Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Di sebuah apartemen di Upper Bukit Timah, Singapura. Arthur Jefford tidak pernah bermaksud menyiksanya. Itulah yang selalu dikatakannya berulang kali kepada Trisha Geraldyn. Terkadang Arthur akan merengek dan menangis setelah itu, memohon-mohon agar Trisha memaafkannya dan memberinya kesempatan lagi untuk memperbaiki diri. Dia bahkan kerap bersumpah bahwa dia akan berubah, menjanjikan hubungan mereka akan lebih baik lagi. Namun kejadian yang sama terulang lagi malam itu. Arthur sudah tiba di apartemennya pukul tujuh malam, letih sepulang bekerja seharian ketika Trisha muncul di depan pintu apartemennya. Trisha belum sempat masuk, ketika Arthur memekik padanya, “Aku lapar! Kamu bawa makanan, nggak!?” Trisha menggeleng lemah. Dalam hatinya, dia berdoa semoga amarah Arthur tidak meledak. Jangan lagi kali ini. Pria itu memekik dengan berang, “Aku udah letih sepulang kerja, tapi kamu sama sekali nggak pengertian! Untuk apa datang ke sini cuma bawa badan aja? Aku butuh makan!” Trish
Trisha tersentak bangun dan mendapati dirinya terbaring di lantai, didera siksaan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Nyeri kepalanya berdenyut-denyut hebat seperti baru saja dihantam palu godam raksasa. Hatinya remuk redam, keadaannya sama seperti barang-barang yang hancur di sekitarnya. Ada pecahan meja kaca, kotak kayu yang hancur, beberapa CD yang pecah, buku-buku yang robek, sobekan foto Arthur dan dirinya. Dia merasa keadaan batinnya pasti terlihat seperti itu, semua koyak, retak, dan sulit dikenali. Matanya bengkak dan sangat nyeri sehingga terasa berat membuka. Bibirnya perih dan dia mengecap rasa anyir darah yang menodai lengan bajunya setiap kali dia menyeka mulutnya. Lengan dan lehernya juga mengucurkan darah. Dadanya terasa nyeri, hampa dan kosong, seolah-olah sudah menganga lebar dan jantungnya seolah-olah sudah tercabut dari rongganya. Yang dia rasakan hanyalah rasa sakit, gelombang besar penderitaan yang menerjangnya bertubi-tubi, tanpa henti. Dia bersand
Saat tersadar dari mimpinya yang panjang, Trisha merasakan tangan kanannya mencengkeram seprai, memelintirnya sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Dia merasa terlepas dari pikirannya sendiri. Terperangkap tak berdaya dalam tubuhnya sendiri. Dengan tubuh menggigil, Trisha membuka matanya yang masih bengkak. Napasnya memburu cepat. Jantungnya berpacu. Dia menatap nanar keadaan sekelilingnya yang tampak putih dan buram. Dia masih berada di rumah sakit, bersama wanita tua itu lagi. "Akhirnya kamu sadar juga. Kamu mengalami mimpi buruk, ya?" Trisha menelan ludah yang terasa pahit. Dia memberi isyarat untuk minta minum dengan tangannya yang lemah. Wanita itu langsung menyodorkan segelas air putih. Dengan suara parau, Trisha menguatkan diri bertanya pada wanita itu. "Siapa Anda, Nyonya? Bagaimana saya bisa berada di sini?" Wanita itu tersenyum dan berkata, "Namaku Greta Florence. Kamu lupa apa yang terjadi padamu?" Trisha mengangguk lemah. "Malam itu, kebetulan aku pulang larut mala
Keesokan harinya, tepatnya pagi pertama di apartemen barunya, Trisha duduk meringkuk di sofa tunggal minimalis yang tebal dan empuk sembari menyeruput secangkir coklat hangat dan mengunyah sandwich tuna.Diam-diam dia mengutuki kegilaan pesta pora semalam dari ruangan sebelah. Gara-gara mereka, pagi ini dia bangun kesiangan dengan kepala pusing berat. Dia belum begitu sepenuhnya terjaga seperti yang diharapkan untuk mulai membongkar barang-barangnya.Mengembuskan napas kuat-kuat, Trisha memandang ke luar jendela ke arah lautan biru di kejauhan. Kapal-kapal besar dan kecil tampak seperti titik-titik semut putih yang merayap di permukaan laut. Tampak pula pelabuhan feri terminal Harbour Front yang luas dan megah, kapal pesiar terbesar yang masih berlabuh, juga Sentosa Island dengan Universal Studio dan berbagai wahananya yang menarik.Dia menikmati momen kedamaian ini. Entah sudah berapa lama dia merasa kehilangan saat-saat seperti ini, ketika dia bisa menikmati kesendiriannya dengan be