Sebenarnya Trisha tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Dia memiliki pekerjaan tetap yang bagus sebagai desainer interior. Namun, gajinya hanya cukup untuk membayar sewa apartemen bulanan, biaya hidup, dan menyisihkan sedikit untuk membayar pinjaman. Selain menulis di berbagai blog dan situs online, dia membutuhkan sumber penghasilan lain untuk mengeluarkannya dari kesulitan ini. Perlahan Trisha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laptop dan mulai menjelajah situs-situs lowongan kerja untuk pekerja lepas sembari memikirkan kira-kira pekerjaan sambilan apakah yang tepat untuknya saat ini. Pencarian isengnya berakhir pada beberapa pekerjaan yang aneh dan konyol dengan bayaran menggiurkan. Bekerja sebagai putri duyung. Oh tentu tidak! Walaupun bayarannya lumayan, dia bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus mengenakan pakaian minim yang memamerkan perut dan belahan dadanya. Selain itu, dia tidak bisa berenang. Mana mungkin ada putri duyun
Beberapa malam berikutnya suasana sangat sunyi, tepat seperti yang diinginkan Trisha. Tidak ada benturan pada dinding, tidak ada erangan, tidak ada teriakan di tengah malam buta, dan tidak ada tawa cekikikan mesum. Segala sesuatu di sekitar apartemen itu sangat menyenangkan, tenang, dan tentram. Saat sedang senggang, Trisha menyempatkan diri berjalan-jalan di taman atau jalan sekitar kompleks apartemen. Dia juga mulai berkenalan dengan para petugas keamanan di apartemen itu, termasuk Johan Bisaam, seorang pria Melayu dan Lakshmi Krishna, wanita keturunan India Tamil. Mereka berdua sangat baik dan ramah padanya sehingga mereka pun cepat akrab. Trisha belum pernah mendengar atau melihat Desmond sejak terakhir kali dia menempelkan catatan kecil di pintu kamar pria itu. Kendati dia bersyukur untuk tidur malam yang menyenangkan, tak urung rasa penasarannya tergelitik tentang ke mana Desmond menghilang selama beberapa hari ini. Johan dan Lakshmi dengan senang hati memberikan informasi ya
Sayangnya, ketenangan dan kesunyian ini terlalu indah untuk bertahan lama, dan kekacauan kembali terjadi beberapa malam berikutnya. Namun, untuk saat ini, Trisha marah karena beberapa alasan dan menjadi gusar. Dia sangat lelah lahir dan batin, memar di pantatnya masih terasa nyeri, dan ibunya kembali menelepon dengan kemarahan yang meledak-ledak. Pasalnya, Trisha tidak tahu harus berbuat apa. Usahanya menjual beberapa lukisan dan desain furnitur belum membuahkan hasil sama sekali, sementara utangnya bagaikan kawanan ular berbisa yang mengelilinginya hingga terus menyudutkannya. Setelah tidur malam yang singkat, keesokan paginya dia bangun kesiangan dengan mata masih mengantuk berat. Alhasil, dia menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa dalam perjalanan menuju kantor. Seluruh hari itu benar-benar sial. Ada masalah dengan kontraktor di rumah keluarga Gardner sehingga menunda pekerjaan mereka gara-gara kesalahan pesanan material khusus untuk furnitur yang diimpor langsung dari luar neg
Dibayang-bayangi oleh cahaya temaram lorong dari belakang, di sana Desmond berdiri dengan satu kepalan tangan terangkat yang siap memukul dan tangan lainnya memegang selimut yang melingkari pinggulnya. Trisha memandanginya dari ujung rambut dan ujung kaki, tangannya juga masih mengepal dan menggantung di udara. Tangan kirinya masih berdenyut-denyut setelah memukul-mukul tembok begitu keras dengan semangat juang tinggi. Desmond memiliki rambut cokelat gelap yang lebat tetapi terlihat acak-acakan dan mencuat di sana-sini, kemungkinan ulah wanita yang bercumbu dengannya malam ini. Mata abu-abunya tajam seperti mata elang yang tampak tajam dan dalam, dan tulang pipinya sekuat rahangnya. Lapisan jenggot tipis memenuhi dagunya. Bibir merahnya agak tipis dan hidungnya mancung. Raut wajahnya memperlihatkan gurat-gurat oriental bercampur keturunan bule yang eksotis. Trisha menatap tubuh pria itu yang jangkung dan ramping, otot-otot di lengannya membuatnya terlihat sangat kekar. Kulitnya saw
Beberapa malam berikutnya ... Trisha memenuhi ajakan Janice dan Keyra untuk menghadiri pesta seorang teman Janice di kawasan pemukiman mewah di Cluny Road. Mereka pergi ke tempat pesta itu menggunakan mobil tumpangan dari app Joyride. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol seru tentang penghuni sebelah apartemen Trisha. Siapa lagi kalau bukan Desmond? "Jadi, kamu nggak pernah lihat dia lagi sejak bertemu dengannya malam itu?" tanya Janice. "Nggak," sahut Trisha dengan mengerang. Keyra menyentuh lengannya menenangkan. “Dia ganteng, 'kan?” “Jujur—ya! Terlalu ganteng untuk diabaikan. Tapi dia juga sangat brengsek!” sahut Trisha dengan menepakkan tangannya ke jok begitu keras sehingga membuat sang pengemudi terlonjak kaget. Janice dan Keyra saling bertukar pandang dengan tersenyum simpul. “Dan kemudian esok paginya, dia berada di lorong bersama wanita lain lagi, menciumnya mesra! Ini seperti pesta pora orgasme liar, dan dunia hanya milik mereka saja!” sahut Trisha dengan berang set
Trisha dan Desmond berdiri saling bertatapan, gelombang kemarahan dan kekesalan berhamburan bolak-balik di antara keduanya bagaikan loncatan bunga api listrik yang saling menyambar-nyambar. Mereka saling melotot, Desmond dengan seringai nakalnya dan Trisha dengan cibiran sinisnya. Sampai akhirnya Trisha memalingkan muka saat menyadari keempat teman mereka telah terdiam, begitu pula dengan setiap tamu lain di sekitar mereka yang menatap kedua orang itu dengan ekspresi penasaran. Merasakan tangan kecil menyentuh bahunya, Trisha berbalik cepat dan menatap Janice. “Tenanglah, Trish. Tahan dirimu. Jangan bikin ribut di rumah klienku, oke?” bisiknya, tersenyum malu pada Desmond. Trisha menatap Janice dan berpaling ke arah Desmond lagi, mendapati pria itu sudah bergabung dengan kedua temannya. “Aku nggak akan bilang kalau aku kenal dia, tapi aku cukup mengenal aktivitasnya tiap malam,” jawab Trisha dengan gigi terkatup. Mata Trisha mengerjap seperti anak kecil polos yang menyimpan rahasi
Menyadari apa yang baru saja terjadi, Trisha segera menarik diri, sementara jari-jari mereka masih saling bertautan. Dia segera menarik tangannya dengan berang. Desmond tampak terkejut, terlebih lagi saat Trisha berusaha mendorongnya menjauh. Reaksi gadis itu membuatnya tercengang. "Sial!" pekik Trisha, dan beringsut mundur. Mereka saling memandang dengan garang, sementara Trisha mengusap bibirnya. Dia seolah bisa merasakan bibir basah Desmond masih melekat di bibirnya. Dia siap beranjak pergi tetapi kemudian berbalik dengan cepat. "Dengar! Ini nggak akan kumaafkan karena sudah keterlaluan!" "Terserah apa katamu." Desmond menyeringai, dan Trisha kembali merasakan amarahnya berkobar. "Aku juga nggak mau dengar kamu menyebutku Gadis Bergaun Tidur Merah lagi!" pekiknya tertahan, lalu berjalan kembali menyusuri jalan setapak. "Sampai aku bisa lihat baju tidurmu yang lain, aku akan tetap memanggilmu begitu," balasnya. Mendengar ini, Trisha hampir tersandung tetapi dia tidak berbalik
Minggu sore itu begitu cerah. Pada pukul tiga, Trisha menenteng peralatan melukisnya ke taman East Coast Park di tepi pantai. Di sebuah bangku beton di bawah naungan pohon Angsana yang teduh, dia mulai menggoreskan kuasnya pada kanvas putih. Kedua telinganya tersumbat earphone yang memperdengarkan alunan instrumental, sejenak mengungkung diri dari kebisingan dunia luar. Saat mentari perlahan-lahan beringsut ke peraduannya dan lembayung senja mulai menampakkan semburatnya di ufuk barat, para pengunjung di taman itu berangsur-angsur mulai berkurang. Sampai saat ini hanya tersisa segelintir orang yang menyusuri jalan setapak. Ada yang berpasangan atau bersama anak-anak mereka, ada pula yang sendiri, dan ada yang mengajak anjing mereka berjalan-jalan. Beberapa anak kecil juga terlihat masih berkeliaran di taman bermain di kejauhan. Trisha menenggelamkan dirinya dalam serangkaian goresan cat akriliknya. Sejenak tatapannya tenggelam ke dalam peliknya kegelapan di kejauhan. Dia hanyalah d