LOGINSamantha Celestine merasa pernikahan ini hanya memberinya luka sejak sang suami berubah dan tak lagi menginginkannya. Demi pengobatan putrinya, ia bertahan dalam keretakan itu. Suatu malam, sebuah pesta mengantarnya terjebak di ranjang panas Damien Morgan, tuan muda keluarga Frost. Pria itu menyentuh Samantha dengan cara yang berbeda, menghidupkan kembali gairahnya yang telah lama mati. Meski mereka sepakat untuk melupakannya dan mengubur rahasia itu, tapi bagaimana jadinya jika keadaan membuat mereka terus saja bertemu? IG @almiftiafay
View More“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!”
Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!” Teguran Eliza menyasar Erick yang mendengus dengan enggan. Eliza kembali memandang Samantha dan dengan prihatin berujar, “Sebaiknya kamu istirahat saja, Samantha. Aku akan mengantarmu ke kamar.” “Terima kasih,” jawab Samantha. “Tapi aku bisa jalan sendiri, Eli.” “Baiklah,” jawab Eliza, tak memaksa Samantha meski ia tetap mengikutinya. Di kejauhan, barulah gadis itu melepaskan tangannya dari bahu Samantha. “Aku akan memberitahu Erick untuk menyusulmu setelah ini,” ujarnya. Samantha hanya mengangguk, mengiyakan Eliza meski tak yakin Erick akan benar menyusulnya. Ia meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja. Langkahnya menjauh dari keramaian, meninggalkan gemerlap lampu dan hiruk-pikuk, menyusuri lorong yang lebih sunyi sembari menghela dalam napasnya. Mengingat sepasang mata Erick yang penuh kebencian—dan kasarnya cara ia bicara bahkan saat mereka berdiri bersama banyak orang—membuat Samantha semakin yakin perasaan pria itu telah berubah padanya. Dulu mereka memang menikah karena cinta sebelum waktu mengubah Erick menjadi pria yang berbeda. Sudah lima tahun mereka menikah, perubahan sikap Erick pada tahun kedua pernikahan mereka membuatnya kesepian dan menanggung rasa sesak ini seorang diri. Samantha sudah menggugat cerai Erick, tetapi ia tak bisa lepas begitu saja. Erick menolak bercerai. Suaminya itu mengatakan dengan tegas, bahwa hanya dirinyalah yang bisa mengakhiri hubungan mereka, bukan seorang Samantha Celestine. Terlebih, ia harus memikirkan putri kecilnya yang malang, yang membutuhkan dana besar untuk pengobatan penyakit kelainan darahnya sejak lahir. Bahkan jika hatinya sudah mati dalam pernikahan ini, ia masih punya satu alasan untuk tetap tinggal, anaknya. Langkah letih Samantha berhenti di depan sebuah pintu, ia masuk ke dalam salah satu kamar di resort yang sudah dipersiapkan. Ia membiarkan ruangan itu gelap selain hanya diterangi oleh lampu tidur di atas meja, berpikir ia akan tidur setelah ini. Ia duduk di tepi ranjang seraya melepas heels tinggi itu dari kakinya. Matanya terpejam, menyusun rencana bahwa ia akan segera pulang besok pagi. Badannya terasa menggigil, pening karena menyesap minuman dari pesta. Samantha mengangkat wajah saat pintu terbuka dari luar dan masuklah seorang pria yang wajahnya tak bisa dilihat secara jelas olehnya karena kegelapan ini memberinya batas jarak pandang. “Erick, apakah itu kamu?” tanya Samantha. Pria itu tak menjawab, Samantha melihatnya seperti sebuah siluet gelap yang sedang mendekat. Samantha berpikir itu benar Erick, mengingat Eliza sebelumnya mengatakan bahwa ia akan membujuk suaminya itu untuk ke sini. Barangkali ... ia hendak meminta maaf karena baru saja bersikap kasar padanya? Samantha sebenarnya masih memiliki harapan tipis akan membaiknya hubungan mereka karena kadang Erick masih bersikap manis padanya. “Aku akan pulang duluan besok pagi-pagi,” kata Samantha. “Aku ingin segera melihat anak kita.” Tapi, sosok tinggi tegap nan gagah di hadapannya ini tak menjawab. Seolah ia hanya sedang memandanginya sebelum keheningan itu berubah. “E-Erick ….” sebut Samantha terbata saat merasakan sentuhan di pipinya. Usapannya singgah di bibir Samantha, lembut dan hangat. Sedang tangannya yang lain melingkari pinggangnya, untuk sesaat membuat Samantha ling-lung karena ia tahu Erick tak akan menyentuhnya selembut ini, apalagi sudah beberapa waktu belakangan mereka tak terlibat dalam keintiman. “A-apa kamu mabuk?” tanya Samantha saat ia mencium bau wine dari suaminya itu. “Tidurlah saja di sini, aku bisa tidur di tempat—ahh—” Samantha kehilangan keseimbangan saat tubuhnya terhempas di atas ranjang. “A-apa yang kamu lakukan?” rintih Samantha saat bibir dingin pria itu menyinggahi lehernya. Gigitannya terasa perih di dagu dan bahu Samantha, tapi ia tak bisa menolak. Darahnya berdesir, tubuhnya meminta lebih dari ini. Gaun panjang yang dikenakannya tersingkap, jemari pria itu menyelusup masuk, menyusuri jenjang kakinya, menggerus bagian dalam pahanya dan membuat Samantha meremas erat seprai di kanan dan kirinya. “Hngh ….” Pinggang Samantha menggeliat, merasakan sentuhan gila yang selama ini tak pernah diterimanya dari Erick. Cara tangan itu menanggalkan gaunnya seperti sebuah godaan yang tak mampu ia tepis. Gaun itu tak lagi melindunginya. Bibir mereka saling menyapa, bukan hanya sebatas kecupan tetapi tuntutan yang lebih jauh. Saling memagut, dan membuat Samantha tak rela jika harus terlepas. “Tubuhmu sempurna,” bisiknya. Samantha tak membalas, hanya meraba wajah Erick yang terlindungi oleh kegelapan. Samantha berpikir Erick-nya telah kembali, prianya, suami yang mencintainya. Setitik air matanya jatuh bukan karena rasa sakit, tetapi karena ia tak tahu kapan terakhir kali disentuh sebagai seorang wanita, bukan hanya sebatas pemuas nafsu lalu ditinggalkan saat usai. “Aahh ….” Samantha tak bisa menahan dirinya. Tubuh mereka melebur dalam kobaran api yang panas. Hentakan yang diterimanya membuat jantungnya berdenyut. Waktu memerangkapnya, desahannya pecah di antara ciuman yang datang bertubi-tubi. Tubuhnya gemetar dalam keheningan, ia melingkarkan tangannya di punggung Erick saat pria itu mengantarnya dalam kenikmatan yang besar. Untuk pertama kalinya sepanjang lima tahun pernikahan itu, baru malam inilah Samantha mendapatkannya. Riak kenikmatan yang meluap, ia … klimaks. Malam yang panjang menghilang pelan-pelan, matahari meninggi menyelinap dari balik kelambu di kamar resort tempat Samantha melepaskan lelahnya. Ia bangun, mengerjap, membiasakan matanya menerima cahaya dan mengedarkan pandang. Maniknya berhenti ke sudut ruangan, tempat di mana seorang pria dalam balutan kemeja lengan panjang putihnya duduk di sana dan memperhatikannya dalam diam. Damien Morgan Frost, pria bermata biru gelap seusia suaminya itu adalah partner bisnis ayah Erick. Samantha refleks menutup tubuh polosnya dengan selimut, diliputi kebingungan menata kalimat. “T-Tuan Damien, a-apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Samantha terbata. Rasa takut menghantam dadanya dengan hanya membayangkan semarah apa Erick saat tahu ia berada di dalam satu kamar bersama pria lain. Kedua sudut bibir Damien samar terangkat. “Kamu yang semalam masuk lebih dulu ke dalam kamarku, Nona Samantha Celestine.” ‘Ka ... marnya?’ ulang Samantha dalam hati sembari menutup mulutnya dengan sebelah tangan. ‘T-tidak mungkin ‘kan yang semalam itu aku ... dengannya?’Suara pintu tertutup di belakangnya saat Eliza pergi. Robin masih duduk di sana dengan hati yang tak karuan rasanya.Parfum Eliza terasa melekat di tubuhnya. Bisikan di telinga dan sentuhannya yang tadi menyusuri leher hingga ke dadanya masih tertinggal.Sepasang mata Robin terpejam sejenak sebelum ia mengembuskan napasnya.Punggungnya tegak, ia meraih ponsel miliknya yang ada di atas meja. Yang saat layarnya menyala, di sana terdapat kontak Eliza.Dimasukkan dan disimpan sendiri oleh perempuan itu setelah menggerayangi paha Robin dan mengambil ponselnya dari dalam sana.‘Hubungi aku kapanpun kamu sudah memutuskan, Robin.’Ucapan Eliza terngiang di telinganya, melekat erat, menggoda dan merayunya untuk tenggelam dalam bujuk rayu itu. Memisahkan Samantha dan Damien, di mana Robin memilik tugas untuk mengambil Samantha dari suaminya.‘Masih ada waktu sampai Samantha kembali, tapi jauh sebelum itu kita bisa bersenang-senang setiap malam. Jangan menolak ... pelayananku akan sangat memuask
Robin menunjukkan senyumnya, masih bersikap profesional saat bertanya, “Waitres bilang kalau kamu komplain soal hidangan penutupnya. Kalau aku boleh tahu—““Aku komplain seperti itu biar bisa bertemu denganmu, Robin.”“Eliza—““Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Robin mendorong napasnya sebelum memutuskan untuk mendekat. Menarik kursi yang ada di seberang Eliza dan duduk di sana.“Sudah lama tidak bertemu, Robin. Apa kabar?”Robin mengangguk, “Baik,” jawabnya.“Setelah kamu lulus kuliah, aku hampir tidak pernah melihatmu lagi. Dan tahu-tahu kamu jadi celebrity chef.”Robin hanya tertawa lirih mendengar itu.Sebenarnya ... ia dan Eliza tidak sedekat ini. Mereka hanya tetangga apartemen, dulu selama Robin dan Eliza kuliah. Robin yang lulus lebih dulu pergi dari apartemen tersebut dan mereka tidak berjumpa sejak saat itu.Robin hanya tahu Eliza menjadi seorang selebgram, yang wajahnya sering muncul untuk mempromosikan berbagai produk kecantikan. Dan tentu saja, melihat ska
Sola lux mea …. Bukankah itu sangat indah? Mata Samantha basah kala bersirobok dengan Damien. Ia pikir … yang indah itu bukan kalungnya, tapi si pemberinya. Damien Morgan lah yang indah. Entah berapa kali banyaknya Samantha selalu dibuat seperti ini, karam dalam pesonanya. Samantha mengangguk saat memandang dan menyentuh kalung tersebut. Pujiannya tak tertahankan lagi. “Cantik sekali, Damien … terima kasih ….” Damien menundukkan kepalanya, bibirnya menggapai ranum bibir Samantha sehingga kecupan itu terasa manis. Malam ini, semua hadiah yang diberikan untuknya, kejutan dari Damien dan juga ‘Sola lux mea’ tak akan pernah ia lupakan. Terpatri di dalam sanubarinya, menghangatkan dan memberinya rasa nyaman. “Duduklah di sana,” pinta Damien, jarinya sekilas menunjuk pada sofa yang dikelilingi oleh bunga-bunga. “Aku akan mengambil fotomu untuk aku tunjukkan pada Mama.” Damien hendak beranjak untuk mengambil kameranya sebelum Samantha menahan lengannya sehingga ia berhenti. “Aku t
“Damien—“ Samantha tidak bisa melanjutkan kalimatnya.Bibirnya terlalu beku bahkan jika itu untuk mengatakan ‘Terima kasih.’Air matanya lebih dulu luntur, bermuara di pipinya dalam bentuk haru yang besar.Damien melangkah mendekat, api di lilin-lilin kecilnya bergerak meliuk hingga tiba di depan Samantha.“Selamat ulang tahun, aku harap kebahagiaan selalu menyertaimu.”Damien tersenyum manis saat Samantha merapatkan kedua tangannya di depan dada. Matanya terpejam kala ia mengaminkan pengharapan itu dan melangitkan doanya sendiri.‘Terima kasih untuk hidupku yang sekarang, Tuhan … dan tidak banyak yang aku minta, tolong lindungi kami semua dalam penjagaanmu. Jauhkan segala marabahaya dan dekatkan kami pada kebahagiaan.’Ia membuka matanya, meniup lilin tersebut satu persatu. Pendarnya menghilang hingga tersisa cahaya remang yang masih memeluk mereka.“Sebentar,” bisik Damien seraya melangkah menjauh.Prianya itu menyalakan lampunya sehingga ruang tamu kamar presidential suite yang mer






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore