Dia bukan seorang yang tinggi hati, tapi karena wibawa dan kebaikannya, dia menjadi pihak yang paling tersakiti. Sepertinya itu yang bisa Violet simpulkan dari peristiwa antara Tomy, Elisa, pak Sam dan bu Anita. Dia siapa? Dia pak Sam. Karena beliau yang kurang aktif.
"Vio, masalah kemarin...jangan kamu ceritakan kemana-mana yaa. Malu ah aku...bisa-bisanya punya mantan kayak gitu.""Oh, jadi kalian udah putus beneran nih? Gak sepihak lagi?"Elisa mengangguk lemah, Violet tersenyum dan memegang tangan Elisa."Yah, namanya juga mantan. Mana ada yang gak malu-maluin. Lagian, aku juga gak terlalu peduli sama urusan intern kayak gitu. Cukup tahu aja lah...""Kamu benar, Vio...jangan sampai cerita ini makin melebar. Pada akhirnya, merugikan siapapun. Omong-omong Vio...kamu kenal Tomy dimana?""Aku pernah ikut acara seminar papaku di Bogor, Tomy yang jemput. Kupikir Tomy ikut bawakan acara juga, ternyata Tomy hanyalah tim sukses. Bagian humas. Forum Pemuda Bahasa, apa Kebahasaan ya? Gitu deh..."Elisa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia mengajak Violet ke bazaar tempat mereka akan mengadakan acara."Ini lokasinya. Nanti sebelah sini tumpukan bazaar, dipojok sana tempat panitia, belakangnya ruang ganti dan ditengah itu pentas. Nah...di lapangan ini adalah pagelaran.""Lho, pentas untuk apa?""Acara kita berempat kan di pentas, Vioo. Setelah pembukaan, nanti akan ditempati oleh Dalang dan tim acara."Violet mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, acara inti ini berkisar dua jam? Setelah itu dilanjutkan dengan bazaar?""Yup, kita buat jadi seminggu. Mereka sedang mencoba lobi faskes terdekat untuk berkontribusi dalam tes Pcr dan swab gratis juga pemeriksaan lain, seperti kolesterol, gula darah, darah tinggi, asam urat..."Bla...bla...bla...Elisa menjelaskan dengan panjang lebar, yang diangguki oleh Violet. Karena Violet hanya membuat naskah drama, jadi sebenarnya dia tak terlalu penting untuk tahu keseluruhan rangkaian acara.
Setelah mereka memantau tempat acara, mereka pun pergi ke pameran buku di Pasar Senen. Hari minggu seharusnya memang hari santai sedunia, tapi tidak bagi mereka berdua. Santai mereka, dapat mereka gunakan untuk melakukan suatu hal yang menghasilkan. Hal yang bermanfaat.Elisa mendatangi tiap stand yang dia datangi, sampai pada stand Buku Rumahan kegiatannya terhenti karena keramaian terjadi. Ada beberapa polisi dan perawat di sekitar sana. Elisa menarik tangan Violet untuk mendekat, mencari tahu apa yang terjadi. Mata mereka membulat melihat penyebab keributan."Tante Anita? Bu Nina?" - Elisa -"pak Sam?" - Violet -Kedua orang yang dikenal itu berusaha membujuk seorang wanita yang tampak beringas. Wanita dengan rambut terurai, mata menyala penuh kemarahan dengan pisau ditangan yang mengacu kepada Anita dan Sam."Kalian pengkhianat, aku akan bunuh kaliaaan! Hahahaaa aku akan bunuh kalian" dia berteriak-teriak menghunuskan pisaunya kesana kemari, hampir mengenai Anita dan Sam."Nina. Tenang Nina...kamu salah paham, Nina. Tidak ada apa-apa...Nita ingin menolong kamu...""Tidaaak bohooong...dia...dia bilang...kalian bohong. Hihihii kalian bohongi aku, kan? Hahahaa"Wanita bernama Nina itu mengarahkan pisaunya ke arah bu Anita, tapi pak Sam yang refleks melindungi bu Anita malah tertusuk pisau. Pisau pun menancap di perut sebelah kanan pak Sam.
"Perawat, pegang Nina!"Polisi berusaha mengambil paksa pisau dari tangan bu Nina, sedangkan perawat mengunci tubuhnya hingga tak dapat bergerak.
Suara ketakutan bu Anita yang sedang memegang tubuh pak Sam, tertangkap oleh Elisa dan Violet. Mereka pun membantu pak Sam agar berdiri, tapi darah mengucur dari perutnya. Bu Nina, sudah pergi dengan mobil RSJ setelah diberi suntikan penenang oleh perawat. Sedangkan pak Sam, masih harus menunggu ambulance datang.Pak Sam terduduk di lantai dipelukan bu Anita yang sangat khawatir, badan Nita gemetar karena pisau masih menancap di perut Sam sedangkan darah tetap keluar melalui celah kain yang dibalutkan ke luka.
Tak lama ambulan datang, mereka membawa pak Sam naik ke ambulan. Sedangkan bu Anita yang pingsan dibawa dengan mobil seorang warga yang ada disana tentu ditemani Elisa. Violet mengikuti kedua mobil tersebut dengan motornya.Dia berlari ke IGD, menunggu dosen paruh baya yang ganteng sedang ditindak. Mungkin dijahit. Anita terlihat sudah tertidur tenang di ranjang IGD,"Dok, tante saya baik-baik aja, kan?" Elisa menatap dokter khawatir."Gak apa, bu Anita hanya shok. Sudah aman...kalau sudah sadar boleh pulang, kok. Hanya pasien satunya, pak Sam ya? Harus dirawat inap dulu yaa, karena luka di perutnya rumayan dalam tapi tidak mengenai lambungnya. Jadi, kami jahit saja karena tusukan menyebabkan luka robek kecil."Elisa dan Violet mengangguk pelan. Mereka sebenarnya tidak mengerti ada apa diantara mereka bertiga, sampai bu Nina yang kondisinya belum stabil bisa melakukan hal seburuk itu, walaupun salah sasaran."Lis, sambil menunggu tante Anita siuman. Gimana kalau kita ke RSJ? Barangkali kita bisa mendapat informasi apa gitu, dari beliau.""Hmm benar juga, yuk lah...kita kesana."Merekapun bergoncengan naik motor pergi ke RSJ terdekat. Setelah memarkirkan motor dan mencari keberadaan Nina, mereka berjalan menemuinya di taman RSJ. Tapi langkah mereka terhenti, karena mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk disebelah bu Nina."Sst..berhenti sebentar. Perhatikan."Violet menahan langkah Elisa. Mereka berlindung dibalik pohon besar, berusaha menyimak dengan baik.
"Ibu baik-baik saja, kan? Ibu hebat. Memang seperti itu seharusnya"Bu Nina mengangguk-anggukkan kepala kuat mendengar kata-kata lelaki tersebut. Suaranya lembut.
"Ibu, jangan merasa bersalah yaa. Semua yang ibu lakukan itu sudah benar. Nanti kita lakukan cara lain, sampai mereka susah dan ibu bisa tenang. Coba senyum, ibu pasti cantik. Mana senyumnya?"Bu Nina yang duduk di taman menatap kolam ikan dengan pandangan kosong, kini beralih menatap pria tersebut. Senyum tersungging di bibirnya.
"Kamu...Tomy?" Violet berdiri disamping Tomy. Bu Nina menoleh ke Elisa, lalu kembali menatap kosong ke kolam ikan."Kalian...ngapain disini?" Tomy membelalakkan matanya kaget. Elisa tersenyum sambil bertolak pinggang. Diam-diam dia mengetik sesuatu di ponselnya, lalu menatap Tomy sinis."oh...jadi ini semua rencana kamu? Dengan memanfaatkan keadaan bu Nina? Maksud kamu apa, hah?!" Bentak Elisa kesal. Tomy berdiri kaget. Dia ingin mencengkram tangan bu Nina, tapi sudah Violet jauhkan dari Tomy."Kalian memang hebat. Cocok jadi detektif, aku salut...""Gila kamu, Tomy!" teriak Elisa gusar. Tomy hanya tertawa tak peduli."Kalian yang gila. Ada apa dengan keluargaku? Papaku di penjara karena korupsi? Atau mamaku yang meninggal karena stress? Apa semua salahku? Kenapa keluarga kamu tidak menyetujui hubungan kita? Apa salahku, Lisa?!""Tapi, kan...kamu yang mutuskan sepihak? Impaslah!"Tomy menatap tajam Elisa yang kini benar-benar kesal. Violet sudah membawa masuk bu Nina, lalu meminta penjaga untuk mengamankan keadaan.Kini tinggal Elisa dan Tomy yang berdiri di taman. Elisa bergerak mundur, saat Tomy maju ingin mempertegas pembicaraannya."Sam br*ngs*k itu kan yang tidak setuju? Lalu dia membicarakannya dengan Anita? Sahabat Nina yang diam-diam menyukai Sam?""Diam! Jangan sok tahu kamu, Tom! Kamu benar-benar gila. Berani memperalat bu Nina yang kondisinya seperti itu. Dan, asal kamu tahu yaa bukan karena mereka, aku memutuskan hubungan kita. Tapi, lebih kepada sifat posesif kamu yang menakutkan! Dan, aku bersyukur...kita pisah.""Kurang aj*rrr kamu!! Awas kamu, Lisa!""Berhenti! Angkat tangan! saudara Tomy, kami tahan anda karena pembunuhan berencana.""A...apa??" kata Tomy kaget karena dikepung polisi.Malam yang dingin, Violet berdiri di depan taman kecil yang baru saja di bangun Dani dan Mario. Ada lampu bulat di tengah dengan air mancur cantik dan angsa putih dua ekor. Angsa putih simbol keindahan alam. Hari ini dia hanya ingin duduk di salah satu bangku taman sambil menunggu Mario pulang ngantor. Dia sungguh bingung dengan keputusan yang harus diambil secepatnya. Mario masih dalam perawatan, tidak bisa mengharapkannya bekerja seperti dulu. Ring yang dipasang di pembuluh darah jantung sebelah kiri kadang membuatnya susah bernapas bila melakukan gerakan mendadak. Apakah itu benar karena ring yang terpasang? Ah, apapun alasannya Violet tidak ingin menekan Mario untuk bekerja seperti dulu. “Kak, nunggu abang, ya?” suara Sarah membuyarkan lamunannya. “Iya, bingung nih…chatt belum dibalas, telpon gak diangkat. Abang tuh biasanya rajin ngasih kabar tapi udah jam sebelas gini belum pulang juga. Kemana sih, dia yaa…” Violet mondar-mandir di teras sambil melipat tangannya, air putih
Violet masuk ke ruang tamu memegang lengan Mario erat, seperti enggan melepaskan, membuat beberapa pasang mata menatap mereka haru. Violet menaruh tas di dekat pintu dan membawa Mario duduk di bangku panjang ruang tamu. Ada lelah yang teramat sangat di wajah mereka, mungkin buah penantian yang tak kunjung datang membuat mereka hampir putus asa. Tapi beberapa pasang mata yang kini ada di hadapan mereka, sungguh membuat mereka rindu. “Ibuuu, ayaaah…” Gaffin menghambur ke pelukan ibu, suara tangisnya begitu memilukan. Dia mencium kedua pipi Violet berkali-kali, lalu beralih ke Mario dan melakukan hal yang sama. “Ibu, ayah…ada pelangi di luar. Cantiiik banget! Bisa ayah ambilkan untuk Gaffin?” Gaffin menggelendot di kaki Mario. “Gak bisa, sayang. Pelangi itu biarpun indah tapi jauh dari jangkauan, jangan seperti pelangi, ya?” Mario mengusap lembut rambut Gaffin lalu memangku di pahanya. Mereka pun duduk bersama di ruang tamu, Viana yang kebetulan datang s
Teriakan Dani membuat wanita yang barusan memasuki ruang ICU menghentikan langkahnya, saat dia berbalik polisi sudah menahan langkahnya. Polisi langsung menjauhkan wanita tersebut dari sang bayi yang dikelilingi oleh banyak selang. Dani memperhatikan wanita itu dengan seksama, lalu dia meminjam ponsel Aci dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Photo terkirim ke applikasi hijau lengkap dengan data dirinya. Kedua polisi dan Aci membelalakkan mata kaget melihat photo yang ada di ponsel Aci. Polisi satunya melapor ke meja perawat untuk meminta data, ternyata tidak ada perawat seperti yang mereka tahan. Malah perawat mereka kurang satu, setelah ditelusuri ternyata perawat mereka yang hilang terikat lemah di gudang dengan pakaian yang telah ditukar. Setelah beberapa polisi datang, mereka pun membawa wanita tersebut ke kantor polisi, diikuti oleh Dani dan Aci. “Tunggu, bang. Kasus hampir selesai, boleh kan kita makan dulu? Ini sudah siang menjelang sore. A
Hari yang naas bagi pria brewok. Saat dia melarikan diri bersama wanitanya, ternyata jejaknya sudah tercium polisi. Akhirnya, saat keluar tol dia harus pasrah ketika polisi menunggunya, mau menghindar pun tak bisa. Karena mereka menghampiri dari berbagai sisi. Dia saja bingung, daripada polisi bisa tahu kemana arah yang akan dia tuju setelah ini. Ahh, dia sudah bosan dengan hidupnya, jadi dia tak peduli lagi saat ini dan diapun mengikuti polisi ke kantor.Mereka memeriksa mobil, di bangku belakang terlihat wanita berambut pirang terbungkus asal-asalan, sudah tak bernyawa. Tapi, pria tersebut menggendong bayi cantik dan berkata lirih, “tolong selamatkan anak ini…” lalu menyerahkannya pada polisi yang langsung memeriksa keadaan sang bayi dan segera melarikan bayi tersebut ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.Sang pria yang pasrah hanya bisa mengikuti beberapa polisi ke suatu ruangan. Polisi memintanya untuk melakukan beberapa pemeriks
Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap
Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep