Share

5. Mantan

Penulis: Jana Indria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-07 01:54:04

"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan.

"Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua."

Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan.

"Benar, Pak-!"

Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas,

"Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya.

"Hahahahahah!"

Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan.

"Gratis lagi!" sambung pak Dimas.

"Hahaha!"

Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti.

"Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan?" tanya pak Dimas, sesaat setelah tawa mereka berdua, mereda.

"Ya, Bapak benar!" ujar Evan yang kemudian menghela nafas panjang, bahkan lebih tampak seperti sedang membuang beban yang ada di otak dan hatinya.

Tenang, itu yang Evan rasakan saat sedang bersama pak Dimas, selalu tersenyum bahkan bisa tertawa bebas. Sebuah rasa yang tak pernah ia dapatkan bila sedang bersama Papa kandungnya.

"Apa yang membuat kalian begitu bahagia?" tanya pak Ali yang entah sejak kapan berdiri di belakang punggung Evan.

Evan seketika berdiri dan membalikkan badannya begitu mendengar suara yang sudah tak asing baginya.

"Eh, Pak?!"

Evan menyapa dengan kepala yang mengangguk sekali.

"Jangan panggil bapak, panggil ayah saja. Bukankah kau sekarang sudah menjadi anakku pula?" pinta pak Ali sembari menarik satu kursi di sebelah untuk dia letakkan di antara kursi Evan dan Pak Dimas.

"Baik, Ayah," jawab Evan diplomatis.

"Mmm ... Evan, ayah mau minta maaf, sungguh ayah tidak tahu kalau kamu adalah putra tunggal dari seorang Hendra Aizaer. Pemilik perusahaan tempat ayah bekerja." Pak Ali berkata sambil menundukkan kepalanya. Terasa benar kalau saat ini beliau lagi merasakan kebingungan, malah melebihi kebingungan yang awal tadi, saat mencari pengganti Dani.

"Om Tyo yang menceritakan nya bukan, Ayah?" tebak Evan, seperti dugaannya tadi saat melihat om Tyo yang merupakan salah satu orang kepercayaan Papanya. Berbicara sangat serius dengan Pak Ali

Pak Ali mengangguk, ke dua tangannya menyatu walau sesekali bergerak tak beraturan.

"Nggak papa kok, Yah. Lagian memang sedikit kok yang tahu kalau aku anak Hendra Aizaer, dan aku juga tak ingin banyak yang tahu," jawab Evan tenang, bukan sebuah kejutan baginya kalau seorang menager ekskutif di perusahaan Papanya, Namun tidak mengetahui siapa dirinya.

"Saya akan mengabulkan apa pun permintaanmu, walau pun itu adalah dengan mengikhlaskan anakku menjadi janda," ujarnya lagi, kali ini terdengar putus asa.

"Dari awal saya sudah mengatakan akan menjadikan pernikahan ini, sebagai pernikahan saya yang pertama dan terakhir, jadi tolong doakan saya."

Evan berhenti sejenak, sambil menghela nafas panjang.

"Saya hanya ingin dukungan saja dari keluarga, agar awal yang tidak bagus, menjadi terbaik akhirnya." sambungnya lagi

"Aamiin ... aamiin!" jawab pak Dimas dan ayah Ali secara hampir bersamaan.

"Sudahlah, Ali. Benar apa kata Evan, dukunganmu dan keluarga agar mereka bisa menjadi suami istri yang harmonis, yang terpenting untuk saat ini."

Kini pak Dimas ikut menyemangati ayah Ali yang sedang kebingungan.

Pak Ali tak mampu berkata apa apa lagi, hanya bisa menganggukkan kepala dengan takut takut pada Evan.

"Oiya, ayah. Mungkin besok, aku akan mengajak Isaura untuk tinggal bersama di rumah kecilku, boleh?"

"Tapi ... Mmm."

Sepertinya ada yang ingin ayah Ali ceritakan Namun entah kenapa sepertinya tercekat di tenggorokan.

Ayah Ali seperti meminta pertimbangan pada pak Dimas.

"Apa yang kau takutkan, biarkan mereka memulai kehidupan rumah tangga mereka, tanpa campur tangan dari kamu dan istrimu juga. Biarkan yang seharusnya terjadi, terjadilah."

Pak Dimas malah menapikkan keraguan di diri ayah Ali.

"Evan, anakku Isaura tidak bisa melakukan kegiatan rumah tangga, dia hanya pintar di dapur, memasak makanan, kue. Pokoknya masalah tentang dapur, dia menguasai, apakah kau sanggup mengajarinya sedikit demi sedikit?" tanya ayah Ali. Akhirnya lelaki separuh baya itu berani mengutarakan perasaannya.

"Selalu siap, Ayah," jawab Evan sambil tersenyum lebar pada mertuanya dan pak Dimas bergantian.

"Aku pulang dulu, hari sudah semakin siang, sebaiknya kalian semua juga istirahat, mengingat hari ini adalah hari yang sulit," pamit pak Dimas sambil berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah ayah Ali.

Ayah Ali berdiri menyambut tangan pak Dimas, dan menariknya ke dalam pelukan.

"Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang kali di telinga pak Dimas, dan hanya dijawab dengan anggukan.

"Kalau butuh bantuan, aku siap kapan saja. Kamu pasti tahu itu!" ujar pak Dimas, lagi pada Evan.

"Makasih, Pak."

Evan yang kemudian ikut mengantarkan hingga ke pagar.

"Hati hati di jalan, terimakasih atas bantuannya, Pak!" ujar Evan sambil melambaikan tangannya, hingga mobil pak Dimas menghilang dari pandangan.

Di halaman pandangannya kembali bertemu dengan Nilla, sepertinya dia dan keluarga kecilnya juga akan pulang.

Pak Ali menyapa hangat keluarga Nilla.

"Oiya, kalian belum berkenalan dengan suami Isaura bukan?!" tanya pak Ali yang dijawab senyuman baik oleh Nilla mau pun oleh lelaki berkaca mata yang berada di sampingnya.

"Van, ini Nilla dan suaminya Zein. Dan yang lucuuuuu ini namanya ...." Ayah Ali sengaja menggantungkan ucapannya sambil melihat ke arah Nilla, dia lupa nama si kecil.

"Amora, kakek!" jawab Zein, lelaki berkaca mata yang ada di dekat Nilla, dengan suara yang sengaja menirukan suara anak anak.

"Eh iya, kakek lupa. Nilla ini adalah salah satu teman terdekat dari Isaura, bahkan dia juga yang bekerja sama dalam bisnis kuliner yang sedang dijalani Isaura," jelas ayah Ali pada Evan.

Evan tersenyum hangat pada orang orang yang berada di depannya. Dia juga mengulurkan tangannya ke arah suami Nilla.

"Evan ...!"

"Zein, senang berkenalan denganmu."

Evan tersenyum mendengar jawaban Zein.

Kemudian dia mengatubkan kedua tangannya ke depan dada dan menghadap ke arah Nilla.

"Evan ...!"

Nilla tak menjawab, dia hanya ikut mengatubkan kedua tangannya di depan dada, sama seperti yang dilakukan Evan.

"Kamu duluan aja, temani dulu Isauranya, karena ayah masih ingin berbincang dengan mereka." suruh ayah Ali pada Evan.

"Permisi, saya duluan, istri saya sedang menunggu!" pamit Evan kemudian. Jengah rasanya harus bertemu dengan seseorang yang masih mempunyai arti lebih di hatinya.

"Silahkan!" jawab Zein.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Menolakku    Tebakan Mamanya Rara

    Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."

  • Jangan Menolakku    Menikahlah

    "Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga

  • Jangan Menolakku    Dia Anakmu

    Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b

  • Jangan Menolakku    Om Tyo

    Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it

  • Jangan Menolakku    Mereka Adalah

    Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem

  • Jangan Menolakku    Maap

    "Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status