Terjebak dengan keadaan, Mexsi akhirnya menyetujui perkataan ibunya. Keesokan harinya, Dito datang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Membawa jas berwarna hitam kecoklatan, tapi pada saat sampai dikamar Mexsi. Lelaki itu sedang terlelap tidur, wajah Dito berubah. Ia membangunkan Mexsi kembali dengan lembut, namun tidak kunjung bangun juga. Cara terakhir.
"Sayang, kalau kamu tidur terus. Kita akan segera menikah lho," ucap Dito mencoba memancingnya.
Benar saja, tanpa menunggu waktu lama Mexsi membuka kedua matanya langsung melotot. Bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, Dito langsung berjoged ria karena rencananya berhasil.
Beberapa saat kemudian Mexsi keluar dari kamar mandi, lalu mendorong Dito keluar dari kamarnya. Beralasan jangan sampai dia melihatnya berganti pakaian, meski Dito suka bercanda tapi ia takut candaannya jadi kenyataan.
"Eh tunggu, Mexsi!" Teriak Dito sudah diluar
See you, next part ➡️
Gadis yang sedang ditatap Dito hampir menangis karenanya, muncul sosok lelaki yang gagah, tinggi dan tampan. Sayangnya kepalanya botak, jika berdiri di atas kepalanya mungkin akan terpleset. Secepatnya Dito menatap ke arah sapu yang tergeletak disamping tembok, yang ditinggalkan keliling servis."Apa! Liat-liat!?" kata Dito memekik marah sambil menunjuk-nunjuk sapu itu."Hah! Dasar orang gila," kata lelaki botak itu menggandeng wanitanya.Ketika dirasa mereka sudah pergi menjauh barulah ia pergi dari sana, membelikan Mexsi minum beserta si Mba En. Beberapa saat kemudian Mexsi sudah rapih, ia mulai diajarkan gaya-gaya seorang model ketika dipotret. Selesai dengan pemotretan yang dianggapnya beban, ia bernafas lega bisa langsung menguasainya. Bahkan sampai membuat model yang lain, yang saat itu menyaksikan pemotretannya bertepuk tangan ria. Ia tak mau bila harus berlama-lama di tempat itu. Ingin secepa
Lebih baik jika Mexsi menerima dengan ikhlas lalu berkata. "Tapi sebelum itu, Bunda sudah menempatkan Mexsi di sekolah lama sebelum kecelakaan bukan?"Apakah ini keinginan Mexsi? "Sebenarnya Bunda dan ayah sudah memikirkan sekolah yang lebih bagus, jadi- " Ucapan ibunya terpotong ketika Mexsi menghentakkan kakinya di lantai."Bun, kenapa Bunda lakukan ini. Memangnya kenapa dengan sekolah lama Mexsi?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi.Hampir tidak bisa mencari alasan, ibunya Mexsi akhirnya pasrah lalu berkata. "Baiklah, jika ini memanglah keputusan kamu. Apa boleh buat, Bunda hanya bisa setuju dengan apa yang kamu inginkan."Aneh. Iya benar! Sangat aneh sekali. Jarang sekali ibunya mengalah terhadapnya begitu saja, semakin curiga. Merasa ada sesuatu yang telah disembunyikan ibunya dari dirinya sendiri. Sayup-sayup terasa terpapar jelas pada wajah ibunya yang hampir mengatakan
Betapa terkejutnya Mexsi saat ditatap lekat-lekat gadis yang kini berada dihadapannya, apa hubungannya dengan dia? Apakah selama ini Mexsi kehilangan sesuatu. Itu adalah dirinya? Gadis itu, selama ini terus saja mengikutinya. Ternyata itu adalah dia, yang saat ini berdiri dihadapannya? Entahlah.Gadis itu tersenyum lalu berkata. "Kamu sedang mencari ini, kan?" katanya menyodorkan kembali pulpennya pada lelaki yang berada dihadapannya."Iya." Sahut Mexsi kembali lagi ketempat duduknya.Gadis itu hanya menatap ke arahnya dengan penuh gairah, dan berharap Mexsi suatu saat nanti jatuh hati padanya. Pikirnya hanya menunggu waktu yang tepat saja. Mexsi pasti bisa ditaklukkan oleh dirinya, entah bagaimana pun caranya.Belajar sangat tidak fokus pada saat pertama kalinya kembali bersekolah, sampai ia menatap ke arah papan tulis. Dengan tatapan kosong, gurunya memanggil namanya pun Mexsi
"SAKIT! Punggung tangan gue sampai merah, kasar banget si lo jadi cowok. Anak siapa tahu? Gue cuma mau balas kebaikan lo, karena tadi udah tolongin gue.” Suara siapa itu? Mengapa suaranya terus saja terngiang-ngiang dikepalanya? Mexsi mengangkat tangannya, menyentuh rambut kepalanya, telapak tangannya berada di atas telinga sampai menekan dibagian pelipis. Menutup matanya, suara itu semakin terdengar. Bernafas saja terasa sangat sesak, keningnya berkerut menahan sakit, keringat dari dahinya mulai keluar hampir menetes, suara nafasnya sangat keras sampai terdengar. Dito mengernyit saat melihat Mexsi tampak dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Gue sebagai manajernya Mexsi, jaga jarak dengannya. Satu hal lagi gue mau bahas masalah penting dengannya, nggak boleh ada yang mengikuti kami." Dito segera menceletuk, dengan sorotan tajam dan jahil. Mereka semua terdiam. Memang betul apa yang dikatakan Dito, dia lebih memiliki kuasa atas apa saja yang dilakukan
Mereka berdua saling tatapan, tapi saat Mexsi meringis berteriak kesakitan. Barulah Dito melepaskan genggamannya pada gadis itu. Obat itu langsung masuk ke dalam kerongkongan mulut Mexsi, membantunya mengambilkan air minum. Tak menunggu waktu lama ia tertidur, obatnya mulai bekerja."Huff," kata Yasmin sedikit lega. "Maksudnya apa? Untung saja kita tepat waktu, jika terlambat. Gue gak tahu apa yang akan terjadi padanya." Ia mendesah dengan penuh kesal."Lo belum jawab pertanyaan gue, obat apa yang barusan aja lo kasih ke Mexsi?" tegas Dito kembali bertanya padanya."Bukan urusan lo," ucap Yasmin mencibir."Yasmin gue bertanya demi kebaikan Mexsi, karena gue peduli sama Mexsi," ucap Dito dengan tegas menatapnya. Dengan satu sentakan kaki Yasmin menoleh ke arahnya. "Gue cuma mau lo jadi gadis baik-baik, meski lo nggak inget gue. Tapi gue bakal selalu jadi teman baik lo." Dito menc
Keyla menutup diri rapat-rapat. Ia sama sekali tidak mau berangkat sekolah, yang dilakukannya hanyalah menangis sambil tiduran. Makan saja harus dipaksa ibunya, terkadang Keyla melempar makanan yang di bawa ibunya. Keadaannya semakin lama semakin menjadi saja, menolak untuk berpikir panjang, menolak untuk merasakan rasa sakitnya sendiri. Mengunci rapat-rapat mulutnya beserta pintu kamarnya. Suatu hari ibu Keyla mengetuk pintu beberapa kali. Tapi putrinya tak menjawab sama sekali, ibu Keyla mulai panik. Dia mencoba menghubungi seseorang, yaitu Will temannya. "Tante ada apa? Kenapa wajah Tante begitu cemas?" tanya Will sambil berlari kecil ke arahnya. "Keyla, dia tidak mau keluar. Bahkan tidak menjawab Tante, tolong dobrak pintunya Will." Ibu Keyla memohon padanya. "Tenanglah Tante, tapi saat pintunya terbuka. Bolehkah saya bicara berdua dengan Keyla?" Will kembali bertanya karena ada hal pentin
Ibu Keyla menyiapkan makan malam untuk putrinya. Tetapi Keyla tetap tidak ingin makan apapun, dia hanya melamun sambil menatap lurus ke luar jendela. "Keyla Mama boleh bertanya sesuatu?" tanya ibunya pelan namun, tak digubris sedikit pun olehnya."Mama tidak sanggup melihatmu seperti ini terus Nak, bisakah kamu melupakan Mexsi dan membuka lembaran hidup baru bersama Mama?" ibu Keyla memeluknya dari belakang. Barulah Keyla sadar bahwa ibunya saat ini sedang memeluknya sambil menangis. Seandainya saja Keyla bisa mengatakan kata maaf, tapi itu saja tidak cukup. Terlalu berat, terlalu sulit untuk dimaafkan.***Diperjalanan menuju rumahnya. Ibu Mexsi mendengar suara ribut-ribut dari depan rumahnya, ia turun dari mobil bertanya apa yang sedang terjadi. Seorang ibu parubaya seumuran dengannya memegang tangannya, sambil menatapnya dengan tatapan sedih dan memohon. Ibu Mexsi tidak mengenal dia sama sekali, t
Setelah beberapa hari Keyla terdiam sambil merenung, membayangkan kesalahan demi kesalahan yang ia perbuat pada seseorang yang dicintainya. Keadaannya kini sudah mulai membaik, ibunya duduk di meja makan. Keyla juga ikut duduk, ibunya menyiapkan makanan kesukaannya yaitu bakso. Saat Keyla memakan bakso itu entah kenapa air matanya jatuh seketika, ibu Keyla kaget dengan hal itu. Ibunya langsung berdiri memeluk putrinya, tanpa kata apapun di sana. Hanya sebuah pelukan yang berisi kekuatan menjalani hidup, bakso adalah salah satu kenangan yang paling indah saat bersama ayahnya. Bakso juga mengingatkannya pada saat ayahnya tiada, ia tak mengerti. Kenapa harus dia? Kenapa harus terjadi pada keluarganya? Suara bel rumahnya memecahkan keheningan, ibu Keyla membukakan pintu. Will langsung masuk ke dalam rumahnya, tersenyum menatap Keyla. "Hallo Tante selamat pagi, hallo Keyla selamat pagi," kata Will tersenyum kembali seolah-olah tak terjadi apapun. Will hanya ingin membalik