BAB 24.“Naima, kamu udah sadar? Gimana perasaan kamu? Apa ada yang sakit?”Baru bangun Naima langsung menemukan wajah Noah dan dicecari banyak pertanyaan. Naima berusaha duduk, dan menyadari kalau dia sedang berada di rumah sakit. Noah dengan sigap membantu memegangi lengan Naima.“Aku udah baik-baik aja kok,” balas Naima, tersenyum. “Makasih karena udah nolongin aku dan bawa aku ke rumah sakit. Kebetulan banget kita bisa ketemu di tangga apartemen itu, di antara sekian banyak tempat.”Noah tersenyum ceria. “Kalau kita bisa ketemu kayak gini, itu berarti tandanya jodoh.”Naima buru-buru mengatakan kebohongan, dengan nada diselipi canda, “Tapi aku udah nikah. Gimana bisa berjodoh? Kamu nggak liat perutku udah besar begini?”Noah terdiam—beberapa saat. “Kalau kamu punya suami, kenapa aku nggak nemuin nomornya di kontak darurat ponsel kamu?”Mata Naima melebar. “Kamu buka ponselku?”Noah mengangguk. Tatapan matanya lurus menatap Naima. “Aku nggak bermaksud buat ngintip privasimu. Tadi k
Lima bulan kemudian…Usia kandungan Naima sudah menginjak tujuh bulan. Perutnya sudah membesar, dan kakinya akan bengkak saat berjalan terlalu lama. Ada sedikit kekhawatiran yang diam-diam menghantui Naima saat mendekati hari kelahiran bayinya; jika Naima pergi bekerja, siapa yang akan meraat bayinya? Naima juga baru pertama kali menjadi seorang Ibu. Dia takut tindakannya yang hanya berdasar naluri dan modal sosmed akan membahayakan bayinya..Saat sedang berada di toilet tempat kerjanya, lagi-lagi Naima mendengar gosip yang tidak mengenakkan,“Denger-denger si Naima itu hamil di luar nikah. Pacarnya kabur setelah tahu dia hamil. Makanya dia pulang pergi kerja sendirian.”“Iya ih. Teh Novi kan satu kost sama si Naima. Katanya dia juga tinggal sendirian di kost. Mana nggak pernah kedatangan tamu lagi.”“Kasihan juga ya, harus kerja banting tulang sendirian. Pacarnya nggak bertanggung jawab banget.”“Emangnya dia nggak punya keluarga?”“Mungkin keluarganya nggak mau nanggung aib kehamila
a “Mas Javran masih belum nemuin keberadaan Naima?” tanya Naura, saat sedang berjalan di koridor rumah sakit bersama Javran. Mereka baru selesai dengan sesi fisioterapi Naura. “Beneran masih belum balik ke kampusnya?”Javran mengangguk. “Aku udah telpon ke kampusnya dan katanya Naima cuti selama satu semester.” Dia menatap Naura dalam. “Kalau kamu tahu asrama atau tempat tinggalnya, aku bisa nyuruh orang buat cari informasi ke sana.”Dua bulan terakhir, Javran mulai menyadari beberapa keanehan dari Naura. Ternyata Naura tak bisa bahasa mandarin—padahal dia sudah bekerja di sana selama tiga tahun. Naura juga tidak tahu apa-apa saat Javran menanyakan beberapa tempat di daerah Dongyang. Karena itu, Javran jadi ingat kalau Naura pernah sengaja menghindar dan tidak dapat dihubungi saat Javran memberi kejutan dengan diam-diam pergi ke China untuk menemuinya.“Naura nggak pernah mau ngasih tahu kalau ditanya soal tempat tinggalnya,” jawab Naura, dengan nada sedih. “Harusnya aku sebagai adik
AUTHOR POV.Saat melihat Naima keluar dengan ibunya, Javran ikut pergi—dengan alasan ingin membeli kopi ke kafetaria. Kebetulan saat itu Putra datang—jadi Javran bisa menitipkan Naura padanya. Diam-diam Javran mendengar semua percakapan antara Naima dan ibunya—tentang bagaimana Naima diperlakukan berbeda sejak dulu—dan selalu dianggap benalu karena merebut milik Naura. Tak hanya itu, Javran juga diam-diam menguping pembicaraan Naima dan Irgian—menyadari fakta bahwa Irgian masih menyimpan rasa untuk Naima—sama halnya dengan Noah.Memangnya apa yang dimiliki Naima, sampai ada banyak pria yang masih jatuh hati padanya meski bertahun-tahun sudah berlalu? Apa istimewanya Naima dibanding dengan Naura?“Irgian, kamu yakin kalau perasaan yang kamu miliki buat aku itu emang beneran suka?” Naima menjawab dengan nada penuh ironi. “Kamu yakin itu bukan perasaan kasihan dan empati? Gimana bisa kamu bedain keduanya?”Tidak mudah bagi seorang pria untuk menyatakan perasaannya. Tapi jawaban Naima ju
“Ikut Mama sekarang. Kita harus bicara.” Mama menarik tanganku keras, hingga posisiku kini berada di sebelahnya. Tapi saat melihat Javran, ekspresinya berubah lembut. “Naura ada di ruang VIP anyelir nomor tujuh. Kamu ke sana aja, ya. Naura pasti seneng bisa ketemu kamu. Mama harus ngomong sama Naima sebentar, nanti kami menyusul.”“Tapi saya harus ke ruang inap Naura bersama Naima,” balas Javran, dengan nada tenang. Dia melirikku dengan tatapan dinginnya. “Saya harus melihat sendiri saat Naima meminta maaf.”Cengkeraman Mama di pergelangan tanganku menguat. Mama pasti kecewa karena tidak bisa memukulku lagi. “Benar. Ini semua salah Naima. Naura nggak salah apa-apa. Dia hanya korban dari keegoisan kami.” Mama tiba-tiba tersenyum. “Nanti saat ketemu Naura, tolong jangan marahi dia. Naura baru saja pulih dan dia tidak boleh shock. Yang Naura tahu, Naima hanya menggantikannya saat akad.”“Baiklah.” Javran mengangguk. “Ayo kita pergi sekarang.”Akhirnya, kami bertiga pergi ke ruang inap Na
AUTHOR POVHanya berlutut saja, kan?Naima sudah pernah berlutut, berkali-kali, bahkan untuk kesalahan yang tidak pernah dia lakukan.Jadi apa salahnya berlutut sekali lagi?Setelah menelan kembali semua air matanya, Naima melipat kedua lututnya dan bersimpuh di depan Javran. Naima tidak keberatan jika harus kehilangan harga dirinya, jika hal itu bisa meredakan kemarahan Javran—dan membawa Naima pada kebebasan yang selalu dia idam-idamkan.Javran—yang tidak menyangka dengan tindakan Naima—mundur dua langkah.“Apa udah cukup, hanya dengan berlutut?” suara Naima terdengar serak. Matanya lurus menatap ubin kamar Javran yang sebening kaca. “Kalau kamu mau, aku juga bisa bersujud.”Naima tak akan bertanya-tanya lagi tentang keputusan Javran. Naima juga tak akan menyayangkan keperawanannya yang hilang. Anggap saja, ini adalah hal terakhir yang bisa Naima berikan pada keluarganya—sebagai budi telah membesarkan Naima. Setelah semua ini berakhir… Naima hanya perlu pergi, kan?Lalu menghilang d