udah bawa senjata apa buat hari ini 🤣🤣🤣
Samantha membeku untuk beberapa detik, berpikir dalam diamnya, apakah Erick tahu ia berulang kali datang ke The Hera Palace untuk menemui Damien?Tapi seandainya benar Erick tahu, ia pasti sudah menyebut di mana hotel dan dengan siapa Samantha datang.“Oh ya? Di hotel mana?” tanya Samantha balik. “Apa kamu melihat wajahnya?”“Samantha—““Ke manapun aku pergi itu bukan urusanmu, Erick,” selanya. “Kamu selingkuh lebih dulu dengan Eliza, jadi tidak bolehkah aku melakukan hal yang sama?”Sepasang alis lebat Erick berkerut. Sepertinya tak mengantisipasi tanya itu dari Samantha. Pria itu terpancang di lantai, menatap tanpa berkedip.Hanya rahangnya yang menggertak, hendak mengatakan banyak hal tetapi tak ada satu pun yang keluar dari bibirnya.“Sudah cukup bicaranya? Kalau sudah pergilah, Erick!”“Tidak mau,” tolak Erick.Ia selangkah maju dan Samantha mencegahnya. “Berhenti di sana!” serunya. “Kalau kamu mendekat, aku akan berlari keluar dan melompat dari sini. Dengan banyaknya skandal yan
“Erick,” panggil Damien yang membuat pria di seberang meja itu seketika mengangkat wajahnya. Damien sudah melihatnya sejak tadi jika Erick sibuk dengan ponselnya alih-alih memperhatikan presentasi yang sedang dilakukan oleh salah seorang anggota timnya. Teguran Damien itu membuat semua orang menahan napas moderator yang memimpin jalannya pertemuan pun meminta pemuda yang sedang memberi penjelasan—perihal revitalisasi kawasan lama yang akan diubah menjadi distrik modern—itu menjedanya. Pandangan mereka mengarah pada si pemilik nama yang dengan segera meletakkan ponselnya. “Maaf, Tuan Damien,” ucap Erick, menundukkan sungkan. “Silakan dilanjutkan.” Dengan isyarat mata Damien, meeting kembali berjalan. Satu jam yang cukup panjang hingga satu demi satu dari mereka membubarkan diri. “Apa yang terjadi, Erick?” tanya Damien pada wajahnya yang tampak kusut, setelah tidak banyak orang yang ada di sana. “Tidak biasanya kamu seperti itu.” “Maaf, Tuan Damien. Hanya … ada hal yang sedikit me
Beberapa hari setelah bazar usai, Samantha disibukkan dengan hal yang lainnya. Sidang perceraian. Ia tengah duduk di depan ruangan, tempat di mana sidang akan dilakukan. Tinggal beberapa menit lagi, tapi hampir tak ada tanda kedatangan Erick sehingga Samantha berpikir pria itu tidak akan datang. Samantha sudah lebih dulu tiba di sana bersama dengan Hans, pengacaranya. Pria berjas itu berbisik di samping telinganya saat mengatakan, “Saya menerima telepon sebentar, Nona.” Samantha mengangguk. “Iya, Pak Hans.” Saat Hans pergi, suara langkah yang rasanya tidak asing mendekat menghampirinya. Ia sekilas menoleh pada kedatangan seorang pria yang membuat sangkaannya patah. Erick, rupanya pria itu menunjukkan batang hidungnya. Samantha memalingkan wajahnya, kembali memandang ke pintu ruang sidang yang masih tertutup, memilih untuk mengabaikan Erick sekalipun ia tahu bahwa pria itu tengah menatapnya tanpa henti. Tawa lirih pria itu terdengar meremehkan saat bertanya, “Sekeras itu kamu i
Erick menghela dalam napasnya, mengangguk membenarkan ucapan Eliza. “Apakah besok kamu mau datang untuk melihatnya?” tanya Eliza, jemarinya yang lentik masih berkeliaran di dada Erick sebelum menyelinap turun, menyentuh kulitnya yang basah oleh peluh. “Biar kamu tahu kalau apa yang aku katakan itu bukan sebuah kebohongan, Erick ….” Suaranya mendayu manja, merayu dengan manis. “Damien tadi juga ada di sana, dia bilang dia dapat undangan, dan datang dengan temannya yang seorang chef,” lanjut Eliza, merapatkan tubuhnya, bersinggungan dengan Erick. “Mungkin Damien kasihan pada Samantha, jadi mereka mencicipi makanan murahannya. Kalau bukan karena Damien … aku rasa tidak akan ada yang membeli di tempatnya.” Pria itu mendengus sebelum menjawab, “Aku akan datang besok. Aku ingin lihat seperti apa Samantha tanpaku. Kalau kemarin ramai karena ada bantuan Damien, mungkin besok dia akan menjadi peserta yang paling menyedihkan karena tidak akan ada yang membelinya.” Rahang tegasnya tampak men
Samantha benar-benar tidak menyangka bahwa Eliza akan mencari muka dengan cara seperti itu di hadapan Damien. Siapa yang menjual cerita sedih memangnya? Bukankah tadi mulutnya yang mengawali semua itu hingga membuat orang-orang menggunjingnya? Samantha hendak menjawab sebelum Damien lebih dulu berujar, “Tolong berikan saya daftar menunya, Nona Samantha,” pintanya. “Dan kamu—Eliza—“ Pandangannya berpindah pada Eliza yang terkejut hingga kedua alisnya terangkat. “Y-ya?!” “Untuk membuktikan apakah makanan di sini enak atau tidak, bagaimana kalau kamu mencobanya dengan saya?” ajaknya. “Saya—“ "Bills on me.” Eliza tersenyum janggal, terlihat sungkan menolak Damien yang diseganinya. “B-baiklah,” putus Eliza. Akhirnya mereka pun duduk di sana. Damien bersama dengan pria yang tadi datang bersamanya, sementara Eliza di samping Giovanni dengan punggung yang kaku. Gemuruh suara pengunjung menggema saat chef terkenal yang menjadi bintang tamu itu datang—Chef Mason. Saat Samantha membaw
“Itu tidak benar,” jawab Samantha. “Saya bisa mempertanggungjawabkan bahwa tidak ada yang berbahaya dari bahan yang kami gunakan di Harvest Table.” Ia tak mau diam saja. Melihat beberapa orang yang harusnya makan di tempatnya mendadak mundur dan membatalkan pesanan membuat Samantha merasa kecewa. Ia resah sebab Eliza tak kunjung pergi. Gadis itu berdiri di depan booth, menghalangi jalan. Ditambah selentingan dan berbagai gunjingan miring yang timbul akibat ucapannya membuat Samantha memutuskan untuk mengusirnya saja. “Terima kasih sudah datang, tapi tolong bisakah kamu pergi dari situ, Eliza? Kamu menghalangi pengunjung yang mau membeli,” pintanya. “Mau aku bantu saja?” tawar Eliza. “Bekerja dalam keadaan terpaksa dan hati yang tidak baik pasti akan mengganggumu, ‘kan? Masalah dengan—” “Aku datang ke sini tidak untuk menjual cerita pribadiku,” sela Samantha sebelum Eliza selesai bicara. “Aku juga tidak ingin semua orang tahu masalahku. Aku hanya ingin menjual makanan. Terima kasih