Beranda / Romansa / Jangan Seperti Pelangi / Selamat Jalan My Dosen

Share

Selamat Jalan My Dosen

Penulis: dinaqomaria
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-04 11:07:53

"Jadi, Tomy udah ketangkap?" tanya Elisa penasaran, Violet mengangguk pelan.

"Hampir saja aku dicelakainya, tapi syukurlah Polisi cepat menangkap Tomy. Kadang, aku kasihan sama dia. sekilas tampak sempurna. Penampilan, kemahiran, pekerjaan dan apa yang dia punya. Makanya aku gak nyangka dia bisa berbuat sekejam itu,"

Kata Violet sambil memperhatikan air di dalam gelas.

"Aku juga gak nyangka dia bisa seperti itu. Untung saja cepat diketahui sifatnya. Kalau tidak...aduh...akan lebih membahayakan lagi..."

Elisa mengaduk-aduk es cendolnya. Kadang dia tersenyum, kadang dia cemberut. Perubahan wajahnya membuat Violet takut sendiri. 

Suasana sore di kafe dekat rumah sakit, tak seberapa ramai dibandingkan dengan kafe yang ada di kampus. Jadi cukup bisa membuat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Sebentar lagi tante Anita akan datang menjenguk. Hari ini anaknya pak Sam yang akan jaga. Yah...paling besok juga udah pulang. Pak Sam kan hebat..."

Kata Elisa menyeruput air minum Violet yang spontan menepuk hidung mancungnya.

"Sepertinya kamu cukup kenal dengan pak Sam, ya?"

Tanya Violet penasaran, matanya menyipit ingin menyelidiki.

"Hmm gitu lah. Nah tuh, tante Anita datang."

Elisa melambaikan tangannya pada bu Anita yang datang dengan seorang pemuda tampan bergaya seperti oppa-oppa korea. Tinggi, putih, rambut agak pirang. Dia menggunakan celana semata kaki dan baju kaus sepinggang dengan selop kulit berwarna coklat.

"Hmm keren," batin Violet.

"Halo anak gadis cantik... udah lama disini?" sapa bu Anita lalu bercipika-cipiki dengan Elisa dan menyelami Violet.

"Hmm rumayan lama, tan. Ini Edo?" Elisa menerima jabatan tangan Edo yang tersenyum ramah pada mereka berdua.

"Aduh, tanganku licin. Kasar pula, karena selalu nyuci pakai tangan bukan mesin cuci. Semoga dia gak merasa. Biar gini-gini, aku mah anak rajin dan gak terlalu percaya ama mesin cuci yang bisanya cuma bolak-balik cucian." gumam Violet dalam hati. Malu dia ketahuan anak rumahan banget.

"Ini Violet, sahabat saya," Elisa memperkenalkan Violet yang sebenarnya tak ingin. Edo menjabat tangan Violet.

"Gimana kondisi pak Sam?" Tanya tante Anita sambil memesan siomay bandung.

"Baik, tan...aman. Hanya perlu perawatan intensif. Karena kondisinya lemah. Tapi dokter terus memantau. Tante tenang saja.." jawab Elisa lancar.

"Memang benar-benar deh ya si Tomy. Kelewatan! Untung kamu putusin, sebelum janur kuning melengkung. Bisa gawat kan..."

bu Anita berkata geram sambil menguncir rambut panjangnya.

"Hehehee feeling perempuan lebih peka, tan...Ya gak, Vio?"

Elisa menyikut lengan Violet, membuat Violet tersadar dari lamunannya.

"Eh, iya...iya...peka banget." Violet hanya senyum-senyum salah tingkah, karena Edo terus memperhatikannya.

"Kamu gak liat mama, do?" tanya Anita pada Edo yang juga mengaduk-aduk es cendolnya sambil sesekali memperhatikan Violet.

"Tadi pagi udah, tan. Mama mulai berangsur baik, bisa menerima penjelasan dan merespon. Mama memang harus terus dimotivasi, tan..."

Edo tersenyum tipis menceritakan kondisi mamanya, lalu melanjutkan minumnya. Sepertinya dia tidak ingin orang lain tahu dengan kondisi mamanya yang belum stabil.

"Betul. Karena mama melakukan semua itu atas hasutan orang lain. Eh..."

Violet menutup mulutnya, tak sadar menyebut Nina dengan mama.

Mereka tersenyum mendengar kata-kata Violet. Sekali mau ngomong benar, malah salah.

"Mungkin kita harus lebih memahami permasalahan mereka. Entah itu mama, atau papa. Ya, kan Edo?" Edo mengangguk mendengar kata-kata bu Anita.

Dering ponsel Elisa berbunyi, mereka terdiam membiarkan Elisa berbicara.

"Iya, saya dok. Apa? Sekarang, dok? Tapi...tadi gak apa-apa kok...Ba...baiklah, dok!" Elisa mematikan telpon genggamnya, ada kekhawatiran yang sangat dalam pada wajahnya.

"Ada apa?" tanya mereka bersamaan.

"Edo, papa kamu kena serangan jantung. Sekarang sedang ditindak,"

Elisa menjelaskan dengan panik.

"Apa??" Mereka pun berlari ke ruangan pak Sam, tanpa peduli dengan tatapan heran orang-orang disekitar mereka.

Kamar ditutup, dua perawat dan dokter berlarian ke kamar membawa beberapa alat. Ada alat pacu jantung dan entah, apalagi yang Violet tak tahu.

Mereka berdiri khawatir di depan kamar yang tertutup rapat, menunggu sekitar lima belas menit, setelah itu dokter keluar menatap wajah Anita, Edo, Violet dan Elisa pasrah.

"Maaf...kami tak bisa membantu menyelamatkan nyawa beliau. Beliau meninggal karena serangan jantung..."

"Tidaakk, papa...." Edo menangis terduduk di lantai, bersama bu Anita yang coba menenangkan Edo juga Elisa. Hanya Violet yang terpaku, berdiri dengan bibir sedikit terbuka.

"Ke...kenapa bisa kena serangan jantung, dok?" Tanya Elisa heran sambil memegang tangan bu Anita.

"Pasien ternyata punya riwayat penyakit jantung, dan kebetulan peristiwa kemarin membuatnya shock. Itulah kenapa perawatannya intensif. Kecurigaan saya benar, tapi beliau tidak dapat bertahan..."

Suara dokter melemah di akhir kata, membuat mereka lemas.

"Tapi...tapi sebelumnya beliau sudah sadar kan, dok?"

Air mata mengalir dari pipi Violet saat menanyakan keadaan pak Sam terakhir kali.

"Ya...sadar penuh hanya belum stabil. Karena beliau tidak mengalami koma. Saya permisi, sekali lagi...saya mohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa membantu lebih jauh..."

Dokter menundukkan kepala dalam, Violet terdiam menyadari percakapan dengan dokter. Setelah dokter berlalu, mereka hanya bisa terduduk lemas di bangku.

Edo melangkahkan kakinya pelan ke kamar, melihat papanya yang telah terbujur kaku dengan tenang. Mata yang terpejam rapat dan bibir yang tersenyum. Dia pergi, seolah inilah yang seharusnya terjadi. Ternyata, Tuhan lebih sayang kepada pam Sam. Dosen killer ganteng yang Violet idolakan.

Edo berdiri di sebelah pak Sam, dia menunduk memegang tangan papanya yang masih hangat. Memegang nadi, sekiranya masih berdenyut. Tapi sia-sia...semua sudah terjadi. Kini, papanya benar-benar telah pergi. Bu Anita masih terisak sedih, dia tak menyangka akan seperti ini akhir kisah pak Sam. Suami dari kakaknya, Nina.

"Sam, ketahuilah...aku hanya ingin menyatukanmu dengan Nina seperti dulu. Karena kebahagiaan kalian lebih penting dari apapun. Kalian sudah terlalu banyak berkorban untuk kepentinganku. Maafkan aku, Sam...aku tidak dapat membantumu melewati semua ini..."

"Tante, yang sabar...sudah tante..."

Elisa mengelus punggung bu Anita lalu memeluknya, sedangkan Violet hanya terdiam sambil menghapus air mata.

"Tomy, benar-benar harus dihukum berat atas perbuatannya!" Edo mengepalkan tangannya geram.

"Sudah...dia akan mendapat hukuman yang setimpal. Karena ini bisa jadi bukti yang memberatkannya. Percayalah Edo, mungkin disana...pak Sam tidak ingin masalah berlarut-larut. Jadi, Tuhan memanggilnya. Yang harus kita lakukan adalah...tetap memberikan motivasi untuk mama Nina. Mama pasti bisa menerimanya..."

Violet mengelus punggung Edo yang tiba-tiba memeluk Violet, lalu menangis.

Elisa hanya menundukkan kepala, dan berbicara sebentar dengan perawat. Lalu kembali berbicara dengan Edo, Anita dan Violet bahwa jenazah akan dimandikan. Jadi, mereka mengikuti ranjang pak Sam ke ruang jenazah, untuk dimandikan dan menunggu di luar ruang jenazah.

Tidak ada yang berkata, hanya saling melirik dan menunduk. Edo menangkupkan kedua tangannya di wajah, berkali-kali dia berdoa dan berharap yang terbaik untuk ayahnya. 

Mungkin setelah papa gak ada, aku akan kembali bolak-balik ke luar urus restoran disana..."

Edo berkata pelan, kepalanya masih tertunduk di paha.

"Lalu...mama gimana, do? Kondisinya masih labil..."

Edo hanya diam mendengar pertanyaan Violet.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Seperti Pelangi   Mimpi Buruk

    Malam yang dingin, Violet berdiri di depan taman kecil yang baru saja di bangun Dani dan Mario. Ada lampu bulat di tengah dengan air mancur cantik dan angsa putih dua ekor. Angsa putih simbol keindahan alam. Hari ini dia hanya ingin duduk di salah satu bangku taman sambil menunggu Mario pulang ngantor. Dia sungguh bingung dengan keputusan yang harus diambil secepatnya. Mario masih dalam perawatan, tidak bisa mengharapkannya bekerja seperti dulu. Ring yang dipasang di pembuluh darah jantung sebelah kiri kadang membuatnya susah bernapas bila melakukan gerakan mendadak. Apakah itu benar karena ring yang terpasang? Ah, apapun alasannya Violet tidak ingin menekan Mario untuk bekerja seperti dulu. “Kak, nunggu abang, ya?” suara Sarah membuyarkan lamunannya. “Iya, bingung nih…chatt belum dibalas, telpon gak diangkat. Abang tuh biasanya rajin ngasih kabar tapi udah jam sebelas gini belum pulang juga. Kemana sih, dia yaa…” Violet mondar-mandir di teras sambil melipat tangannya, air putih

  • Jangan Seperti Pelangi   Arti Sebuah Keluarga

    Violet masuk ke ruang tamu memegang lengan Mario erat, seperti enggan melepaskan, membuat beberapa pasang mata menatap mereka haru. Violet menaruh tas di dekat pintu dan membawa Mario duduk di bangku panjang ruang tamu. Ada lelah yang teramat sangat di wajah mereka, mungkin buah penantian yang tak kunjung datang membuat mereka hampir putus asa. Tapi beberapa pasang mata yang kini ada di hadapan mereka, sungguh membuat mereka rindu. “Ibuuu, ayaaah…” Gaffin menghambur ke pelukan ibu, suara tangisnya begitu memilukan. Dia mencium kedua pipi Violet berkali-kali, lalu beralih ke Mario dan melakukan hal yang sama. “Ibu, ayah…ada pelangi di luar. Cantiiik banget! Bisa ayah ambilkan untuk Gaffin?” Gaffin menggelendot di kaki Mario. “Gak bisa, sayang. Pelangi itu biarpun indah tapi jauh dari jangkauan, jangan seperti pelangi, ya?” Mario mengusap lembut rambut Gaffin lalu memangku di pahanya. Mereka pun duduk bersama di ruang tamu, Viana yang kebetulan datang s

  • Jangan Seperti Pelangi   Si Kembar

    Teriakan Dani membuat wanita yang barusan memasuki ruang ICU menghentikan langkahnya, saat dia berbalik polisi sudah menahan langkahnya. Polisi langsung menjauhkan wanita tersebut dari sang bayi yang dikelilingi oleh banyak selang. Dani memperhatikan wanita itu dengan seksama, lalu dia meminjam ponsel Aci dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Photo terkirim ke applikasi hijau lengkap dengan data dirinya. Kedua polisi dan Aci membelalakkan mata kaget melihat photo yang ada di ponsel Aci. Polisi satunya melapor ke meja perawat untuk meminta data, ternyata tidak ada perawat seperti yang mereka tahan. Malah perawat mereka kurang satu, setelah ditelusuri ternyata perawat mereka yang hilang terikat lemah di gudang dengan pakaian yang telah ditukar. Setelah beberapa polisi datang, mereka pun membawa wanita tersebut ke kantor polisi, diikuti oleh Dani dan Aci. “Tunggu, bang. Kasus hampir selesai, boleh kan kita makan dulu? Ini sudah siang menjelang sore. A

  • Jangan Seperti Pelangi   Pengakuan Sang Pria Brewok

    Hari yang naas bagi pria brewok. Saat dia melarikan diri bersama wanitanya, ternyata jejaknya sudah tercium polisi. Akhirnya, saat keluar tol dia harus pasrah ketika polisi menunggunya, mau menghindar pun tak bisa. Karena mereka menghampiri dari berbagai sisi. Dia saja bingung, daripada polisi bisa tahu kemana arah yang akan dia tuju setelah ini. Ahh, dia sudah bosan dengan hidupnya, jadi dia tak peduli lagi saat ini dan diapun mengikuti polisi ke kantor.Mereka memeriksa mobil, di bangku belakang terlihat wanita berambut pirang terbungkus asal-asalan, sudah tak bernyawa. Tapi, pria tersebut menggendong bayi cantik dan berkata lirih, “tolong selamatkan anak ini…” lalu menyerahkannya pada polisi yang langsung memeriksa keadaan sang bayi dan segera melarikan bayi tersebut ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.Sang pria yang pasrah hanya bisa mengikuti beberapa polisi ke suatu ruangan. Polisi memintanya untuk melakukan beberapa pemeriks

  • Jangan Seperti Pelangi   Ghefira

    Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap

  • Jangan Seperti Pelangi   Bu Ita

    Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status