Home / Rumah Tangga / Jangan Menolakku / 6. Terserah kamu

Share

6. Terserah kamu

Author: Jana Indria
last update Huling Na-update: 2024-03-07 23:15:27

Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi.

"Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya.

"Anu ... Mas."

Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya.

"Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak.

"Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya.

"Di mana?"

"Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan."

Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan.

"Makasih, ya!"

Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.

Saat tiba di lantai atas, Evan tiba tiba hanya berdiri saja, matanya meneliti kamar yang tadi dijelaskan oleh mbak mbak yang ada di kamar bawah.

Baru saja kakinya melangkah, pintu kamar di sebelah kiri terbuka, kemudian keluar seorang perempuan dengan sisa make up di wajahnya, yang langsung tersenyum saat melihat Evan.

"Nyari kamarnya Isaura ya, nak Evan? Sini ikut Mama!" ujarnya sambil setengah tersenyum, melangkah di depan Evan

"Iya, Nte."

"Looo, kok tante, mama dong, kan udah nikah dengan anak mama. Jadi itu berarti kamu juga anak mama, ya kan?" jawabnya lagi tanpa menoleh.

"Eh, i-- iya, Ma!"

Evan tersenyum malu, dengan tangan kiri menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.

"Jadi ini Mama mertuaku," desisnya lirih, sambil mengikuti langkah perempuan yang kecantikannya masih sangat terawat.

Langkah Mama berhenti di kamar ujung paling depan, yang bertuliskan Isaura Chana.

"Silahkan, masuk aja, nak Evan. Tapi maaf, Isaura-nya sedang tidur di kamar mama, itu ... kamar di sebelah kiri. Nggak pa- pa kan?"

Tangan kanan Mama menunjuk kamar pribadi miliknya.

"Iya, Ma. Nggak papa, kok. Kalau begitu, saya pamit mau masuk dulu."

Evan kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya melihat anggukan dan senyuman dari Mama mertua. Yang kemudian pergi meninggalkannya di depan pintu kamar.

Kakinya ia langkahkan perlahan masuk ke dalam kamar. Ah ... kamar yang masih penuh dengan hiasan bunga. Bunga mawar dan melati lebih dominan.

Dilihatnya di meja dekat tempat tidur, baju dan celananya yang sudah dilipat rapi, di atas baju ada kunci sepeda motor, dompet dan ponselnya.

Ada dua pintu di depannya ranjang, penasaran! Evan pun mendekati pintu yang ditutup dengan gorden yang senada dengan jendela. Balkon, ya itu balkon yang langsung menghadap ke jalan raya.

Angin langsung menerpa dan menyapa Evan, saat tangannya membuka pintu balkon.

Entah apa yang sedang Evan pikirkan, Namun senyum di bibirnya, mungkin sebagai ungkapan kalau lelaki itu menyukai suasana di kamar itu.

Evan menutup kembali pintu yang pertama ia buka, kemudian membuka pintu ke dua yang ditutupi gorden berbeda, warna biru.

Aroma pewangi ruangan yang beda Namun khas untuk kamar mandi, langsung menyeruak di lubang hidungnya, Evan paham ini kamar mandi, namun dirinya seperti penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.

Dibukanya lebar lebar pintu kamar mandi, dan dia membeliak, isinya bath-up penuh dengan air dan bunga mawar-melati. Mungkin jika dia menikah dengan orang yang dicintai, suasana seperti ini akan sangat dia nantikan, namun persoalannya berbeda.

Evan kemudian kembali melangkah mendekati ranjang, dan meletakkan paper bag di kursi dekat ke jendela. Membuka, mulai memilih, dan langsung membawa baju dan perlengkapan mandi yang tadi pak Dimas berikan untuknya.

Tak perlu lama membersihkan diri, lima belas menit kemudian, Evan sudah berdiri menghadap sang penciptanya, terdengar lirih doa doa yang ia ucapkan dengan khusuk, yang langsung di lanjutkan dengan membaca doa doa sesudah sholat.

Terdengar suara knop pintu di buka dan di susul suara langkah yang mendekat dan kadang menjauh. Namun sepertinya Evan tak perduli, ia tetap di sajadahnya dengan menengadahkan kedua tangannya.

Saat sudah selesai, diberesinnya lagi alat sholatnya dan meletakkan sajadah di kursi tempat paper bag-nya berada, ia tumpuk begitu saja. Merasa benar benar capek, Evan langsung merebahkan badannya ke ranjang setelah sebelumnya membersihkan kelopak bunga bunga yang banyak bertebaran di permukaan ranjang. Tak perlu menunggu lama, akhirnya Evan tertidur pulas.

"Heh bangun, ayah menyuruh kita turun untuk makan malam."

Evan hanya menggeliatkan badannya, sesaat. Hingga membuat Isaura semakin kesal, mungkin dia merasa tidak di dengarkan.

"Heh!! Kamu mau bangun atau mau aku tinggal??!!" ancam Isaura, kini mengguncangkan badan Evan dengan lebih keras lagi.

Evan membuka matanya, mengerjapnya beberapa kali, dan akhirnya bangun sambil memperhatikan sekelilingnya.

"Ayo siap siap, ayah menunggu kita untuk makan malam bersama," ajak Isaura dengan langkah mendekati pintu.

"Ini jam berapa?"

"Sudah jam tujuh malam."

"Kamu duluan aja!"

Evan bergegas turun dari ranjang dan langsung ke kamar mandi, di sela sela gerutuan Isaura yang sengaja tidak Evan dengarkan.

Namun betapa terkejutnya Evan saat keluar dari kamar mandi, ternyata istrinya masih duduk di tepi ranjang, di tempat yang sama saat ia tinggalkan ke kamar mandi.

"Kenapa kamu tidak ke bawah?" tanya Evan sambil memakai sarung di depan Isaura.

"Kata Ayah, aku harus bersamamu saat turun ."

Isaura menjawab sambil memberengutkan dan memalingkan wajah cantiknya.

"Apa lagi yang akan kau lakukan, kenapa mengganti celana dngan sarung?" tanya Isaura dengan mata membulat.

"Sholat dulu Sayang, itu lebih penting dari apapun, kamu sudah apa belum?"

Evan sengaja menekan kata sayang saat memanggil istrinya.

Isaura terdiam saat ditanya Evan sudah apa belum sholat, dengan mata kagum, Isaura menatap bangga Evan yang masih sholat, entah kenapa di bibir tipisnya terlukis senyuman.

Evan yang tak sadar kalau terus menerus diperhatikan dan ditunggu oleh Isaura, meneruskan mengganti sholat yang ketinggalan karena ketiduran tadi.

"Apakah kau sudah selesai sholat?" tanya Isaura saat melihat Evan berdiri dan mulai melepas kopyah di kepalanya.

Mendengar suara istrinya yang bertanya, seketika itu pula Evan langsung menoleh pada Isaura, dengan pandangan mata heran

"Aku pikir kamu sudah ke bawah, apa kau tidak lapar?"

Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Evan malah balik bertanya.

"Apakah aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Isaura tanpa menjawab apa yang tadi Evan tanyakan.

"Mau bertanya tentang apa?"

"Mungkin tidak penting bagimu, Namun menurutku ini sangat penting."

"Tentang Apa?"

"Siapa kamu, kenapa ayah berkata kamu bukanlah lelaki bayaran? Beliau bahkan menyuruhku untuk melakukan kewajibanku sebagai istri. Bahkan permintaanku untuk bercerai dibalas dengan tamparan. Sungguh, ini merupakan pengalaman pertama olehku."

Evan melihat kesedihan di nada bicara Isaura, walaupun mereka tidak saling bertatap muka.

"Selama aku hidup, baru sekarang aku merasakan tamparan dari Ayah."

Wajahnya semakin menunduk, menatap lantai, Namun sesaat. Karena setelah itu, Isaura malah menatapnya tajam sambil berkata, "Sekarang jelaskan siapa kamu!"

"Aku bukan siapa siapa, aku hanyalah orang biasa yang bekerja sebagai staf biasa di kantor milik pak Dimas, bukankah kau sudah tahu hal itu!" jelas Evan dengan tenang.

"Aku tidak percaya!"

"Terserah kamu!" jawab Evan sambil melangkah meninggalkan kamar, dan itu berarti meninggalkan Isaura yang sudah sekian lama menunggu untuk turun bersama, hingga membuat Isaura berdecak kesal sambil mengikuti langkah Evan dari belakang, membuat Evan tersenyum karenanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jangan Menolakku    Tebakan Mamanya Rara

    Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."

  • Jangan Menolakku    Menikahlah

    "Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga

  • Jangan Menolakku    Dia Anakmu

    Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b

  • Jangan Menolakku    Om Tyo

    Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it

  • Jangan Menolakku    Mereka Adalah

    Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem

  • Jangan Menolakku    Maap

    "Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status