Share

Maafkan Kami

Pagi yang terang, bekas sisa hujan masih terasa. Mereka berdiri di depan makam pak Sam. begitu juga dengan bu Nina yang terlihat begitu sedih. Setengah kesadarannya mulai kembali, dia mulai paham siapa dirinya dan pak Sam, serta apa peran bu Anita dan kenapa Edo begitu ingin mengakrabkan diri kepadanya.

"Sam adalah suamiku, Anita adalah adik Sam dan Edo adalah anakku satu-satunya. Kami bahagia. Yaa kami sangat bahagia. Tapi, sekarang Sam sudah dikubur. Apa kami bahagia?"

Perkataan bu Nina yang diucapkan pelan, membuat bu Anita, Edo, Elisa dan Violet menatap iba.

Edo mengusap punggung bu Nina pelan, "ya, kita bahagia ma...sangat bahagia. Papa sudah tenang disana, dan mama jangan bersedih lagi karena Edo tidak punya adik. Edo akan selalu bersama mama. Ya?"

Bu Nina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berjongkok di tepi makam, dan mengelus batu nisan pak Sam.

"Papa..." katanya lirih, mereka berpandangan takjub. Papa, adalah panggilan bu Nina untuk pak Sam.

Dan setelah berbulan-bulan lamanya, semenjak bu Nina dirawat di RSJ, baru kali ini mereka mendengar bu Nina memanggil pak Sam dengan sebutan "papa."

"Papa tenang yaa disana. Papa bahagia, harus...bahagia. Hmm..." dia mengambil napas, berusaha merangkai kata.

"Mama baik-baik saja disini, kan papa sering lihat mama di rumah sakit. Ya, kan? Mama gak sedih lagi, pa...karena papa baik hati. Papa gak tinggalkan mama..." airmata jatuh ke pipi putihnya yang mulus, bibir merah alaminya bergetar menahan tangis. 

Rambut sebahunya yang tergerai dihembuskan angin hingga hampir menutupi wajahnya. Edo mencoba menyingkirkan rambut yang menghalangi pandangan bu Nina.

Matanya masih menatap dalam batu nisan pak Sam.

"Papa, lucu yaa kita kayak di sinetron. Pisah, bertemu tapi papa sudah mati. Dikubur...mama jadi sedih. Kenapa papa gak ngajak mama juga? Atau mama ikut papa aja ya, sekarang?"

Mereka terkejut saling pandang. Kenapa jadi begini?

"Ma, orang hidup kayak kita...gak perlu ikut ke dalam kubur. Kita kan masih sehat. Harus meneruskan hidup kita..."

Bu Nina menatap Violet. Alisnya berkerut mencoba mencerna kata-kata Violet.

"Kamu...siapa?"

"Saya Violet. Saya teman Elisa. Elisa, adalah anak dari adiknya papa, tante Anita. Kan, mama udah tahu kan..., tante Anita siapa?"

"Adiknya papa," bu Nina berkata yakin.

"Nah...berarti kita semua adalah keluarga," Violet tersenyum menatap bu Nina yang mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata Violet.

"Kamu...keluarga kami?" Bu Nina menyentuh pipi Violet.

"Iya, orang yang peduli dan perhatian dengan kita adalah keluarga. Jadi, mama gak boleh sedih sendiri. Mama bisa, kan?"

Bu Nina tersenyum pada Violet. Edo mengelus punggung Violet dan tersenyum bangga.

"Nah, sekarang sudah siang. Gimana kalau kita pulang?"

Bu Anita bertanya pada bu Nina yang berjongkok menatap batu nisan dengan pilu.

"Kasihan Sam, sendiri di dalam. Pasti sepi, apa Sam juga sedih? Apa dia bisa berbicara dengan kita?"

Tanya bu Nina seolah pada diri sendiri, masih mengelus batu nisan dan memegang bunga-bunga yang bertaburan diatas makam.

"Tante, walaupun Elisa tidak begitu kenal dengan om Sam. Tapi Elisa yakin, om Sam adalah lelaki yang kuat. Buktinya...om Sam bisa menjalani hidup seperti biasa saat tante di Rumah Sakit, kan?"

Elisa merangkul pundak bu Nina yang tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Jadi, jangan khawatir. Karena om Sam telah bahagia bersama Sang Pencipta," Elisa tersenyum merapikan rambut bu Nina yang menutupi hampir sebagian wajah. 

Angin pagi itu rumayan kuat, daun banyak yang berguguran. 

"Apa kita ada yang menciptakan?" mereka terdiam mendengar pertanyaan bu Nina.

"Oh, jelas. Kalau kita tidak diciptakan, bagaimana kita bisa ada di dunia ini? Kan tidak semua yang ada di dalam kandungan bisa selamat hadir ke dunia," kata Violet menguncir rambut bu Nina.

"Ya...ya...Sang Pencipta adalah Tuhan kita, kan?" tanyanya melirik Violet.

"Nah...benarrr sekali. Hebat mama!" ucap Violet dan Edo bersamaan.

Mereka tertawa, tertawa karena kesadaran bu Nina mulai pulih. Setelah cukup membujuk bu Nina, mereka pun pulang kerumah Sam yang kini, akan ditempati Edo dan mamanya. Mama Edo sudah bisa pulang, setelah melalui beberapa rangkaian tes sebelum pak Sam meninggal.

Rencana Edo akan mengajak papanya untuk jemput mamanya jika sudah dibolehkan pulang, tapi takdir berkata lain. Edo menyetir mobil pelan. Tak ada yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka.

Bu Nina.

"Pa...selamat tinggal. Maaf, mama gak bisa ikut merasakan yang papa rasakan kini. Jadi mama hanya mendoakan saja. Papa baik-baik ya, bersama Sang Pencipta. Kita pasti akan bertemu lagi, nanti..."

Edo.

"Pa, maaf...Edo terlalu sibuk dengan kerjaan Edo, hingga Edo sering mengabaikan keadaan papa. Edo menyesal pa, mulai saat ini, Edo akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Edo akan lebih mengakrabkan diri dengan mama. Semenjak mama kehilangan adik Edo yang berusia sepuluh tahun, Edo merasa sendiri. Edo merasa, hidup Edo adalah milik Edo bukan milik papa atau mama.

Edo jujur, pa...Edo tidak memikirkan perasaan papa atau mama yang begitu kehilangan Edi, adik Edo. Padahal, Edo masih ada disini. Selalu dekat mama dan papa Tapi, kenapa mama masih belum bisa melepas kepergian Edi dan menyalahkan keadaan? Kan sakitnya Edi, bukan kesalahan siapapun.

Tapi mama begitu terpukul, dan papa tak pernah berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga percakapan di meja makan hampir tidak ada. Obrolan santai pun terlewatkan.

Ah...tapi tak apalah. Memang Dia lebih sayang papa, dan Dia juga mampu membuat mama kembali hampir seperti semula. Jadi, Edo tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan mama."

Bu Anita.

"Bang, maafkan aku yaa aku berusaha menghibur hatimu dengan berlebihan dan hampir posesif. Karena aku tidak mau, kamu melupakan Nina dan membuat Edo makin menjauh.

Kalian sudah terlalu lama jauh dari keharmonisan keluarga, semenjak Edi meninggalkan kita semua dengan penyakitnya yang tak tertolong. Kehidupan kalian bagaikan patung dalam rumah. Bersama tapi tak akrab.

Nina dengan kesedihannya, Edo dalam kesendiriannya dan kamu dalam penyesalanmu. Andainya waktu itu Edi cepat dibawa kerumah sakit, pasti sakit jantungnya bisa diatasi. Andainya rutin berobat, pasti tidak meninggal dengan tiba-tiba.

Andainya...dan andainya. Kenapa berandai-andai kalau kenyataan lah yang harus kita hadapi?

Tapi kalian terlalu sibuk dengan pemikiran kalian. Hingga Edo, menjauh dan menenggelamkan diri bersama usahanya dan kamu bang, sibuk dengan pekerjaanmu. Lalu Nina? Dia terus berada dalam lingkaran keputus asaan. Sekarang, ketika kami akan membawanya kembali pada kenyataan. Kamu malah pergi.

Ah...bang. Beginilah hidup yaa, manusia hanya berencana dan Tuhan yang menentukan. Kamu harus baik-baik saja disana, bang...karena kami pasti baik-baik saja disini. Aku akan menjaga Nina dan Edo dengan baik. Jadi, jangan khawatir."

Elisa menyikut lengan Violet, dia berbisik di telinganya,

"Vio, kamu tahu darimana kalau aku anak angkat bu Anita?"

"Emang kamu anak angkatnya, ya? Pantas manggil tante."

"Aih...kupikir kamu beneran tahu!"

Violet tersenyum merangkul Elisa yang kesal.

"Edo, mama lapar. Makan yuk?"

suara bu Nina memecah kesunyian hampir Edo mengerem mendadak. Dia tak menyangka, Nina berinisiatif mengajaknya makan.

"Oh...boleh, ma. Boleh banget...mama mau makan apa?"

Bu Nina menaruh tangannya di dagu, tampak berpikir. Edo tersenyum memperhatikan tingkah mamanya.

"Ah...kita makan soto aja?"

"Boleh tuh, do...kan ada Warung Soto di simpang jalan nanti. Ada soto ayam, soto ceker, soto betawi..."Bu Anita menyela omongan Edo.

"Dan coto Makassar!" sahut Violet cepat.

"Soto Makassar..." bu Nina membenarkan.

"Bukan, ma...namanya coto bukan soto..." kata Violet tersenyum melirik mamanya.

"Tapi tulisannya kan coto! Bentuknya pun sama dengan soto," bu Nina tak mau kalah.

"Hmm iya deh, iyaa aku ngalah...mama benar" Bu Nina tertawa dan menjetikkan jarinya ke telinga Violet yang cemberut..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status