencoba berteriak.“Le-lepas!” serunya sekeras yang ia bisa, berharap ada orang di parkiran yang mendengar dan melihat kegilaan Erick.Meski tidak ada seorang pun yang datang, setidaknya itu membantu Samantha. Sebab hal yang baru ia lakukan itu membuat Erick melepasnya.Sepasang mata pria itu memerah, amarahnya meluap-luap. Dan sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi, Samantha beringsut mundur, menjaga jarak.“Pengadilan mengirimkan surat panggilan untuk sidang cerai,” ucap pria itu. “Kamu melakukannya lagi? Kamu pikir siapa dirimu, Samantha?!”Samantha tak menjawab, tapi membenarkan dalam hati. Bahwa ia memang sudah memasukkan kembali gugatan cerai terhadap Erick setelah mengantongi bukti yang cukup. Hasil visum serta foto-foto perselingkuhan Erick dan Eliza yang ia dapatkan dari Damien.Surat pemanggilan sidangnya telah diterima oleh Erick, dan pria itu tidak terima. Harga dirinya terluka.“
“S-saya tidak lapar,” jawab Samantha, menolak permintaan Damien. Ia datang ke sini hanya untuk mengetahui apa yang ingin diberikan oleh pria itu, kemudian pulang. Damien bergeming, ia hanya menatap Samantha dengan iris birunya yang terlihat berkilauan di bawah pencahayaan lampu gantung di atas mereka. Anehnya … Samantha perlahan berubah pikiran. Dari penolakan, sebuah rasa bersalah timbul di dalam hatinya. Ia baru saja merasa tidak tahu diri jika menolak Damien saat pria itu sudah berbaik hati membantunya. “Baiklah,” ucap Samantha akhirnya. Damien mempersilakannya untuk duduk. Mereka berseberangan dengan dipisahkan oleh sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari jendela hotel dan menunjukkan gemerlapnya lampu kendaraan yang terlihat sangat kecil di bawah sana. Makan malam berlangsung tanpa banyak percakapan yang terlewati. Hanya sesekali pandangan mereka bertemu dan Samantha buru-buru menghindarinya. Lagi pula, Samantha tidak tahu apa yang harus ia bicarakan, atau memulainya dar
Setelah panggilannya dengan Damien usai, Samantha duduk di tepi ranjang. Ia pikir, Erick tidak akan pulang sehingga ia menjadikan kesempatan itu untuknya berkemas.Ia mengambil tas jinjing berukuran sedang. Memasukkan beberapa barang yang ia butuhkan yang sebagian besarnya adalah milik Gabriella. Sementara miliknya hanya beberapa potong pakaian yang ia bawa.Tanpa berpamitan pada Erick, atau pembantu yang ada di rumah itu, Samantha pergi dari sana. Taksi yang dipesannya mengantarnya kembali ke rumah orang tuanya.Lewat tengah hari saat ia membawa tas jinjing itu ke dalam rumah. Kedatangannya menimbulkan pertanyaan bagi pria dan wanita paruh baya yang sedang ada di ruang makan.Ayah Samantha—Tuan Harry—yang lebih dulu bertanya, seolah menangkap situasi yang tidak baik.“Apa yang terjadi, Samantha?”Tuan Harry hampir bangun dari duduknya sebelum Samantha mencegahnya karena melihat beliau yang tampak kurang sehat.“Apa ada masalah, Nak?” imbuh sang Ibu. “Kenapa kamu mendadak pulang di ha
Samantha tercenung. Maniknya perih kala menatap Damien yang masih tak memalingkan wajahnya. Pria itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari balik mantel hitam yang ia kenakan dan menyerahkannya pada Samantha. Sebuah kartu nama. “Saya tahu Nona pasti kesulitan untuk melawan Erick,” kata Damien. “Kapanpun Nona memutuskan, Nona bisa menghubungi saya.” Samantha terdiam untuk lebih dari tiga puluh detik sebelum memutuskan untuk menerimanya. “Terima kasih, Tuan Damien.” “Setelah ini Nona akan pulang ke mana?” tanya pria itu. “Ke rumah orang tua Nona?” “Tidak. Ke rumah Erick. Saya … ingin memastikan sesuatu dulu di sana.” “Baiklah.” Setelahnya, sopir Damien yang tadi dimintanya keluar kembali ke dalam mobil. Sedan mewah itu mengantarnya hingga ke depan pintu gerbang rumah Erick yang terlihat angkuh. Saat Samantha keluar, ia menundukkan kepalanya di hadapan Damien, berterima kasih. “Terima kasih untuk tumpangannya, Tuan Damien.” “Sama-sama.” Tadinya, Samantha hendak berdiri di sana da
Di depan matanya, hubungan panas itu berlangsung. Samantha berdiri di sana dengan linglung, seluruh tubuhnya kebas saat suara erangan liar Eliza memudar dan digantikan oleh pujian yang meluncur dari bibir Erick—pria yang seharusnya ia sebut sebagai ‘suami’. “Aku tidak akan mungkin bosan denganmu, Eliza,” ucap Erick. “Kamu tidak pernah gagal dalam memuaskanku.” Tawa Eliza terdengar sensual saat menjawab, “Jangan bicara seperti itu, Erick ….” “Lalu bagaimana, Sayang? Kamu memang sebagus itu. Jauh berbeda dengan Samantha, si bodoh yang sekarang sedang menangisi kematian anaknya itu.” “Bisakah kamu tidak menyebut namanya?” pinta Eliza. Dari celah pintu tersebut, Samantha melihat jari-jari lentik wanita itu tengah menyusuri garis dagu Erick. “Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu ke depannya, apakah bisa, Erick?” “Bisa, Eliza,” balas pria itu. “Kita bertemu lagi nanti malam ya?” “Di tempat biasa?” “Iya.” “Aku akan menyambutmu dengan tidak mengenakan apapun nanti.” U
Sisa malam itu dilalui Samantha dengan luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi, perpisahan yang sebenarnya baru ia rasakan pada pagi hari saat Gabriella dimakamkan. Semua orang hadir, mengikuti prosesi pemakaman, lalu pergi satu persatu meninggalkannya. Di kejauhan, para peziarah saling bertegur sapa lalu tertawa, seolah duka yang mereka katakan pada Samantha hanya sebuah pemanis bibir, formalitas belaka. Hanya Samantha yang menanggung kehilangan ini seorang diri. "Samantha," panggil suara manis Eliza dari sampingnya. "Ayo kita pulang." Samantha menggeleng, "Kamu pergilah dulu, Eliza. Aku masih ingin tinggal sedikit lebih lama bersama Gabriella." Eliza terlihat khawatir dengannya, gadis itu menoleh pada Erick yang berdiri tak jauh darinya. "Aku harus menerima ucapan dukacita di kantor, jadi aku akan pergi," ucap Erick. "Kamu bisa pulang sendiri nanti?" Samantha hanya mengangguk. Pria itu lantas melangkah pergi bersama Eliza—menyisakan Samantha seorang diri, tanpa a