Sabtu Pagi
Mey kebangun jam enam, jauh lebih awal dari yang ia butuhkan. Lunch baru jam satu, tapi tidurnya semalaman nyaris nol. Kepalanya penuh dengan skenario aneh yang muter kayak film.Gimana kalau Rafael berubah total?Gimana kalau ia tidak berubah sama sekali?Gimana kalau melihatnya secara langsung lenyap semua progress di Singapura?Gimana kalau itu nentuin bahwa perpisahan itu permanen?Ia bikin kopi, lalu duduk di meja kecil yang kini penuh dengan buket bunga Indonesia kiriman Rafael. Wangi melati, kamboja, cendrawasih… instantly bawa balik ke Jakarta. Body Zone. Jam-jam curian. Passion yang nggak pernah sederhana.Tapi itu dulu.Sekarang, dia bukan lagi Mey Jakarta.Mey Singapura lebih bold, lebih mandiri, lebih connected. Mey Singapura decide things for herself, not just apa yang orang lain butuhkan darinya. Mey Singapura udah pernah kiss banker Inggris and felt powerful instead of guilty.PertanyaannSelasa Malam – Jam 10 – KantorDua puluh empat jam setelah “honest conversation” mereka, Mey mulai sadar kalau mengakui attraction itu ternyata nggak sesimple yang dia kira.“Financial projection slide ini perlu adjustment,” kata Rafael, geser laptopnya ke arah Mey. “ROI-nya terlalu optimis.”“Realistisnya berapa?”“120% instead of 150%. Lebih konservatif tapi believable.”Mey condong ke layar, bahunya sempat nyenggol lengan Rafael. Sentuhan kecil yang dulu bikin canggung, sekarang udah nggak bisa dihindari. Bukan lagi denial, tapi keberadaan yang mereka sama-sama akui. Ironisnya, itu malah bikin makin berat.“Oke, adjustment done,” kata Mey. “Timeline implementation?”“Phase 1 tetap 3 bulan. Phase 2 kita panjangin jadi 8 bulan.”“Alasannya?”“Market research butuh waktu. Consumer behavior nggak bisa dipaksain buru-buru.”Percakapan mereka tetap profesional, fokus ke strategi. Tapi di bawah sem
Senin Pagi – Setelah Weekend PriyaMey masuk kantor dengan hati nggak karuan. Sepanjang weekend kepalanya masih penuh sama percakapan dengan Priya, dan sekarang harus ketemu Rafael lagi… pura-pura semuanya biasa aja.Rafael sudah ada di mejanya. Kemeja putih, kopi masih mengepul, rambut agak berantakan kayak habis begadang.“Pagi,” ucapnya tanpa angkat kepala.“Pagi,” jawab Mey pelan.Ada jarak. Lebih dingin dari biasanya. Mey duduk, buka laptop, tapi matanya nggak bisa berhenti melirik Rafael.“Weekend gimana?” tanya Mey, mencoba basa-basi.“Bagus. Priya seneng jalan-jalan di London.”“Dia udah balik?”“Subuh tadi.”Hening. Mey pengen nanya, ‘Apa Priya cerita soal pertemuan kita?’, tapi nggak berani.“Proyek Garuda,” Rafael akhirnya buka mulut, “klien minta presentasi dimajuin. Kamis ini.”“Kamis?” Mey refleks menoleh. “Itu cuma tiga hari lagi.”“Aku tahu.
Jumat Pagi – Dua Minggu Masa Percobaan – Ruang Kantor BersamaMey sampai di kantor bersama mereka dengan setumpuk hasil riset dan segelas kopi yang udah keburu dingin. Baru dua minggu masa percobaan, tapi dia udah mulai sadar kalau perjanjian mereka tentang “profesional banget, nggak lebih” itu ternyata agak polos.Kerja bareng Rafael tiap hari bikin dia ngeh sama hal-hal kecil. Kayak gimana dia selalu pesan espresso ganda tanpa gula. Cara dia ngetuk-ngetuk pulpen waktu mikir strategi ribet. Sampai nada suaranya yang berubah kalau lagi semangat ngomongin ide—lebih berat, lebih hidup… dan nyebelin karena bikin susah fokus.Fokus. Kerjaan aja. Nggak usah mikir yang lain.“Pagi,” Rafael ngangkat kepala dari laptop pas Mey masuk. Senyumnya sopan, jarak aman, tatapan seperlunya. Pas banget buat suasana masa percobaan.“Pagi. Analisis kompetitor Garuda udah kelar,” jawab Mey sambil naro map tebal di meja. “Ada beberapa insight menarik soal posi
Selasa Pagi - Kantor Sementara Rafael.Mey datang dengan mata sembab dan kopi extra strong dalam genggaman. Semalam tidurnya berantakan—mimpi campur aduk antara bayangan suami lama, Rafael, dan Priya yang tersenyum tapi mata kosong."Morning meeting as scheduled," kata Rafael begitu Mey masuk, suaranya formal banget, kayak kemarin malem di bar nggak pernah kejadian."Morning."Meja meeting udah disiapkan rapi. Laptop, dokumen, proposal client—semua tertata profesional. Rafael duduk di ujung meja, kemeja biru navy, rambut rapi, parfum samar yang familiar. Seolah nggak ada drama kemarin, seolah telepon dari Priya cuma interupsi biasa."Kita mulai dari client pertama," Rafael buka laptop. "PT Garuda International. Mereka butuh repositioning brand buat market Eropa."Mey duduk berseberangan, jaga jarak. "Timeframe?""Tiga bulan. Budget cukup besar—bisa jadi foundation kuat buat quarter pertama kita.""Scope kerja?"
Kepercayaan baru saja disepakati, tapi di balik meja perundingan, ada tatapan-tatapan yang terasa terlalu akrab. Bagi Mey, semua ini bukan sekadar proyek—ini adalah pengulangan dari sebuah pola lama. Dan kali ini, ia sadar: lingkaran itu bisa jadi lebih berbahaya daripada sebelumnya.Tiga jam kemudian – bar hotel Rafael“Kamu beneran udah tanda tangan,” Rafael senyum puas sambil ngangkat lembar perjanjian itu, satu tangan lain pegang gelas wiski seakan lagi ngerayain kemenangan kecil.“Iya, aku udah tanda tangan.” jelas Mey“Terus David?”“Dia terima tawaran Amsterdam.”“Berarti… kita resmi partner bisnis.”“Kita resmi partner bisnis.”Rafael ngangkat gelasnya. “Untuk kesuksesan kerja sama kita.”“Untuk kesuksesan kerja sama.”Gelas beradu, wiski ngeluncur di tenggorokan, panas, tapi nggak sebanding sama sensasi familiar tiap kali Rafael ada di dekat Mey. Sensasi yang sebenarnya lebih berperan
Jumat Malam – Apartemen LondonDavid sudah di rumah ketika Mey masuk. Laptopnya terbuka di meja dapur kecil, layar penuh catatan riset logistik Amsterdam."How was your meeting?" katanya tanpa mengangkat kepala."Informative.""Good informative or complicated informative?""Both."David menutup laptop. Untuk pertama kalinya sejak pertengkaran mereka semalam, tatapannya benar-benar fokus ke Mey."Want to discuss it?""Want to discuss it together, yes.""Together as in shared decisionmaking or together as in seeking approval for decision you've already made?"Kalimatnya menusuk, tepat di inti kebingungan Mey."Together as in processing information so we can make shared decision about Amsterdam timeline."David menarik nafas. "What information did Rafael share?""Business partnership proposal.""Partnership doing what?""European expansion of consulting