LOGINcerdik vs licik, siapa yang akan menang? 😬😬
Pagi hari setelah penangkapan Eliza semalam, Samantha pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Robin. Ia menggenggam tangan Damien yang berjalan di sebelah kanannya, prianya itulah yang sepertinya lebih tidak sabar untuk segera bertemu dengan Robin.Ia jugalah yang tadi mengidekan untuk mampir sebentar ke Harvest Table untuk membawakan kudapan untuk Robin.Ruang rawatnya terlihat, setelah mengetuk pintu dan terdengar jawaban dar dalam, mereka pun masuk.Robin tengah duduk seorang diri di atas ranjang, dipindahkan ke dalam ruang rawat ini sejak semalam karena kondisinya semakin membaik pasca operasi.“Samantha, Damien,” sapanya dengan senyum yang merekah.“Bagaimana keadaanmu?” balas Damien setelah meletakkan paper bag berisi makanannya di atas meja.“Sudah baikan.”Helaan napas panjang Damien terdengar lega, begitu juga dengan Samantha. Mereka secara tak terduga bersamaan mengatakan, “Terima kasih.”Robin tertawa lirih, anggukannya pun tampak sama leganya.“Syukurlah tidak terjadi hal b
Rasa malu seperti menarik wajah Eliza hingga terkelupas. Ia tak menjawab Giovanni, sudut matanya mengarah pada pintu kamar mandi. Ia terlalu ketakutan saat melihat Joe yang bangkit dari kematian sehingga .... Mata Eliza terpejam, jemarinya kembali meremas gaun di bagian depan pahanya hingga kebas. Bibirnya mengatup rapat, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab. “Wah ... kamu ketakutan melihat hantu padahal kamu sendiri lebih mengerikan daripada iblis?” tanya Giovanni, menggeleng dan menatap Eliza dengan keheranan. Eliza kian tidak berkutik. Meski ia tahu Damien tak akan peduli dengan apa yang ia lakukan, tapi bagaimana ia menyembunyikan rasa malu ini sekarang? Pria itu menatapnya sebelum iris birunya berpaling. Kedua tangannya berada di dalam aku celana, ia melangkah pergi dari sana tanpa mengatakan apapun. Eliza memberanikan diri untuk mengejarnya, tapi hanya beberapa langkah, Giovanni mencegahnya. “Mau apa kamu?” “Damien!” panggil Eliza. Damien yang sudah be
Eliza bangkit dari bersimpuhnya di lantai. Mengejar Samantha, kedua tangannya mengarah ke depan. Pandangannya tertuju pada rambut panjang Samantha, berniat untuk menariknya hingga terjerembab, kemudian saat terjatuh nanti, akan ia injak-injak perutnya sampai bayi dalam kandungannya itu mati! Tapi, seperti sudah mengetahui bahwa hal itu akan terjadi, Samantha yang tadinya berjalan meninggalkan kamarnya mendadak berhenti. Ia menoleh ke belakang. Tangannya lebih dulu meraih kedua pergelangan berkeringat Eliza, menepisnya dan sebagai gantinya Samantha melayangkan tamparan di pipi sebelah kiri Eliza. Dorongan kuat itu membuat kepala Eliza terpelanting ke belakang, sebagian wajahnya tertutup oleh rambut saat benturan itu menimbulkan gema. PLAKK! Siapapun yang mendengarnya tahu itu pasti terasa sangat sakit. “Akh—“ Eliza menjerit, meraba pipinya. Matanya yang basah menatap Samantha. “Kamu benar-benar mengerikan, Samantha!” jerit Eliza. Napasnya naik turun, diburu kebencian. “Haru
“Eliza ….” Suaranya menggema, membuat Eliza gemetar. Ia ingin berlari tetapi tidak bisa. Kakinya terlalu kebas bahkan jika itu untuk bergerak seinchi saja. “KAMU SUDAH MATI!” teriak Eliza teriring tubuhnya yang jatuh tak berdaya di lantai. Tangannya yang membawa ponsel berkeringat dingin. Gawainya tergeletak di sampingnya dengan pencahayaan yang menerangi ke atas sehingga membuat sosok makhluk itu terlihat semakin menyeramkan. ‘Bayangkan bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke kamarmu dan berwujud seperti ini. Apa tidak akan mati berdiri kita? Aah—bagaimana kalau rohnya tidak tenang dan dia berkeliaran menghantui Berlin?’ Kalimat Ivy tadi menghantuinya. Apa yang tadi ia abaikan ternyata menjadi kenyataan. Orang yang sudah mati benar-benar gentayangan dan menerornya. Seakan ia sedang menuntut keadilan atas apa yang dilakukan oleh Eliza. “PERGI!” Eliza menyeret tubuhnya ke belakang. Benar-benar tak sanggup berdiri. “Ayo ikut aku, Eliza ….” ucap pria berwajah hancur itu. “
…. Di dalam apartemen yang ditinggali oleh Eliza, ia sedang duduk di sofa ruang tamunya malam hari ini. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, mencari tahu siapa saja nama korban tewas dalam kecelakaan yang terjadi di jalan Nebelweg kemarin, yang hingga hari ini masih belum dirilis oleh pihak kepolisian. Eliza tidak peduli dengan semua orang itu. Ia hanya menginginkan satu nama saja: Samantha Celestine. Dengan kecelakaan yang begitu parah, harusnya Samantha menjadi salah satu korbannya, bukan? Tak mungkin wanita itu memiliki sembilan nyawa untuk selamat dari kematian. Eliza sudah mengupayakan agar segala hal terjadi. Sebelumnya ia telah meminta seseorang untuk mengikuti mobil yang dikemudikan oleh Samantha, yang memberitahukan bahwa ia menuju ke jalan Nebelweg. Eliza yang saat itu berada tak jauh dari sana kemudian meminta sopir truk yang sedang ditemuinya untuk menabrak sedan yang ia sebutkan itu, bagaimanapun caranya. Dan untuk memperluas kemungkinannya, Eliza menggunakan se
“Tapi hal seperti itu memang bisa terjadi, Anna,” kata Damien. “Benarkah, Tuan Damien?” “Ya. Saat si pengendara tewas, mesin masih menyala. Saat dia sekarat, otot-ototnya menegang. Kakinya yang menginjak gas akan memperburuk keadaan. Mobilnya terus bergerak tanpa tahu tujuan, menabrak apapun dan kejadian seperti pagi inilah hasilnya.” Anna mengangguk mengerti. Sementara Samantha yang ada di samping Damien tampak mengerutkan alisnya. Menatap prianya itu. “Tapi yang mencurigakan bukankah si sopir yang overdosis?” tanyanya. “Truknya masih diperiksa karena bagian depannya juga terbakar. Tapi teman saya bilang kalau itu pasti narkoba, Nona Samantha,” sahut Giovanni. “Pertemuan yang dilakukan oleh Eliza dan sopir itu sebelumnya sepertinya bukan hanya untuk membayarnya saja, Pak Gio,” ujar Samantha menelaah. “Dari wajahnya yang manis dan selalu bisa memanipulasi orang lain, bisa saja ada ... makanan, atau minuman yang sudah diberi obat diserahkan Eliza pada sopir itu. Eliza memastikan ia







